Saya
jadi tidak tenang, dan mohon maaf jika saya tidak tahu ke mana dan bagaimana
harus membuang rasa tidak tenang ini. Baris-baris di bawah ini sudah saya baca
berulang kali dan terus mengejar pikiran saya:
Naskah tulisan tangan Syekh Abbas Kutakarang yang hidup sezaman dengan Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman Sumber: Serambi |
"Muslimin
dalam negeri Aceh dengan taufiq Allah Ta‘ālā ji bangkit perang dan hal yang
raja2 dan petua2 jabatan. Dan orang yang kaya2 hana ji bangkit perang berdiri
ke kepala perang hana malee ji tabek kafir Ulanda (Belanda), masuk ke dalam
negeri jiboh nyan jirat2 dalam negeri, habeh jigali batee nisan dum, habeh
jiboh pada ateung jalan, ladoem ureng jidrop jiboh lam glap hingga matee. Dum
nan perbuatan kafee, pakri hana pikee, pakri hana malee..”
Kalimat-kalimat
senada juga pernah datang dari Almarhum Paduka Sri Sultan Muhammad Daud Syah
dalam surat yang ditujukannya kepada Sultan Dinasti Utsmaniyyah di Istanbul (Baca: Roh Jahat).
Filolog dan
Pemerhati manuskrip Aceh dan Melayu, Teungku Hermansyah, yang sekarang sedang
berada jauh dari kampung halaman, telah mendedikasikan sebuah hasil
penelusurannya yang berharga untuk teman-teman dalam Grup Mapesa. Ia menukilkan
baris-baris kalimat tadi, memetiknya dari konteks masa silam lalu membawanya ke
konteks hari ini. Aneh bin ajaib! Bagaimana sebuah perilaku bisa sedemikian
miripnya sementara pelakunya sama sekali berbeda, dan rentang waktu yang
memisahkan mereka pun terbilang jauh. Pengaruh-pengaruh kolonial, virus-virus
kolonialisasi, ternyata masih merayap dalam tubuh tanpa disadari. Kita mengira
diri kita sehat tapi ternyata kita sakit. Ke depan, seyogyanya, kita selalu
perlu check up!
Tapi bukan itu
saja yang kemudian mendekam dalam pikiran saya. Kemiripan itu, saya yakin,
nantinya akan berubah, dan semoga Allah memaafkan dan mengampuni segala
kekeliruan dan kesalahan yang telah kita lakukan.
Mengenai
penghacuran makam-makam bersejarah yang dilakukan Belanda sudah pula dimaklumi
dari penuturan, atau tepatnya, jeritan hati Paduka Sri Sultan Muhammad Daud
Syah dalam suratnya, namun kali ini, masalah jadi tambah berat untuk saya menahannya.
Penuturan semisal itu sekarang saya ketahui juga datang dari seorang ulama,
ilmuwan, fisikawan dan mujahid dalam kelas tinggi: Syaikh ‘Abbas atau yang
lebih dikenal dengan Teungku Chik Kuta Karang. Saya mengagumi Siraj Azh-Zhalam
yang menurut para ahli adalah salah satu karyanya, dan telah dipersembahkan
kepada Almarhum Almaghfur Maulana Al-Mu’azhzham Paduka Sri Sultan Manshur Syah
bin Jauharul ‘Alam Syah. Saya juga memuji kehebatan dan kerendahan hatinya
dalam menerjemahkan Ar-Rahmah fi Ath-Thib wal-Hikmah. Kesaksian tentang
penghancuran makam-makam Aceh dalam kelas ini sungguh membuat hati sama sekali
tidak tenang.
Berkali saya
membaca ulang kalimat-kalimat yang dinukilkan Adinda saya, Filolog yang budiman
itu. Saya seperti merasakan ada sesuatu yang teramat memberatkan ulama besar
ini lebih dari apa yang dapat ia ungkapkan. Ada suatu kepedihan yang tak pernah
dapat ia lupakan mengenai tindak kejahatan yang dilakukan Belanda dalam hal
ini.
