“orang-orang dari arah barat telah datang bersama
berbagai kebaikan yang dimiliki peradaban dan kebudayaannya maka begitu pula
orang-orang dari arah timur. Semuanya kemudian tumpah di Bandar Aceh
Darussalam, mengisi bagian-bagian tertentu, dan pada gilirannya telah ikut
melengkapi dan memegahkan struktur kebudayaan dan perabadan dengan ragam anasir
terpilih dari kebudayaan dan peradaban bangsa-bangsa."
Pengantar
Bandar Aceh Darussalam bukan saja sebuah pelabuhan persinggahan di laluan barat-timur dunia. Bandar Aceh Darussalam lebih dari itu. Disiplin-disiplin semisal Sejarah, Arkeologi, Antropologi dan Linguistik tentu dapat menunjukkan bukti-bukti bahwa ia adalah sebuah negeri tujuan di mana orang-orang dari berbagai pelosok dunia berkumpul dan melabuhkan bahtera hidupnya sampai dengan ajal menjemput.
Di antara mereka yang datang adalah orang-orang yang berasal
dari bangsa-bangsa pemilik peradaban besar di zaman yang lebih kuno. Mereka
datang ke Bandar Aceh Darussalam, menetap, dan menyumbangkan aneka kebaikan
yang berasal dari pengalaman bangsa mereka masing-masing.
Semua kebaikan yang datang dari berbagai penjuru dunia itu
tumpah, mengalir dan mengisi sudut-sudut tertentu dalam berbagai aspek
kehidupan untuk melengkapi peradaban dan kebudayaan yang telah dibangun oleh
para penghuni lama. Hal ini secara pasti telah disemangati pula oleh Islam yang
diyakini oleh para penghuni lama. Sebab, Islam menaungi, merestui, serta
mendorong seluruh bentuk kebaikan, dan juga telah menyatakan bahwa manusia
paling mulia di sisi Pencipta hanyalah mereka yang lebih bertaqwa.
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah Menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami Jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (Al-Hujurat: 13)
Orang-orang Muslim yang datang dari arah barat Bandar Aceh
Darussalam lebih cenderung untuk memilih singgah dan mendiami negeri ini sebab
selain merupakan bandar yang paling pertama dijumpai setelah melayari samudera
India, ia juga adalah pangkalan Islam terbesar di daratan dan kepulauan Asia
Tenggara. Hal ini sama seperti sebelumnya ketika wilayah pesisir utara Aceh
menjadi tempat tujuan yang paling diminati para pedagang dari arah
barat—terutama Arab, Persia dan India—dikarenakan faktor jarak tempuh yang
relatif lebih dekat serta kesamaan agama dan keyakinan seperti yang dapat
dipahami dari keterangan Al-Quzwaini (wafat 682 Hijriah/1284 Masehi) tentang
“Jawah”, yakni wilayah yang juga disebut dengan “Sumuthrah” oleh Ibnu
Baththuthah—hari ini, lebih dikenal dengan Samudra (Aceh Utara).
Dalam “Atsarul Bilad wa Akhbarul ‘Ibad”, Al-Quzwaini menulis:
“Jawah adalah negeri-negeri di pantai laut Cina (mengacu kepada
pembagian laut kepada laut India dan laut Cina; Selat Melaka). Pada masa kita
sekarang, para pedagang hanya mampu mencapai negeri-negeri Jawah di belahan
Cina (mengacu kepada pembelahan daratan kepada daratan/kepulauan India dan
daratan/kepulauan Cina). Sulit untuk mencapai negeri-negeri lain di belahan
Cina disebabkan jaraknya yang jauh dan juga perbedaan agama.”
Sementara bagi orang-orang yang datang dari arah timur, Bandar
Aceh Darussalam tak ubahnya gerbang yang membentangkan belahan barat dunia yang
luas di depan mereka. Bandar Aceh adalah tempat mereka memasarkan berbagai
produksi dan komuditi ke belahan barat sekaligus juga untuk memasok berbagai
keperluan mereka dari sana.
