Nur dari Madinah di Pidie

Masjid An-Nabawi, 1908. Sumber:ar.wikipedia.org/wiki/المسجد_النبوي
Sudah sejak berabad lamanya, dua Tanah Haram, Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah, merupakan dua pusat keilmuan Islam di Hijaz. Ulama-ulama dari berbagai pelosok Dunia Islam telah datang ke kedua kota suci ini untuk mengajarkan ilmu-ilmu Islam, begitu pula para penuntut ilmu yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia.
Masjid Al-Haram dan Masjid An-Nabawiy telah mengisi peran besar dalam memajukan dunia ilmu pengetahuan, tidak saja pada masa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam tapi juga pada masa Khulafa’ur Rasyidin dan setelah mereka sampai dengan masa-masa paling kemudian.
Di sekitar kedua masjid ini juga telah dibangun berbagai madrasah yang pada gilirannya telah ikut meningkatkan kepesatan gerak keilmuan. Namun, tidak sedikit para ulama yang memandang mengajar di Masjid lebih baik, lebih bermanfaat dan lebih besar pahalanya daripada mengajar di madrasah-madrasah. Di samping itu, mengajar di Masjid merupakan amal sukarela yang tidak terikat dengan berbagai aturan, serta terbuka untuk semua orang tanpa pembatasan.
Namun, sebelum dilanjutkan, saya akan mengemukakan lebih dahulu alasan mengapa topik ini yang akan dibicarakan.
Ahad yang lalu, Mapesa dan Komunitas Pakaian Adat-Pidie telah melakukan meuseuraya atau kegiatan gotong-royong membersihkan serta menata ulang letak nisan-nisan yang terdapat di satu kompleks makam bersejarah di Gampong Sanggeu, Pidie. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla membalas kebaikan dan perwujudan kesetiaan tersebut dengan sebaik-baik balasan dari sisi-Nya.
Salah satu makam yang terdapat dalam kompleks itu adalah makam seorang ulama besar, Syaikh ‘Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy, yang wafat pada 943 Hijriah (1537 Masehi).
Meuseuraya Mapesa dan Komunitas Pakaian Adat-Pidie di Kompleks
Makam Syaikh 'Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy, Sanggeu, Pidie.


Salam hormat dan rindu!
Keberadaan makam ulama besar ini sudah diketahui sejak 2008. Saat itu, saya bersama Teungku Razali Ismail dari Bireuen, dalam sebuah lawatan singkat yang hanya memakan waktu satu hari di Pidie. Tujuan lawatan adalah untuk mengunjugi Klibeut sampai dengan Batee, tepatnya Kuala Geunteing . Sangat perlu saya ungkapkan di sini—dengan disertai rasa syukur dan doa kebaikan—bahwa motivator di belakang lawatan ini tidak lain adalah tulisan Almarhum H. M. Zainuddin, salah satu di antara para “penyimpan kenangan” di abad ke-20 yang lalu—semoga Allah Ta’ala melimpahkan rahmat dan keampunan kepadanya. Lawatan itu adalah untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang disebutkan H.M. Zainuddin dalam bukunya Tarich Atjeh dan Nusantara. Tempat-tempat itu, antara lain adalah: Makam Sultan Ma’ruf Syah di Klibeut, Jrat Putroe Bale di Sanggeu, satu bangunan kuno di Batee, dan Kuala Geunteing. Segala puji kepada Allah Rabbul ‘Alamin, atas anugerah dan kemudahan dari-Nya, semua tempat ini telah sempat dikunjungi pada waktu itu.
Satu hal yang tidak terduga-duga, dalam waktu kami berada di Sanggeu setelah berkunjung ke kompleks makam Putroe Balee, dan belum seberapa jauh meninggalkan kompleks tersebut untuk keluar menuju Groenggroeng lantas ke Batee, mata kami sontak menjurus ke satu kompleks makam di sisi kiri kami. Nisan-nisan kuno dalam kompleks itu selain tidak terurus, bagian puncaknya pun rata-rata sudah cacat berat akibat dijadikan sebagai batu pengasah benda-benda tajam.
