Menggapai Kembali Bandar Aceh Darussalam

Keterasingan

"Kota Banda Aceh hari ini tanpa jiwa, tanpa kekhususan, dan berkembang menuju pengukuhan keterputusannya dengan masa lampau. Dalam kondisi inilah tampak ribuan kubur peninggalan sejarah Aceh Darussalam--yang merupakan jejak artefaktual paling menonjol dalam daftar warisan peninggalan sejarah Aceh disamping naskah-naskah manuskrip ilmu pengetahuan serta benda-benda bersejarah lainnya-- kini tampak sebagai sesuatu yang terlepas dan terpisah jauh dari zaman yang mengakuinya.

Di Luar Tapal Batas
Karena diajak ikut serta dalam sebuah kegiatan penelitian sejarah Islam, akhirnya, saya berada di daerah yang mayoritas masyarakatnya non-Muslim pada penghujung 2014 silam. Kenapa meneliti sejarah Islam di daerah non-Muslim, ini adalah pertanyaan yang mesti segera saya jawab. Jawabannya ialah karena daerah tersebut memiliki masa lalu dalam ruang sejarah Islam sebelum kemudian identitasnya berubah akibat pengaruh imperialisme Barat sejak abad ke-19 Masehi.
Komplek makam dari zaman Bandar Aceh Darussalam. Lampulo, Kuta Alam, Banda Aceh
Daerah itu memiliki situs-situs pemakaman Muslim dalam jumlah banyak, yang menjadi bukti keberadaan masyarakat Muslim secara mayoritas dalam tempo waktu yang lama. Satu di antara penanggalan wafat tertua serta paling dapat dipercaya yang berhasil ditemukan adalah penanggalan yang mencantumkan angka tahun 751 Hijriah. Artinya, Islam telah mapan di daerah tersebut, paling tidak, sejak abad ke-8 Hijriah atau ke-14 Masehi.
Hari ini, situs-situs sejarah yang menandakan era Islam itu dikelilingi oleh penduduk yang bukan Muslim dan berada di bawah perawatan mereka. Ironis, memang, apabila juru pelihara makam orang-orang Islam zaman lampau itu justru orang-orang yang berinisial Albertus, David atau lain semacamnya, tapi begitulah kenyataan sekalipun pahit!
Hari-hari penelitian di daerah itu alangkah sunyi dan asingnya sekalipun tidak pernah jauh dari rombongan tim peneliti. Keterasingan itu datang dari suatu sebab yang lain.
Di sana, tidak pernah terdengar kumandang azan dan bacaan Al-Qur'an yang bergema di mana-mana seperti halnya di Aceh pada setiap kali menjelang waktu shalat. Hari dan malam berlalu begitu saja tanpa pembagian-pembagian waktu semisal Zhuhur, 'Ashar, Maghrib, 'Isya' dan Shubuh. Alam yang secara fisik sama hijaunya dengan alam di Aceh, aliran sungai yang sama beningnya, udara yang sama sejuknya, tapi semuanya terlihat seperti tanpa ekspresi, diam dalam sunyi yang membosankan. Saya tersudut, keterasingan menohok hulu hati tanpa mampu dielakkan.
Rasa tersudut dan terasing itu tampaknya bukan saya saja yang merasakannya. Batu-batu nisan yang terpahat dengan gaya kesenian Islam yang khas dan yang sebagiannya berkaligrafi Arab juga tampak mengalami ketersudutan dan keterasingan yang sama, bahkan sudah sejak lama. Nisan-nisan yang menjadi saksi atas kehadiran masyarakat Muslim di zaman lampau itu telah lama kehilangan konteks sosial budaya yang selaras, dan sekarang menjadi tersudut dan terasing. Hampir saja saya merangkai bait-bait yang akan saya beri judul: "Pengaduan Nisan"!