Sebagaimana
dimaklumi, penghinaan itu tidak saja dengan pelecehan fisik atau perampasan
harta, tapi juga dengan penghacuran dan pemusnahan sesuatu yang memiliki tempat
di hati kita sebab dapat mengikat ingatan kita dengan orang yang kita teladani,
kagumi dan cintai. Kita terkadang masih menyimpan sampai kita tua sebuah hadiah
yang diberikan ibu kita di waktu kita kecil, karena itu akan mengingatkan kita
kepadanya, menjadi penawar rindu di kala hati terasa sangat sepi.
Para sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga menyimpan benda-benda milik
Al-Habib Al-Mushthafa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam; surban beliau,
tongkat, terompah dan lain-lain. Semua itu karena cinta.
Makam Teungku Chik Kuta Karang Gampong Leu Geu - Aceh Besar. |
Dalam penuturan
Syaikh ‘Abbas, sebagaimana yang telah dinukilkan Filolog Hermansyah, tampak
jelas suatu keperihan yang juga kemudian dirasakan oleh Paduka Sri Sultan
Muhammad Daud Syah. Saya kira, ulama dan ilmuwan terkemuka ini ingin mewakilkan
dengan ungkapannya tersebut beberapa rentetan peristiwa yang sangat melukai
hatinya setelah Belanda menduduki Kuta Raja. Sebuah kriminal yang tidak akan
pernah diampunkannya.
Sekarang saya
jadi bertanya-tanya apakah keperihan ini adalah juga karena penghacuran makam
Almarhum Sri Sultan Perkasa Alam Iskandar Muda?
Sekurang-kurang,
ada tiga tokoh agung pengukir kejayaan dan kedigdayaan Aceh Darussalam dalam
abad ke-17 M yang keberadaan jejak makam mereka masih belum diketahui secara
meyakinkan. Sultan Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani, dan Sultanah Tajul
‘Alam Shafiyatuddin.
Dari tiga tokoh
besar tersebut, Sultan Iskandar Muda, adalah tokoh utama yang telah meletakkan
Aceh di tingkat paling puncak dari kejayaannya. Kiprah dan sepak terjangnya
melegenda. Wajar jika kemudian setelah lama ia berpulang ke Rahmatullah, kaum
yang menjadi musuhnya masih mendendam dan menyimpan kebencian yang tidak dapat
mereka lampiaskan semasa ia hidup. Sama seperti seorang Komandan Prancis yang
mendendam Sultan Shalahuddin Al-Aiyubi ketika kaumnya telah berhasil menduduki
Syiria di permulaan abad ke-20, dan di atas kubur pahlawan Islam itu, ia
mengatakan, “Ini kami telah kembali lagi, hai Shalahuddin!”
Dari penuturan
Teungku Chik Kuta Karang tentang penghancuran makam-makam ini, saya mulai yakin
bahwa di antara makam yang telah dihancurkan oleh Belanda itu adalah Makam
Sultan Iskandar Muda sebagaimana cerita yang sudah berkembang.
Untuk itu, saya
kira kita perlu membuka investigasi atas kejahatan Kolonial Belanda ini. Saya
harap Pemerintah juga bersedia untuk membentuk tim investigasi, atau paling
tidak, mengizinkan sebuah tim yang dibentuk oleh masyarakat atau pihak non-pemerintah
lainnya untuk mencari bukti-bukti atas tindak kejahatan tersebut, dan
mengizinkan pula tim tersebut untuk melakukan penelitian yang komprehensif di
kawasan Keraton Daruddunya, termasuk pendopo gubernur Aceh dan sekitarnya.
Maka sudah
saatnyalah untuk kita menyeka air mata yang berlinang di wajah Teungku Chik
Kuta Karang, Paduka Sri Sultan Muhammad Daud Syah, serta seluruh rakyat Aceh
yang telah berjuang di jalan Allah pada masa melawan Kolonial Belanda. Dan
sebagaimana kata Adinda saya yang mulia, Teungku Hermansyah: beginilah caranya
kita mengenang dan menghormati pahlawan.
Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari akun facebook Musafir Zaman di Group Mapesa