Tidak jauh dari situ, kami kemudian juga melihat satu kompleks lain dengan batu nisan yang unik. Bentuknya lebih kurang seperti bentuk tharbusy (tharbusy: diarabkan dari kata dalam bahasa Persia, “sarbusy”, yang berarti penutup kepala). Itulah kali pertama saya melihat nisan semisal itu, dan tidak pernah ditemukan di kawasan peninggalan sejarah Samudra Pasai.
Kedua nisan masih sangat utuh, cuma saja posisi berdirinya yang sudah tidak tegak lagi, bahkan sudah sangat condong. Lumut juga sudah tampak menebal di beberapa bagian permukaan batu. Masih utung, lumut tebal itu tidak merusak inskripsi yang terdapat di bagian bawah (pinggang) kedua nisan.
Nisan Syaikh Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy
Sanggeu, Pidie.
Waktu itu ada bagian-bagian inskripsi yang sudah dapat terbaca, dan saya sangat bersyukur ketika mengetahui bahwa tokoh yang dimakamkan ini adalah seorang ulama yang disifatkan dengan berbagai sifat terpuji. Kemudian, satu lagi yang saya anggap luar biasa adalah nisbah pada akhir namanya: Al-Madaniy. Yakni seorang yang berasal dari Madinatur Rasul ‘Alaihi Afdhalush Shalati wa Azkas Salam. Saya berkeyakinan nisbah ini bukan tabalan untuk seorang perantau yang telah lama menetap di Madinah, tapi memang seorang yang terlahir dan dibesarkan di Madinah lalu datang merantau ke Pidie (Pedir) untuk mengabdikan dan mengajarkan ilmunya.
Keberadaan tokoh ulama besar ini ibarat mutiara bersinar yang akan ditambahkan ke dalam untaian mutu manikam tokoh-tokoh besar dalam sejarah Aceh serta wilayah taklukannya. Ia cahaya mata para penghuni zamannya.
Namun disayangkan, sejauh yang saya ketahui, tidak ada apapun catatan tentang riwayat hidupnya, bahkan namanya juga belum pernah dijumpai dalam apapun kepustakaan sejarah Aceh yang sudah tersedia. Saya juga tidak menjumpai biografinya dalam berbagai kepustakaan biografi Arab untuk abad ke-10 Hijriah yang berada di tangan saya.
Dengan demikian, belumlah dapat diketahui tahun lahirnya, bagaimana masa kecilnya dan kepada siapa ia telah berguru, siapa pula murid-muridnya, kapan ia tiba dan mulai menetap di Pidie (Pedir), dan berbagai sisi hidupnya yang lain. Sesuatu yang sudah dapat diyakini, ia adalah seorang ulama yang datang dari Madinah di permulaan abad ke-10 Hijriah, dan wafat di Pedir dalam dekade ke-5 abad itu. Untuk informasi selebihnya, kita menunggu kontribusi dari lapangan filologi!
Dari tahun wafatnya pada 943 Hijriah diketahui ia telah hidup pada paruh pertama abad ke-10 Hijriah. Jika saat ini kita masih dihadang kesulitan untuk mengetahui riwayat hidupnya secara lebih rinci, maka saya merasa tidak pantas juga untuk berhenti dan menyerah sampai di situ. Ada bagian lain yang saya kira layak untuk disorot dan disinari dengan sedikit cahaya sehingga kedudukan tokoh ulama yang jasadnya telah beristirahat di tanah Aceh dalam kurun waktu yang lama ini dapat sedikit tergambarkan. Kunci untuk itu adalah nisbah di akhir namanya: Al-Madaniy.
Dari bagian yang akan disorot itu kemudian kita dapat pula membayangkan bagaimana keadaan dan suasana di Aceh, atau khususnya di wilayah Pedir yang berpusat di daerah Klibeut-Sanggeu, pada zaman itu. Setidaknya, dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan Islam.
Bagian yang pantas untuk disorot itu adalah keadaan atau gerak perkembangan ilmu pengetahuan di Madinah Al-Munawwarah dalam paroh pertama abad ke-10 Hijriah, yakni masa di mana Syaikh ‘Abdur Rahim bin Shalih—Rahimahu-Llah—telah menghabiskan umurnya sebagian di Madinah dan sebagian lagi di Pedir sampai dengan wafat.