Di Jantung Negeri
Mata Uang Bertulis "Bandar Aceh Darussalam".
Bulan-bulan belakangan ini, saya berada di Banda Aceh; menginap di Bitai, di rumah Adinda saya, Mizuar Mahdi. Setiap kali menjelang waktu shalat, dari seluruh penjuru mata angin terdengar lantunan bacaan ayat suci Al-Qur'an yang kemudian disusul suara azan.
Malam-malam, angin juga menghantarkan bacaan-bacaan shalawat dan doa-doa yang beralun-alun, terkadang sayup-sayup, terkadang terasa berasal dari jarak yang sangat dekat. Saat-saat itulah, pikiran dibawa ke masa lampau kota yang dulunya bernama "Bandar Aceh Darussalam".
Mengapa? Mengapa pikiran dibawa ke masa lampau?
Sudah barangtentu karena dalam memori saya, "Bandar Aceh Darussalam" terekam sebagai sebuah pusat penyiaran Islam terkemuka sehingga seperti tadilah kira-kira suasana yang pernah hadir di masa lampau.
Untuk waktu sekarang ini, saya dapat mengatakan bahwa hanya suasana itulah yang mampu membawa saya ke masa lampau. Lantunan-lantunan itu bergema menghadirkan ke dalam ruang pikiran sebuah pemandangan yang menampilkan masjid-masjid berkonstruksi kayu dengan bubungnya yang bertingkat-tingkat. Takbir, tahmid, shalawat, bacaan Al-Qur'an, suara-suara para guru yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan terdengar di setiap sudut kota, dari gampong ke gampong, dari mukim ke mukim. Berbagai gerak yang sibuk di berbagai bidang kehidupan terlihat dipandu oleh cita-cita yang jauh lebih luhur dari sekadar maksud "cari makan".
Hanya suasana itu yang memberikan saya "sense of place" dari Bandar Aceh Darussalam. Lain itu, Banda Aceh hanya sebuah kota semi modern yang tidak ke timur dan juga tidak ke barat. Saya tidak menemukan suasana yang menguatkan citra Bandar Aceh Darussalam di mana para sultan agung Aceh semisal 'Ali Mughayat Syah, 'Alauddin Ri'ayat Syah, 'Ali Ri'ayat Syah, 'Alauddin Ri'ayat Syah (Sayyidil Mukammil), Iskandar Muda, dan lain-lainnya pernah memerintah. Bahkan, tidak pun menemukan Banda Aceh yang "Serambi Mekkah".
Lampulo, Kuta Alam, Kota Banda Aceh.
"Mereka yang dikuburkan di sini meninggal jejak-jejak kehidupan yang akan membentangkan pengetahuan dan pengalaman bangsa ini di masa lampaunya. Pengetahuan dan pengalaman tersebut penting bagi menentukan arah masa depan. Namun, sayang, belum banyak yang diketahui mengenai kehidupan di masa-masa itu dan belum juga dapat direkonstruksi secara lebih saksama. Sekarang, jejak-jejak kehidupan itu akan tergadai pada waktu, dan boleh jadi akan lenyap tanpa meninggalkan apapun makna bagi generasi hari ini. Lagi pula, jejak kehidupan siapa? Malang sekali rasanya ketika kenyataan sejarah justru membeberkan bahwa itu adalah jejak kehidupan para leluhur yang telah memberikan kepada generasi hari ini sebuah identitas yang membanggakan."
Bandar Aceh Darussalam yang memiliki sejarah panjang lebih sering dijumpai dalam penuturan lisan dan tulisan segelintir orang. Sementara di bentang lahannya, cuma secuil saja yang masih bisa disaksikan dan seperti sekadar mewakili zaman yang telah dilupakan.
Hari ini, Banda Aceh hanya Banda Aceh yang dinamikanya secara umum digerakkan oleh obsesi-obsesi individual atau kelompok yang ujung-ujungnya juga bermuara kepada kehidupan pribadi; kehilangan visi dan misi yang mendunia sebagaimana zaman lampaunya. Banda Aceh tumbuh marak di atas Bandar Aceh Darussalam yang telah dibenamkan oleh kolonial, dan pembenaman itu masih saja dilanjutkan baik atas nama peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, atau malah di bawah selimut jargon Model Kota Madani.