Selain didorong kepentingan ekonomi, Bandar Aceh Darussalam,
atau beberapa negeri lain yang kemudian berada di bawah kesultanan Aceh, acap
pula menjadi negara suaka bagi kelompok-kelompok yang terusir dari tanah
asalnya oleh sebab penaklukan atau pertikaian internal. Namun faktor yang
terlebih penting untuk disebutkan adalah karena Bandar Aceh Darussalam telah
menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam terkenal di
Asia Tenggara. Ketertarikan orang-orang yang menghuni wilayah-wilayah di arah
timur untuk mempelajari dan mendalami Islam niscaya mendorong mereka untuk
datang dan berdiam di Bandar Aceh Darussalam.
Sebagaimana orang-orang dari arah barat telah datang bersama
berbagai kebaikan yang dimiliki peradaban dan kebudayaannya maka begitu pula
orang-orang dari arah timur. Semuanya kemudian tumpah di Bandar Aceh
Darussalam, mengisi bagian-bagian tertentu, dan pada gilirannya telah ikut
melengkapi dan memegahkan struktur kebudayaan dan perabadan dengan ragam anasir
terpilih dari kebudayaan dan peradaban bangsa-bangsa.
Demikianlah pengantar yang sedikit panjang ini telah sengaja
ditulis agar dapat menjadi “alat bantu” memahami beberapa informasi yang akan
diungkapkan nantinya.
Meuseuraya di Blang Oi
Ahad 10 April lalu, Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa)
melakukan meuseuraya (gotong-royong) membersihkan dan menata kembali satu
kompleks makam peninggalan sejarah Bandar Aceh Darussalam yang terletak di
Gampong Blang Oi, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh. Dalam kegiatan tersebut,
Mapesa juga melakukan dokumentasi serta mencatat berbagai data dan informasi.

Blang Oi adalah sebuah gampong dalam Kecamatan Meuraxa,
bertetangga dengan Gampong Deah Glumpang, Deah Baro, Alue Deah Tengoh yang terletak
di utaranya, Gampong Baro di selatan, Gampong Punge Ujong dan Lampaseh Aceh di
timur, dan Gampong Lambung serta Cot Langkuweuh di barat.
Kecamatan Meuraxa sendiri merupakan kecamatan di pesisir barat
Kota Banda Aceh yang berbatasan dengan laut di sebelah utara, Kecamatan Jaya
Baru di selatan, Kecamatan Kuta Raja di timur, dan Kabupaten Aceh Besar di
sebelah barat.
Dari sisi keletakannya, Blang Oi berada di bagian tengah
Kecamatan Meuraxa, dan terhalang oleh daratan sederet gampong dari bibir laut.
Namun begitu, sebagian besar bentang lahan gampong tersebut merupakan rawa-rawa
belakang (backswamp) yang digenangi pasang laut dari arah Alue Deah Teungoh dan
Deah Glumpang. Sebelum tsunami 2004 menyapu kawasan pesisir Kota Banda Aceh,
rawa-rawa itu tampaknya pernah difungsikan untuk lahan budidaya ikan. Kini,
kehidupan baru masih sedang tumbuh di Blang Oi.
Dengan mengacu kepada sebuah peta yang dibuat pada masa kolonial
Belanda dapat diketahui bahwa sejak 100 tahun yang silam sampai dengan hari
ini, tidak ada perubahan geomorfologis menonjol selain adanya sebuah kanal dari
arah Deah Glumpang yang membelah Blang Oi dan Deah Baro. Kanal ini tidak muncul
dalam peta kolonial.
Peta tersebut membagi lanskap Blang Oi kepada tiga bagian:
kawasan hunian (permukiman), kawasan lahan kering (kebun-kebun kelapa dan
padang) dan kawasan lahan basah (rawa-rawa/sawah).
Permukiman Blang Oi tampak relatif bersambung dengan permukiman
Deah Blang yang terletak di timur lautnya, sedangkan dengan permukiman Deah
Baro dan Deah Teungoh terhubung lahan kering yang menjurus ke utara. Di sisi
barat, dijumpai lahan kering yang menghubungkan wilayah gampong ini dengan
permukiman Lambung dan Cot Lamkuweuh. Selebihnya, permukiman Blang Oi
dikelilingi oleh lahan basah (wetland): di bagian utaranya adalah rawa-rawa,
dan di bagian selatannya adalah tanah persawahan yang luas. Namun dengan
mempertimbangkan rawa-rawa yang terbilang jauh dari pesisir laut dan dihalangi
daratan gampong-gampong lain, maka dapat saja diperkirakan bahwa rawa-rawa itu sebelum
satu abad yang lalu juga merupakan persawahan yang luas, dan dari situ pula
agaknya toponimi Blang Oi diangkat.