Sifat-sifat yang disebutkan pada inkripsi nisannya terang mengesankan ia wafat dalam usia yang lebih dari 43 tahun. Malah, dapat saja diperkirakan ia meninggal dunia dalam usia yang sudah senja. Asumsi semisal ini tentu mengantarkan kita kepada perkiraan bahwa ia telah lahir dalam puluhan-puluhan terakhir abad ke-9 Hijriah.
Lantas, bagaimana keadaan di Madinah Al-Munawwarah secara khusus dalam masa-masa ini; sejak akhir abad ke-9 Hijriah sampai paroh pertama abad ke-10 Hijriah?
Bersama para sahabat di halaman Masjid An-Nabawi dalam musim haji 1418 H (1998). 

Berada di dalam Masjid An-Nabawi, memperhatikan pusara orang-orang yang teramat dicintai di atas dunia ini, Rasulullah 'Alaihi Afdhalush shalawati wa Azkat Tahiyyah, dan kedua shahabat beliau Al-Khalifatul Awwal Saiduna Abu Bakr Ash-Shiddiq dan Al-Khalifatuts Tsaniy Saiduna 'Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhuma, serta berdoa di Raudhah adalah di antara menit-menit kebahagiaan yang takkan pernah terbandingkan dan tergantikan. 

Semoga semua kita dapat menziarahi Masjid beliau, 'Alaihish Shalatu was Salam.
Saya akan meringkaskan untuk Anda beberapa poin penting dari berbagai bacaan demi sekadar menghasilkan satu gambaran umum mengenai lingkungan di mana Syaikh ‘Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy telah menghabiskan sebagian umurnya. Dari sana, diharapkan Anda, sebagaimana juga saya, dapat memperoleh satu gambaran lain pula menyangkut keadaan di lingkungan mana tokoh ini telah hadir untuk berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan Islam di Aceh.
Penghujung abad ke-9 Hijriah sampai dengan 923 Hijriah dalam abad berikutnya, Madinah, sebagaimana negeri-negeri lainnya di Hijaz, masih berada dalam pengaruh Daulah Al-Mamalik (Dinasti Mameluk) yang berpusat di Kairo, Mesir. Peran sultan-sultan dari Daulah Al-Mamalik dalam mendorong perkembangan ilmu pengetahuan Islam di dua Tanah Haram sangat besar. Mereka melanjutkan, bahkan, menambahkan apa yang telah mereka warisi dari Daulah Bani Aiyub (Dinasti Ayyubid) yang memerintah sebelumnya.
Di antara para sultan Daulah Al-Mamalik, Sultan Qaitbay (wafat 901) adalah seorang yang telah meninggalkan sidik jari paling menonjol dalam mendorong perkembangan ilmu pengetahuan di dua Tanah Haram. Sultan yang memerintah di paroh kedua abad ke-9 Hijriah ini telah memberikan perhatian yang besar dan bagaimana layaknya untuk negeri-negeri di Hijaz. Ia membangun berbagai sarana dan prasarana di dua Tanah Haram sebagai bukti ia pantas menyandang gelar Khadimul Haramain Asy-Syarifain (pelayan dua Tanah Haram).
Pada 882 Hijriah, Qaitbay mengutus konsul perniagaannya di Makkah untuk mencari kawasan dekat dengan Masjidil Haram supaya dapat dibangun sebuah madrasah atas namanya yang akan dikhususkan untuk pengajaran keempat mazhab fiqh, serta pembangunan ribath-ribath bagi kaum fakir miskin yang meliputi 72 kamar untuk anak yatim. Ia juga menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang dibiayai dan difasilitasi segala keperluan mereka untuk madrasah-madrasah yang dibangunnya.
Demikian pula halnya dengan Madinah yang tidak kurang mendapatkan perhatian dari para sultan Daulah Al-Mamalik. Di kota Rasulullah Shalla-Llah ‘alaihi wa Sallam itu telah dibangun berbagai madrasah, ribath-ribath, zawiyah-zawiyah serta beberapa rumah sakit. Masjid Nabawi pun telah beberapa kali dilakukan renovasi, dan dalam masa itulah pula untuk pertama sekalinya dibangun kubah-kubah. Masjid Nabawi direnovasi secara keseluruhan oleh Qaitbay setelah satu peristiwa kebakaran besar pada 886 Hijriah.
Qaitbai juga telah membangun sebuah madrasah atas namanya dalam pada waktu renovasi Masjid Nabawi dilakukan, dan melengkapinya dengan satu perpustakaan besar. Madrasah ini paling terkenal di Madinah dan masih beroperasi sampai dengan masa Daulah ‘Utsmaniyyah.
