Kegundahan Akan Hilangnya Rupa Bandar Aceh


Almarhum Teuku Ibrahim Alfian.
>> Dan Maret pun Berlalu
26 Maret 2016
Sore hari itu, kawasan Jeulingke, Banda Aceh, bertudung mendung sementara sebuah acara sedang berlangsung di kantor Aceh Trend. Meski mendung, udara tetap terasa hangat, dan tema acara yang digelar Institut Peradaban Aceh di kantor Aceh Trend semakin menghangatkan keadaan.
"Memperingati 143 Tahun Perang Belanda-Aceh, 26 Maret 1873-26 Maret 2016; Perang Aceh dalam Catatan Hasan Tiro (Bedah Buku Karangan Pertama Hasan Tiro: Perang Aceh 1873-1927)".
Demikian bunyi tema acara yang membuat kantor Aceh Trend dipadati ramai sekali pengunjung dari berbagai kalangan.
Perang Aceh-Belanda atau "Prang Fi Sabililllah" adalah satu peristiwa besar yang menentukan banyak hal di Asia Tenggara. Patriotisme Aceh melegenda selama peristiwa itu. Namun di penghujungnya, musim telah ditentukan untuk berganti. Aceh ditakdirkan untuk menelan buah pahit peperangan sampai dengan hari ini.
Akibat buah pahit itu, pilu meninggalkan jejaknya dalam setiap relung hati yang hidup, tetapi tentunya juga bersama gelora patriotisme yang takkan pernah padam. Sebuah gelora yang untuk hari ini memang sukar tertangkap pandangan, apalagi oleh mereka yang gemar memicingkan mata, tapi saya masih sangat percaya ia senantiasa ada.
Acara yang digelar Institut Peradaban Aceh dan Aceh Trend dapat menjadi salah satu tanda bahwa gelora itu masih menyala. Suatu hari, apabila gelora patriotisme sudah benar-benar terpetunjuk, niscaya ia akan berdaya cipta.


Bekas kawasan permukiman Bandar Aceh Darussalam di Gampong Lampulo, Banda Aceh.
26 Maret 1988
28 tahun lalu, pada tanggal dan bulan yang sama, Pemerintah Kotamadya Banda Aceh menyelenggarakan sebuah seminar. Selain untuk memperingati hari kepahlawanan rakyat Aceh dalam Prang Fi Sabilillah melawan Belanda, seminar itu juga bertujuan untuk mendapatkan satu kesepakatan dari para ahli sejarah mengenai Hari Jadi kota di mana darah para syuhada Prang Fi Sabilillah telah bersimbah.
Hari Jadi tersebut diperlukan untuk membangun kesadaran bahwa kota ini telah terbentuk dan menjalani riwayat hidupnya sedari kurun waktu yang jauh. Kota ini bukanlah benda mati yang dapat diperlakukan sekehendak hati siapa saja. Ia merupakan satu organisme, makhluk hidup, yang menyimpan berbagai gagasan, nilai, peristiwa dan kenangan dari sebuah bangsa. Ia bukan hanya tempat untuk pemenuhan hajat sehari-hari, tapi lebih jauh dari itu ia juga pembentuk identitas dan jati diri. Pencarian Hari Jadi, dengan demikian, adalah sebuah usaha untuk kembali kepada semangat, gagasan dan nilai-nilai awal saat pertama sekali kota ini didirikan.
Dalam seminar itu, Ibrahim Alfian, lewat pemaparan ilmiahnya yang berjudul "Banda Aceh sebagai Pusat Awal Perang di Jalan Allah", mencoba mengembalikan ingatan ke suasana sekitar hari-hari dalam bulan Maret 1873 sebagai hari-hari yang pernah dihidupi rakyat Aceh.
"Menjelang bulan Maret yang sedang kita lalui ini, " ucap Guru Besar Sejarah dari UGM itu, "pada tahun 1873, 115 tahun yang silam, kota tempat kita mulai berseminar hari ini, sedang dilanda suasana yang mencekam. Kedaulatan Kerajaan Aceh serta integritas bangsa terancam oleh Kerajaan Belanda."
28 tahun yang lalu, Ibrahim Alfian telah menggambarkan secara umum suasana di Kota Banda Aceh menjelang Maret 1873.
Sekarang, pertanyaan yang muncul dalam benak, bagaimanakah wujud rupa Banda Aceh sebelum perang berkecamuk dan sebelum berbagai perkembangan berikutnya telah merubah berbagai sisi kehidupan kota?

Penyair LK Ara.
Sampai dengan saat ini belum ditemukan bentangan jawaban yang konkret lagi memuaskan untuk pertanyaan tersebut. Ibrahim Alfian sendiri menutup paparannya dengan sebuah sajak gubahan Penyair LK Ara sebagai jawaban:
Banda Aceh
yang masih kuingat tentang dirimu
adalah pahatan sejarah di batu
dalam goresan bisu
yang kuraba dengan rindu
Merupakan sikap arif lagi bijaksana dari seorang Guru Besar ketika ia mengutip bait-bait sajak ini, sebab ungkapan indah tersebut memiliki nilai ilmiah yang tinggi, dan bahkan merupakan sebuah arahan dari seorang penyair dan filsuf yang punya jangkau pandang jauh mengenai dari mana mesti memulai usaha penyingkapan wajah Bandar Aceh Darussalam sebelum perang 1873.
Arahan dan penekanan senada juga telah disampaikan Almarhum Ali Hasjmy dalam seminar bulan Maret 1988 tersebut.
Kata Hasjmy:
Almarhum Ali Hasjmy.
"Saya menyarankan agar dengan segera Pemerintah Daerah Aceh dan Pemerintah Daerah Kotamadya Banda Aceh mengambil langkah-langkah konkret untuk menyelamatkan peninggalan-peninggalan sejarah yang amat bernilai dari pemusnahan oleh gelombang laut dan tangan-tangan manusia jahil."
Sampai hari ini, ada sekian Maret yang sudah berlalu sejak saran itu diutarakan, dan mungkin akan ada sekian Maret lagi yang akan berlalu sampai dengan harapan dan saran itu dapat terwujud, atau mungkin juga tidak akan pernah terwujud sama sekali. Semuanya, kini, terpulang pada pilihan masyarakat Aceh; bergerak cepat untuk menyelamatkan bagian yang tersisa dari identitas dirinya atau membiarkan segalanya berlalu dan ditutupi debu?!

Bitai, 28 Jumadil Akhir 1437 H.

Posting Komentar

0 Komentar