Teungku Chik Lambirah: Adab Ulama dan Ketinggian Budinya

Ilustrasi Teungku Chik Haji Abbas 
Lambirah 
dalam buku A. Hasymy,
Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (1983)
 Ananda saya yang baik budi, Teungku Masykur bin Syafruddin telah mengirimkan kepada saya sekumpulan dokumen manuskrip, yang di antaranya adalah beberapa arsip surat.
Dokumen-dokumen tersebut menjadi bahan penting dan ushul (sumber primer) dalam penulisan sejarah sosial masyarakat Aceh di masa lampau. Namun, sangat disayangkan, ketika Ananda Masykur juga memberitahukan saya bahwa dokumen-dokumen tersebut sekarang sudah dijual oleh pemiliknya ke pihak lain di luar negeri. Pada saat gambar-gambar ini diambil, Ananda saya yang “meutuwah” ini tidak dapat berbuat apa-apa selain menjepret setiap lembaran dengan kamera milik pribadi yang juga apa adanya.
Tapi walau bagaimana pun, saya mesti bersyukur sebab Ananda Masykur telah menyelamatkan dokumen-dokumen tersebut lewat foto-foto yang diambilnya sehingga sampai ke tangan saya, dan sekarang salah satu di antaranya dapat pula Anda saksikan, dan saya yakin Anda dapat menilai sendiri bagaimana pentingnya.
Sembari saya mengucapkan terima kasih kepada Ananda Masykur atas kiriman tersebut, perlu juga kiranya saya ungkapkan bahwa Ananda yang masih muda belia ini hakikatnya mempunyai naluri yang tinggi, yang dilengkapi pula dengan kesungguhan serta kesabaran, dalam usaha memperoleh dan mengumpulkan berbagai naskah manuskrip yang teramat berguna bagi penggalian dan pelestarian khazanah kebudayaan Aceh. Dari itu, adalah suatu hal yang terpuji kiranya apabila kita sekalian dapat memberikan dukungan yang kuat kepadanya: moril, materil dan doa.
Arsip surat berikut ini adalah milik seorang ulama terkemuka di Aceh dari Lambirah, Aceh Besar, bernama Teungku Haji Abbas Lambirah. A. Hasymiy dalam bukunya, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (1983), telah menyinggung tentang tokoh ulama ini dalam keterangannya sebagai berikut (hal. 253):
 “Dja Meuntroe dan Dja Bendahara, dua orang ulama/bangsawan bersaudara yang hidup dalam masa pemerintahan ‘Alaiddin Johan Syah (1147-1174 H = 1735-1760 M) dan Sultan Alaidin Mahmud Syah (1174-1195 H = 1760-1781 M), pendiri Dayah Lambirah. Dari kedua beliaulah menurun Teungku Chik Cot Keupeung, Teungku Chik Lam Baro, ayah dari Teungku Haji Abbas yang bergelar Teungku Chik Lambirah dan Teungku Haji Ja’far yang bergelar Teungku Chik Lamjabat.”
Dari keterangan ini diketahui bahwa Teungku Haji ‘Abbas Lambirah adalah keturunan dari ulama-ulama besar Aceh, lahir dan dibesarkan dalam keluarga ulama. Hasymy juga memuat lukisan ilustrasi tokoh ulama dari Lambirah ini dalam buku tersebut.
Surat Teungku Haji Abbas bertanggal 3 Rabi’ul Awal 1328 H (15 Maret 1910 M) dan ditujukan kepada dua orang yang masing-masing bernama Nyak Hasan dan Nyak Amin ini tertulis dengan khath yang sangat baik dan rapi—kemahiran menulis dengan khath yang seperti ini, memadukan naskh dengan riq’ah, menurut saya, lebih umum dimiliki oleh orang yang pernah menuntut ilmu di Jazirah Arab; mungkin sekali Makkah. Sekalipun ditulis dengan Bahasa Jawi dan dengan gaya bahasa bercita rasa tinggi, namun dari penggunaan beberapa kalimat Arab dan gayanya menunjukkan ia seorang yang sangat menguasai ilmu-ilmu Bahasa Arab dan mantap dalam ilmu-ilmu Islam lainnya.
Gambar arsip surat Teungku Chik Haji Abbas Lambirah dalam dokumentasi
Masykur bin Syafruddin
Tutur kata Teungku Chik Lambirah dalam surat ini sangat halus dan lemah-lembut, menandakan ia seorang alim yang bijak, santun dan berwibawa. Dalam surat itu—pada bagian setelah bagian kepala surat yang menyebutkan dirinya hina, dan sementara untuk orang yang ditujukan ia sebut bersifat mulia —mula-mula ia menyampaikan perihal keadaannya. Kalimat: “Jikalau ada tergores dalam zihin (yakni: pikiran) Anakda akan hal hamba, Al-Hamdulillah, dalam sehat dan sejahtra,” adalah kalimat yang indah, tersirat sikap rendah hati (tawadhu’) dari seorang yang berhati mulia.
Kemudian, ia berterimakasih kepada Nyak Hasan yang telah menunaikan kewajiban zakat, dan surat ini sekaligus menjadi tanda bukti yang bersangkutan telah melaksanakan kewajiban tersebut. Ini adalah adab; moral dan budi pekerti yang luhur. Berterimakasih kepada seseorang yang telah menunaikan kewajibannya dengan baik, serta memberikan tanda pengakuan, adalah sikap yang sangat terpuji, sekaligus merupakan sugesti bagi orang tersebut untuk semakin giat berbuat kebaikan dan kebajikan. Sikap semisal ini hanya dapat muncul dari seorang yang berakhlak mulia dan rendah hati (tawadhu’).