Selain Madrasah Qaitbai, ada pula Madrasah Jaubaniyyah yang dibangun pada 724 Hijriah, Madrasah As-Sinjariyyah yang merupakan bekas rumah Saiduna Abu Bakr—Radhiya-Llahu ‘Anhu—dan Madrasah Asy-Syiraziyah. Tentang Madrasah yang terakhir ini, As-Sakhawiy (wafat 930 Hijriah) dalam At-Tuhfah Al-Lathifah fi Tarikh Al-Madinah mengatakan bahwa pada saat ia pindah ke Madinah, ia tinggal di Madrasah itu sampai lebih dari 50 tahun lamanya.
Inilah kiranya di antara berbagai perkembangan yang sempat dihidupi dan disaksikan oleh Syaikh ‘Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy semasa masih berada di Madinah Al-Munawwarah. Gerak keilmuan yang giat dalam lingkungan yang dihidupinya tentu saja telah membukakan baginya cakrawala-cakrawala ilmu pengetahuan yang luas.
Sisi lain dari kehidupan di Madinah yang tentunya paling berpengaruh bagi Syaikh ‘Abdur Rahim adalah kegiatan belajar mengajar di Masjid Nabawi, yakni halqah-halqah yang diisi oleh tokoh-tokoh ulama besar di Madinah baik yang berasal dari Madinah maupun dari seluruh penjuru dunia. Para ulama tersebut mengajar di Masjid pada jam-jam belajar yang mereka pilih sendiri. Sedangkan untuk hari Selasa dan Jumat, kegiatan belajar mengajar diliburkan.
Dalam halqah-halqah itu diajarkan ilmu Al-Qira’at, Tafsir, Hadits, Fiqh, ilmu-ilmu Bahasa Arab dan ilmu-ilmu ‘Aqliyyah. Halqah-halqah di Masjid An-Nabawiy yang paling terkenal pada masa itu antara lain adalah:
Halqah Asy-Syaikh ‘Ali bin Sa’id bin ‘Abdul Wahhab yang wafat pada 910 Hijriah. Ia mengajarkan Fiqh dan Hadist di Masjid Nabawi di samping tugasnya sebagai qadhi (hakim) di Madinah.
Halqah Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Kazaruniy yang wafat pada 920 Hijriah. Ia mengajar Fiqh Mazhab Al-Imam Asy-Syafi’iy di Masjid An-Nabawi. Pengajiannya dimulai sejak terbit matahari sampai sebelum Zhuhur. Setelah itu, ia pulang ke rumahnya untuk muthala’ah (membaca buku-bukunya) kemudian kembali lagi ke Masjid untuk memulai pengajiannya setelah Zhuhur sampai dengan ‘Ashar. Setelah ‘Ashar dilanjutkan satu jam lagi, dan ia tetap tinggal di Masjid sampai dengan semua orang sudah keluar dan dia orang yang terakhir keluar.
Di antara tokoh ulama yang telah memberikan pengaruh besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Madinah pada masa itu adalah Al-Hafizh Abu ‘Abdillah Syamsuddin Muhammad bin ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Abu Bakr As-Sakhawiy dari Kairo dan bermazhab Asy-Syafi’iy. Ia wafat pada 902 Hijriah di Madinah Al-Munawwarah dalam usia 71 tahun. Ulama besar ini telah menghafal Al-Qur’an dan membacanya dengan sangat baik sejak kecil. Ia juga menghafal Al-Minhaj, Alfiyah Ibni Malik, An-Nukhbah, Alfiyah Al-‘Iraqiy, Syarah An-Nukhbah dan sebagian besar Asy-Syathibiyyah. Mahir dalam Fiqh dan ilmu bahasa Arab dan juga berkontribusi dalam Fara’idh, Hisab dan Miqat, Ushul Fiqh, Tafsir dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Ia juga seorang sejarawan besar yang telah meninggalkan karya-karya fudamental semisal Adh-Dhau’u Al-Lami’ Li Ahli Al-Qarni At-Tasi’, At-Tuhfah Al-Lathifah, Al-Munhal Al-‘Azb Ar-Rawiy fi Tarjamah Quthubil Auliya’ An-Nawawiy dan lainnya.