Dari sini tampak jalur perhubungan utama yang digunakan penghuni
permukiman Blang Oi dari dan ke kawasan pesisir Ulee Lheu (Ulee Lheuh, yakni
tanjung yang terpisah dari daratan utama atau mainland Aceh) adalah jalur yang
melewati Deah Blang ke Ulee Cot, dan dari sana dengan menggunakan transportasi
air ke Ulee Lheu. Jalur perhubungan yang demikian memperlihatkan lokasi
kompleks makam yang telah sengaja dipilih di bagian belakang dan luar
permukiman Blang Oi, pada lahan kering yang tidak jauh dari rawa-rawa dan
memiliki keletakan astronomis 5°33'22.9"N 95°17'48.3"E. Sekarang,
lokasi kompleks makam tersebut berbatasan dengan tanah milik Pak Ahmad di sisi
utaranya, tanah Pak Nasir di selatan, tanah Tgk. Rusli Raden (mukim Meuraxa) di
timur, dan jalan umum di barat.
Berangkat dari kenyataan kompleks makam ini sama sekali tidak
mengalami kerusakan yang berarti dalam bencana tsunami 2004, maka perlu pula
diberi perhatian terhadap posisi atau keletakan kompleks makam yang tampaknya
telah dipilih dengan mempertimbangkan hal-hal terkait kelautan serta mitigasi
bencana.
Diwai
Memasuki kompleks makam yang kini berada tepi jalan Abdussalam,
Dusun I, Lam Oi, terlihat struktur batu yang diturap dengan bahan perekat yang
khas. Struktur tersebut merupakan tembok atau dinding persegi panjang
berorientasi timur-barat yang mengelilingi makam-makam.
Ada dua struktur tembok yang dijumpai mengelilingi kompleks
makam: satunya (A) berada di sebelah luar dengan ketinggian rata-rata 80-95 cm
dari permukaan tanah dan tebal sekitar 87 cm; dan satunya lagi (B) berada di
sebelah dalam pada ketinggian yang sejajar tembok A, dengan ketebalan sekitar
48-60 cm dan sedikit lebih tinggi dari permukaan tanah di mana nisan-nisan
makam ditancapkan. Tembok A memiliki keliling 10,90 m x 16,70 m, sedangkan
keliling tembok B adalah 5,90 m x 13,50 m.
Tembok-tembok yang mengelilingi pemakaman semisal ini acap kali
dijumpai sepanjang wilayah pesisir Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Masyarakat
di wilayah pesisir sudah lazim dan secara turun-temurun menyebutnya dengan
Diwai. Diwai juga terkadang menjadi toponimi suatu tempat seperti halnya Dusun
Diwai Makam di Lambaro Skep, Kecamatan Kuta Alam, lantaran terdapat satu
kompleks pemakaman bersejarah yang disebut dengan Diwai Makam. Dan kompleks
makam di Blang Oi ini dikenal oleh masyarakat setempat dengan Malem Diwai—“malem”
secara fonetik dekat dengan kata ‘alim dalam bahasa Arab yang berarti orang
alim, atau dari mu’allim yang berarti guru atau juga pelayar.
Kata “Diwai” tampaknya hanya dikenal dan digunakan oleh
masyarakat Aceh, khususnya wilayah pesisir Banda Aceh dan Aceh Besar, dan tidak
digunakan oleh masyarakat lain di kepulauan Jawi (sekarang: Indonesia) atau di
Semenanjung Melayu.
Diwai merupakan sebuah serapan berasal dari kata dalam bahasa
Persia: Diwar atau Divar (ديوار، ديفار), yang
berarti dinding, tembok, pagar.
Dilihat dari sisi mengakarnya sebutan Diwai dalam ingatan
masyarakat Aceh, maka dapat saja dikatakan bahwa pola pembangunan Diwai atau
Diwar baik untuk pemeliharaan makam-makam yang terletak di daerah yang rendah,
maupun untuk tujuan lainnya, telah diperkenalkan oleh orang-orang yang
berhijrah dari kawasan Persia atau dari arah barat Bandar Aceh Darussalam.