Dalam baris-baris selanjutnya, Teungku Chik, ulama besar yang rendah hati ini, mengajak Anakdanya itu untuk senantiasa mengingat kewajiban berzakat setiap kali panen padi tiba di mana hal itu akan dapat membantu kaum fakir di mana-mana. Teungku Chik membolehkan Nyak Hasan (dan tentunya Nyak Amin pula) menyerahkan zakat itu lewatnya atau lewat orang lain, sebab yang jelas, ramai sekali orang-orang yang berhak menerima zakat. Teungku Chik sendiri mengurus orang-orang yang berhak menerima zakat itu dalam jumlah yang banyak. Di sini, ternyata, kita sedang berhadapan dengan seorang ulama yang memiliki kepedulian sosial sangat tinggi. Ia mengayomi fakir miskin dan kaum lemah, bahkan terlibat langsung dalam usaha penyediaan kebutuhan dan hajat pokok orang melarat lewat anjuran-anjurannya kepada kaum hartawan dan dermawan untuk berzakat.
Sesuatu yang paling indah dan manis serta mengharukan saya di akhir surat adalah ucapan Teungku Chik Lambirah: “Inilah hal, tiada lain melainkan doa banyak-banyak akan Anakda jeub-jeub waktu mustajab.” Tidak ada lain yang diperlukan oleh seorang ulama dari orang kaya selain ia menunaikan zakat yang sudah merupakan kewajibannya, dan tidak ada lain yang dapat dibalasnya kepada orang kaya itu selain doa-doa pada setiap waktu mustajabah doa. Adakah yang pemberian lebih bernilai bagi seorang kaya selain dari doa ulama dalam waktu mustajabah!
Semoga Allah merahmati Teungku Chik Lambirah dengan rahmat yang seluas-luasnya serta menganugerahkan balasan yang terlebih baik atas apa yang telah diperbuatnya untuk Islam dan umatnya.
Berikut ini teks surat tersebut:
قول الحق
الحمد لله عز شأنه وبعد فالسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
(Kalimat kebenaran [perkataan yang benar]. Segala puji kepada Allah Yang Maha Tinggi Zat-Nya. Adapun kemudian maka semoga kedamaian tercurahkan kepada kamu sekalian, begitu pula rahmat Allah dan segala barakah-Nya)
Daripada faqir al-haqir (fakir lagi hina) Teungku Haji ‘Abbas Lambirah kepada anakda perhamba yang mulia yang bernama Nyak Hasan dan Nyak Amin keduanya dalam Kampung Raloh (Reuloh?) jua adanya—Sallamahuma-Llah Ta’ala fid-Darain, Amin tsumma Amin (Semoga Allah Ta’ala menyelamatkan keduanya di dunia dan akhirat, Amin)
Wa Ba’du, adapun kemudian dari itu maka perhamba ma’lumkan kepada wajah (ke hadapan) Anakda Nyak Hasan jikalau ada tergores dalam zihin Anakda akan hal hamba, Al-Hamdulillah, dalam sehat dan sejahtera. Inilah hal sekarang hamba minta’ kasih banyak-banyak daripada Anaknda Nyak Hasan apabila mendapat ini surat shadaqah Nyak Hasan. Banyak-banyak Nyak Hasan bicara zakawah (zakat) padi dalam tahun ini sekadar dapat Allah karunia bahgian faqir di mana-mana. Boleh bicara sama (tu’) orang lain dengan bicara Nyak Hasan yang Anakda kepada hamba dari Lambirah karena daripada perhamba banyak orang yang mustahaq. Inilah hal, lain tiada melainkan doa banyak-banyak akan Anakda jeub-jeub (jeut-jeut: tiap-tiap) waktu mustajab. Intahal Kalam bil Khair.

Tarikh ta’ (tahun) 1328
Pada 3 Rabi’ul Awal
Faqir Al-Haqir Teungku Lambirah


Oleh: Musafir Zaman