Tokoh besar lainnya di Madinah Al-Munawwarah dalam masa itu adalah Nuruddin Abul Hasan ‘Ali bin Al-Qadhi ‘Afifuddin ‘Abdullah bin Ahmad yang terkenal dengan As-Samhudiy (Samhud, Mesir). Ia adalah ulama, mufti, guru dan sejarawan Madinah Al-Munawwarah. Semasa di Samhud ia mempelajari Al-Minhaj, Syarh Al-Bahjah, Jam’ul Jawami’ dan sebagian besar Alfiyyah Ibni Malik, pada ayahnya serta meriwayatkan beberapa kitab hadits. Di Madinah ia melazimi Asy-Syihab Al-Absyithiy, mengikuti pengajiannya untuk kitab Al-Minhaj dan sebagian tafsir Al-Baidhawiy. Di antara karya-karyanya yang terkenal ialah: Jawahirul ‘Iqdain fi Fadhli Asy-Syarifain, Iqtifa’ul Wafa bi Akhbar Daril Mushthafa, Mukhtashar Khulashatul Wafa li ma Yajibu li Hadratil Mushthafa, dan Hasyiyah ‘ala Al-Idhah fi Manasik Al-Hijj lil Imam An-Nawawiy. Ia wafat pada 911 Hijriah.
Sebagaimana di Madinah, di Makkah juga hadir tokoh-tokoh ulama besar masa itu semisal ‘Abdullah bin Ahmad Ba Katsir Al-Hadhramiy Al-Makkiy (wafat 925 Hijiriah), dan Syaikh Masyaikhul Islam Zakariya bin Ahmad bin Zakariya Al-Anshariy (wafat 926 Hijriah), pengarang Syarh Ar-Raudh, Syarh Al-Bahjah, Al-Minhaj, Hasyiyah ‘ala Al-Baidhawiy (tafsir) dan lainnya.
Para ulama besar yang disebutkan tadi ialah di antara ulama-ulama yang telah meninggalkan jejak besar dalam ilmu pengetahuan Islam, dan karya-karya mereka masih dipelajari sampai dengan hari ini dan telah memberikan manfaat yang tidak diragukan lagi bagi umat Islam di seluruh dunia dari generasi ke generasi.
Dalam iklim keilmuan yang tercipta oleh keberadaan para ulama sekaliber itulah, Syaikh ‘Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy telah hidup. Bahkan, sangat boleh jadi di antara para ulama yang tersohor itu adalah rekan-rekan Syaikh ‘Abdur Rahim sendiri. Namun pada masa kemudian ia telah pindah ke Pedir (Kabupaten Pidie, hari ini) dan menetap sampai akhir masa hayatnya. Kepindahannya dari Madinah Al-Munawwarah sudah barangtentu karena didorong tekadnya yang kuat untuk memancarkan cahaya Islam dan menyebarkan ilmu-ilmunya. Ia adalah nur yang telah tiba dari Madinah, dan menjadi cahaya mata bagi penghuni Pedir dan Aceh kala itu.
Dengan kehadiran tokoh setingkat Syaikh ‘Abdur Rahim, barangkali, kita juga dapat mengukur bagaimana tingkat perkembangan ilmu pengetahuan Islam di Pedir, pada khususnya, dan Aceh, pada umumnya, dalam masa-masa paroh pertama abad ke-10 Hijriah. Cuma sayang sekali, sampai dengan hari ini kita belum menemukan warisan keilmuannya. Sebuah kerja keras dalam usaha menemukan karya-karyanya, saya kira, wajib ditekadkan. Sebagai seorang yang bekerja di lapangan, saya sangat yakin dengan ketajaman naluri yang dimiliki Ananda saya, Masykur Syafruddin, untuk menemukan apa yang diharapkan.
Berikut ini adalah bunyi inskripsi yang terdapat pada batu nisan makam Syaikh ‘Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy. Adinda saya, Mizuar Mahdi, telah mengirimkan kepada saya gambar-gambar yang terang dan bagus namun begitu di sana sini terdapat kesulitan yang merintangi saya untuk memperoleh bacaan yang lengkap dan sempurna.
Nisan kepala Makam Syaikh 'Abdur Rahim bin Shalih
Al-Madani, Sanggeu, Pidie.