Persia sendiri memiliki tembok bersejarah yang fenomenal dari
masa Sassanid sepanjang 200 km di daerah laut Kaspia, dan dikenal dengan Gorgan
Divar. Maka tidak mengherankan apabila bagian dari peradaban Persia ini telah
menjamah daratan Bandar Aceh Darussalam dibawa oleh koloni-koloni yang datang
dari arah barat.
Ada 21 makam dan 29 nisan yang dijumpai di dalam struktur Diwai;
19 nisan berada di dalam diwai B, dan 10 lainnya di luar diwai B. Semua nisan
bertipologi Aceh Darussalam Abad ke-17—ke 19 Masehi.
Dua makam di antaranya memiliki batu nisan yang dilengkapi
dengan batu badan dan tampak lebih menonjol dari makam-makam lainnya. Dari
bentuk dan hiasan pada kedua makam yang letaknya berdampingan itu dapat
diketahui bahwa kubur yang sebelah barat adalah milik seorang pria sedangkan
yang sebelah timur milik seorang wanita.
Naga
Dalam diwai B, satu nisan mengundang ketertarikan yang khusus.
Nisan tersebut memiliki ornamen berbentuk cakar atau sirip yang tajam.
Sepintas, ornamen semisal ini menimbulkan kesan ganas dan seram, dan tidak
lumrah dalam kesenian Islam secara umum.
Keberadaan ornamen yang demikian pada kubur orang-orang Muslim
dengan sendirinya mengundang tanda tanya dan memerlukan suatu penjelasan.
Berikut ini adalah apa yang dapat dijelaskan untuk sementara waktu mengenai
persoalan ini.
Dalam abad ke-11 Hijriah (ke-17 Masehi), ekspedisi-ekspedisi
militeris yang dilancarkan Almarhum Sri Perkasa Alam Sultan Iskandar Muda untuk
menyelamatkan bangsa-bangsa Islam serta mengikis pengaruh imperialisme Barat di
kawasan Asia Tenggara telah membawa pekembangan baru dalam dunia kebudayaan di
Bandar Aceh Darussalam. Anasir-anasir kebudayaan yang berasal dari Timur Jauh,
yang sebelumnya dapat dikatakan tidak begitu menonjol, dalam periode
pemerintahan Sultan Agung Aceh ini tampak mulai mendapatkan tempat yang
istimewa dan berkelanjutan sampai penutup zaman Aceh Darussalam.
Seiring hubungan politik yang semakin menguat antara Aceh
Darussalam dan negeri-negeri di Semenanjung Melayu atau Indocina, maka berbagai
bentuk jalinan pun ikut terbentuk antara Aceh Darussalam dengan berbagai negeri
di Timur baik itu negeri-negeri yang berada dalam dominasi kebudayaan Cina atau
bahkan Cina sendiri.
Lonceng Cakra Donya, yang sekarang dipajang di halaman Museum
Negeri Aceh, dan konon katanya dihadiahkan oleh Laksamana Cheng-Ho dalam
kunjungannya ke Samudra Pasai pada abad ke-15 Masehi, tampaknya adalah genta
yang berasal dari waktu paling lama sekitar abad ke-17 Masehi (Era Ming-Qing),
yang menandai keeratan hubungan diplomatik Aceh Darussalam dengan Cina.
Keeratan hubungan yang terwujud dalam berbagai aspek kehidupan pada gilirannya mendorong terciptanya sebuah tranformasi budaya di mana anasir-anasir dari barat dan timur telah diberikan porsi seimbang dalam suatu wujud keterpaduan yang apik di ruang kebudayaan dan peradaban Aceh Darussalam. Seni rupa Aceh Darussalam yang terjelma dalam pahatan dan ukiran batu-batu nisan makam dari abad ke-11—ke-13 Hijriah (ke-17—ke-19 Masehi) kiranya dapat menjadi saksi atas transformasi budaya yang berlangsung dalam waktu itu.