Sebuah plang yang diletakkan di tepi jembatan Punge Blang Cut menganjurkan pendirian bangunan yang rapi dan indah, dan cuma itu saja. Hanya soal mempercantik (beautifikasi), tidak lebih dari itu. Sementara sisi yang tampaknya benar-benar diabaikan, sengaja maupun tidak, adalah nilai-nilai yang hidup dalam sejarah kota; ruh yang menjiwai masa lampaunya. Sisi ini tidak dilirik untuk diangkat menjadi acuan pokok dalam penataan wajah kota. Bahkan, perlakuan "tidak senonoh" terhadap bantaran muara Krueng Aceh yang legendaris sekaligus landmark tanah bertuah ini adalah dalil nyata atas ketidakarifan terhadap nilai-nilai sejarah dan lingkungan hidup. Atas dasar cita rasa dan karsa apa tepi kanan muara Krueng Aceh dijadikan sebagai tempat penampungan sampah dan limbah?!
Tata ruang dan wajah Kota Banda Aceh, dewasa ini, dengan jelas memamerkan suatu kegagalan dalam mengilhami masa lampau kota yang merupakan pusat kebudayaan dan peradaban Islam di Asia Tenggara sekaligus front paling terdepan dalam menentang berbagai bentuk penggerogotan imperialisme Barat terhadap bangsa-bangsa di timur, dan juga poros maritim dunia.
Kota Banda Aceh hari ini tanpa jiwa, tanpa kekhususan, dan berkembang menuju pengukuhan keterputusannya dengan masa lampau. Dalam kondisi inilah tampak ribuan kubur peninggalan sejarah Aceh Darussalam--yang merupakan jejak artefaktual paling menonjol dalam daftar warisan peninggalan sejarah Aceh disamping naskah-naskah manuskrip ilmu pengetahuan serta benda-benda bersejarah lainnya-- kini tampak sebagai sesuatu yang terlepas dan terpisah jauh dari zaman yang mengakuinya. Kubur-kubur itu, begitu pula benda-benda bersejarah lainnya, seolah-olah telah dihanyutkan oleh waktu yang perkasa dan kemudian terdampar di suatu tempat yang bukan konteks kebudayaannya; tidak terakui, terasing dan terancam dimusnahkan.
Maka, kembali keterasingan begitu terasa, dan kali ini malah di jantung negeri. Keterasingan itu pada hakikatya membahayakan apalagi bila tidak pernah disadari. Sebab, pola ruang tentu akan menentukan corak volume yang mengisinya. Ruang yang telah dikosongkan dari materi-materi pembentuk jati diri niscaya mudah dimasuki anasir kontra-identitas yang lambat laun menggiring, mengubah dan pada gilirannya memudarkan, bahkan melenyapkan, jati diri sebuah eksistensi yang telah wujud sejak kala yang lama. Ini sesungguhnya membahayakan, dan hanya bangsa yang lemah dan penuh keputusasaan yang rela melangkah menuju kelenyapan.
Satu hal lagi yang juga perlu disinggung sedikit di sini ialah kepentingan tata ruang dan wajah kota dalam konsep "amar ma'ruf nahi munkar". Kewajiban amar ma'ruf nahi munkar tidak bermakna mengharuskan seseorang bersuara keras-keras, memaki-maki, dan menghalau-halau dalam suatu "operasi" amar ma'ruf nahi munkar. Tata ruang serta wajah sebuah kota atau daerah dapat digunakan sebagai salah satu instrumen utama dalam kerangka kerja amar ma'ruf nahi munkar. Analoginya, barangkali, begini: jika yang dibangun itu adalah rumah, maka manusialah penghuninya, tapi jika kandang yang dibuat maka sapilah penghuninya.
Saya yakin, Fiqh Islam serta warisan kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang ditinggalkan oleh para pendahulu Aceh mampu menyodorkan satu konsep perkotaan yang implementatif, yang dapat mengembalikan citra Bandar Aceh Darussalam sehingga jati diri kota dan penghuninya dapat lestari sampai ke masa depan.
Bitai, 16 Rajab 1437 Hijriah
Oleh: Musafir Zaman.

Posting Komentar

0 Komentar