أ.
1. الشيخ الأفخر المحترم
2. والعارف العالم معظم
3. المتحلي بالاسماء مكرم
4. ذو المفاخر في علومه ومعارفه
5. والمحاسن في فعلا ته ومراسمه
6. والعامل بصالح العبادات وعما [؟] (والأعمال)
7. أطله الله ببشير غفرانه
8. واصطفاه من بين العباد (إلى معاونه؟)
ب
Nisan kaki makam Syaikh 'Abdur Rahim bin Shalih
Al-Madaniy, Sanggeu, Pidie.
1. توفي الشيخ العارف الكا [مل]
2. المتقي (المنسقي ؟) الفقير المغفور
3. شيخ عبد الرحيم بن صالح المدني
4. تغمده الله بغفران رحمته
5. وأسكنه أوساط رضوان جنته
6. بعد هجرة النبوية صلى
7. الله عليه وسلم سنة ثالث و أر
8. بعين وتسعمائة يوم الجمعة شهر رمضان

Terjemahan:
A. 1. Syaikh (tuan guru) yang paling dibanggakan lagi dihormati; 2. yang ‘arif lagi ‘alim, [dan dia] diagungkan; 3. yang terhias dengan nama-nama (sifat-sifat terpuji), [dan dia] dimuliakan; 4. yang memiliki segala kemegahan dalam ilmu-ilmu dan pengetahuan-pengetahuannya; 5. dan memiliki segala keelokan dalam berbagai perbuatan dan tingkah lakunya; 6. dan yang selalu mengerjakan ibadah dan amal yang shalih; 7. semoga Allah menyejukkannya dengan berita gembira keampunannya; 8. dan memilihnya di antara para hamba [untuk menjadi bagian dari pertolongan-Nya].
B. 1. Telah diwafatkan Syaikh yang ‘arif lagi kamil (sempurna); 2. yang bertaqwa (yang sangat penurut?) lagi faqir, yang [semoga] diampuni; 3. Syaikh ‘Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy; 4. semoga Allah meliputinya dengan keampunan kasih sayang-Nya; 5. serta menempatkannya di tengah-tengah ridhwan syurga-Nya; 6. setelah hijrah Nabi, semoga shalawat; 7. Allah dan salam tercurah kepada beliau, tahun tiga dan; 8. empat puluh dan sembilan ratus (943) hari Jum’at dalam bulan Ramadhan.
Kompleks makam Syaikh 'Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy
(wafat 943 H/1537 M), Sanggeu, Pidie.
Baik inskripsi pada nisan kepala maupun nisan kaki memuat informasi tentang Syaikh ‘Abdur Rahim, dan ini mengingatkan kita kepada kedua nisan makam Syaikh Muhammad di Pango, Banda Aceh. Inskripsi pada nisan kepala seluruhnya mengungkapkan tentang sifat-sifat yang dimiliki Tuan Guru yang berasal dari Madinah ini, sedangkan inskripsi pada nisan kaki adalah untuk memberitahukan tarikh wafatnya.
Kalimat: “..yang memiliki segala kemegahan dalam ilmu-ilmu dan pengetahuan-pengetahuannya..” secara terang menyampaikan bahwa tokoh yang hidup sezaman dengan Syaikh Zakariya Al-Anshariy dan ulama-ulama semisalnya ini adalah seorang ulama yang memiliki keluasan ilmu pengetahuan sekelas ulama-ulama besar di paruh pertama abad ke-10 Hijriah. Dan hanya tekad untuk mengabdikan dirinya kepada Agama serta menyumbangkan ilmu-ilmunya itulah yang telah mengantarkan dirinya ke negeri yang sangat jauh dari Madinatur Rasul Shalla-Llah ‘alaihi wa Sallam. Maka adalah pantas kemudian bila diungkapkan bahwa Allah telah memilihnya di antara para hamba untuk menjadi bagian dari pertolongan-Nya.
Semoga Allah merahmati Syaikh Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy, dan membalas segala kebaikan yang telah diperbuatnya untuk Islam dan umatnya dengan sebaik-baik balasan dari-Nya.
Wal Hamdulillah, wash-Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Alihi wa Shahbihi Ajma’in!
Oleh: Musafir Zaman, Penulis adalah pembina Mapesa
Pertama sekali diposting di group facebook Mapesa