Keeratan hubungan yang terwujud dalam berbagai aspek kehidupan pada gilirannya mendorong terciptanya sebuah tranformasi budaya di mana anasir-anasir dari barat dan timur telah diberikan porsi seimbang dalam suatu wujud keterpaduan yang apik di ruang kebudayaan dan peradaban Aceh Darussalam. Seni rupa Aceh Darussalam yang terjelma dalam pahatan dan ukiran batu-batu nisan makam dari abad ke-11—ke-13 Hijriah (ke-17—ke-19 Masehi) kiranya dapat menjadi saksi atas transformasi budaya yang berlangsung dalam waktu itu.
Kendati prinsip-prinsip umum dalam pemahatan batu nisan makam di
Aceh masih sebagaimana abad sebelumnya, namun bentuk dan ornamen (ragam hiasan)
pada batu nisan telah mengalami perubahan-perubahan tertentu yang pada akhirnya
menampilkan sebuah gaya seni yang sama sekali berbeda dari masa sebelumnya.
Anasir-anasir kesenian dari Timur Jauh, yang dalam hal ini daratan Cina atau
Tiongkok, mulai berpenetrasi dan semakin dapat berasimilasi dengan kesenian
yang telah mantap di Bandar Aceh Darussalam.
Ornamen yang berupa cakar atau sirip tajam pada batu-batu nisan
atau bangunan adalah salah satu anasir kesenian yang terserap dari kebudayaan
Cina lewat koloni-koloni Cina Muslim atau Indocina Muslim yang tinggal menetap
di Bandar Aceh Darussalam. Cakar atau sirip tajam itu sendiri berhubungan
dengan makhluk mitologi dalam tradisi Cina, yaitu naga.
Naga, atau yang dalam bahasa Cina disebut dengan Lung/Long,
merupakan ular besar dengan tubuh yang panjang dan bersisik serta memiliki
empat kaki. Dalam tradisi Cina, naga bukan hewan menyeramkan seperti dalam
gambaran masyarakat-masyarakat di Dunia Barat, tapi justru melambangkan kekuatan
yang besar dan bermanfaat, khususnya kendali atas air, hujan, angin, dan
banjir. Naga juga merupakan perlambang kekuatan, kekuasaan, dan keberuntungan.
Kaisar Tiongkok menggunakan naga sebagai lambang kekuasaan kekaisaran dan
kekuatannya. Dalam bahasa sehari-hari Tiongkok, orang yang hebat dan luar biasa
disamakan dengan naga (https://ms.wikipedia.org/wiki/Naga_Cina)
Di Cina, cakar-cakar naga digunakan sebagai lambang perbedaan
hierarki. Sebuah sumber informasi menyebutkan bahwa pada zaman Dinasti Zhou,
naga berkuku lima diperuntukkan kepada Putera Kayangan (Maharaja), naga berkuku
empat untuk golongan bangsawan, dan naga berkuku tiga untuk para menteri. Pada
zaman Dinasti Qing pula, naga berkuku lima mewakili Maharaja dan naga berkuku
tiga dan empat diuntukkan kepada rakyat jelata (https://id.wikipedia.org/wiki/Naga_Tiongkok).
Sumber lainnya juga menyebutkan, undang-undang naga bercakar
lima pertama sekali diberlakukan pada 1336 Masehi (masa Dinasti Yuan). Dalam
undang-undang tersebut, masyarakat umum dilarang menggunakan lambang naga
bercakar lima bertanduk dua. Undang-undang itu pada masa berikutnya diberlakukan
pula oleh Kaisar Ming yang menjadikan naga bercakar lima sebagai lambang khusus
dirinya, sedangkan naga bercakar empat biasanya diperuntukkan untuk kaum
bangsawan kerajaan dan pegawai berpangkat tinggi, dan yang bercakar tiga untuk
menteri berpangkat rendah dan rakyat jelata. Untuk wilayah-wilayah yang
membayar upeti kepada kaisar, mereka hanya diizinkan untuk memakai lambang naga
bercakar empat (https://ms.wikipedia.org/wiki/Naga_Cina#Cakar_naga).
Dari sini dapat dipahami bahwa ornamen cakar yang bervariasi
antara cakar tiga sampai lima pada batu-batu nisan Aceh abad ke-11—ke-13
Hijriah (ke-17—ke-19 Masehi) tidak ditujukan untuk memberi kesan ganas dan
seram atau hal-hal yang menakutkan, tetapi justru untuk menandai asal keturunan
atau etnis orang yang dimakamkan sekaligus juga, mungkin, kedudukannya di
tengah-tengah kaumnya.
Lain itu, dalam mitologi Cina juga disebutkan bahwa naga memiliki 9 putra, yang antara lain adalah Pu-lao, Chaofeng dan Baxia.
Lain itu, dalam mitologi Cina juga disebutkan bahwa naga memiliki 9 putra, yang antara lain adalah Pu-lao, Chaofeng dan Baxia.
Pu-lao adalah naga yang suka berteriak dan diletakkan sebagai
tangkai genta seperti terlihat pada Lonceng Cakra Donya yang sekarang berada di
kompleks Museum Negeri Aceh.
Chaofeng merupakan putra naga yang menyukai tempat-tempat curam,
dan dalam arsitektur Cina, ia diletakkan pada keempat sudut atap, sedangkan
Baxia merupakan naga yang suka memikul beban, dan diletakkan di bawah tugu
kubur.
Konsep dekorasi dalam arsitektur tradisional Cina yang
meletakkan Chaofeng dan Bixia pada tempat-tempat tadi agaknya juga telah
terserap ke dalam seni pahat batu-batu nisan Aceh Darussalam abad ke-11—ke-13
Hijriah (ke-17—ke-19 Masehi) di mana stilir figur-figur tertentu telah dijumpai
pula pada sudut-sudut persegi empat bagian puncak dan bawah batu-batu nisan.
Anasir kebudayaan Timur Jauh dapat diamati pula pada ornamen
bagian alas (bawah) batu nisan yang berupa panel-panel persegi menyerupai
gambar gapura. Sebelum abad ke-17 Masehi, ornamen semisal ini tidak ditemukan
pada batu-batu nisan Aceh Darussalam.
Naga dalam kepercayaan Cina juga sering dikaitkan dengan air,
dan dipercayai sebagai raja atau penguasa air yang mengalir seperti air terjun,
sungai atau laut. Barangkali, dari sebutan naga dalam bahasa Cina itu pula
orang Aceh menyebutkan “lung” untuk aliran-aliran air. Begitu pula barangkali
dengan sebutan “cinu” (tempurung yg diberi tangkai untuk mengambil air; gayung)
berasal dari kata chiniu dalam bahasa Cina (chiniu dirupakan dalam barang
kerajinan yang bertangkai naga).
Namun satu catatan penting yang mesti segera ditegaskan ialah
bahwa berbagai anasir kebudayaan yang terserap dari Timur Jauh telah dipisahkan
jauh-jauh dari makna religius yang dikandungnya. Anasir kebudayaan tersebut
diserap untuk semata-mata memperkaya khazanah kebudayaan dan peradaban tanpa
mengikutkan kepercayaan-kepercayaan yang dibawanya, sebab firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala: “Pada hari ini telah Aku Sempurnakan agamamu untukmu, dan
telah Aku Cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku Ridai Islam sebagai agamamu.”
(Al-Maidah: 3)
Akhir Kata
Mengkaji sejarah kebudayaan Aceh sama artinya mengkaji sejarah
kebudayaan berbagai bangsa di dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menganugerahkan untuk Aceh keletakan geografis yang penting di laluan bahari
dunia, menunjukinya kepada jalan-Nya yang lurus, dan memberikan berbagai
kebaikan yang dikandung buminya untuk menjadi modal dalam rangka mengagungkan
Nama-Nya di berbagai pelosok dunia belahan timur. Aceh dengan demikian menjadi
tempat perjumpaan yang dipenuhi iman kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Orang-orang
dari berbagai bangsa di barat dan timur datang dan menetap serta memperkaya
kebudayaan Islam yang dibina di Bandar Aceh Darussalam.
Maka salah satu harapan besar di masa depan, Bandar Aceh
Darussalam dapat kembali mengambil peran masa silamnya, menjumpakan berbagai
bangsa di dunia di bawah naungan tuntunan ilahi yang menyerukan kepada
persaudaraan dan perdamaian.
Bitai, 14 Rajab 1437 Hijriah.
0 Komentar