![]() |
Kompleks jirat peninggalan sejarah di Gampong Alur Manis, Kecamatan Rantau, Kabupaten Aceh Tamiang. Foto Cisah, Sya'ban 1432 (Juli 2011). |
Gambar-gambar ini diambil dalam bulan Juli 2011 (Sya'ban
1432) manakala Cisah, sebuah lembaga swadaya masyarakat pemerhati sejarah Aceh
yang berkedudukan di Kota Lhokseumawe, berkunjung ke "Banua Tamiang"
di pesisir timur Aceh.
Kunjungan tersebut terlaksana atas pembiayaan mandiri, tanpa
melibatkan pihak manapun, apalagi Pemerintah. Jadi, pada hakikatnya, hanya
sebuah kunjungan biasa seperti yang umum dilakukan, tanpa perlu Lembaga ini
melaporkan serta mempertanggungjawabkan hasil kunjungannya kepada siapapun,
atau bahkan tanpa harus menyiarkan itu ke ruang publik. Tetapi bukan lantaran
itu, gambar-gambar ini tidak disiarkan ke publik, dan akhirnya mendekam dalam
berkas dokumen Cisah selama hampir tujuh tahun lamanya. Bukan karena tidak ada
orang atau pihak yang membayar Cisah untuk kunjungan tersebut! Ada sebab lain!
Penundaan penyiaran sampai waktu yang sekian lama,
sesungguhnya, adalah karena masih minimnya informasi yang berhasil dihimpun
oleh Cisah berkenaan subjek dalam gambar-gambar ini. Satu kunjungan singkat
bukanlah waktu yang memadai untuk mengorek pelbagai informasi. Sementara
kunjungan lanjutan yang semestinya dilakukan, sampai hari ini, tidak dapat
terlaksana lantaran kendala-kendala yang tidak perlu diungkapkan di sini. Dan
ini malah hanya merupakan satu kasus dari sekian banyak kasus penundaan
penyiaran informasi-informasi baru mengenai sejarah dan peninggalan sejarah
Aceh disebabkan oleh karena belum cukupnya informasi yang diperoleh terkait
masing-masing subjek. Harapan semoga ada pihak lain yang datang membawakan
informasi-informasi yang lebih lengkap kepada publik berujung dengan suatu
keputusasaan. Walhasil, untuk sementara ini, publik pembaca diharap dapat puas
dengan informasi yang sealakadarnya.
Subjek dalam gambar-gambar ini adalah sebuah kompleks jirat
peninggalan sejarah yang berada di Gampong Alur Manis, Kecamatan Rantau,
Kabupaten Aceh Tamiang. Batu-batu nisan jirat yang dijumpai dalam kompleks
tersebut dipastikan berasal dari zaman Sumatra (Samudra Pasai), abad ke-8
(ke-13 Masehi) sampai ke-10 (ke-16 Masehi). Salah satu jirat diketahui pasti
adalah milik seorang sultan. Namun tentang siapa nama sultan dan garis
keturunannya, kapan almarhum memerintah, dan mengapa ia dikuburkan di tempat
itu, di atas satu bukit yang tidak berada jauh dari aliran sungai Tamiang,
adalah pertanyaan-pertanyaan yang belum diperoleh jawabannya sampai kini.
![]() |
Pemandangan dari arah kompleks jirat peninggalan sejarah di Gampong Alur Manis, Kecamatan Rantau, Kabupaten Aceh Tamiang. Foto Cisah, Sya'ban 1432 (Juli 2011). |
Jirat Almarhum Sultan ditandai dengan dua buah batu nisan
bertipologi Sumatra di bagian kepala dan kaki jirat, dan juga dengan batu badan
persegi panjang yang kelilingnya berisi inskripsi dan dekorasi. Dari inkripsi
pada sisi utara batu badan jirat diketahui bahwa tokoh yang dimakamkan dalam
jirat itu adalah seorang sultan, namun sayang sekali bagian ini sudah tidak
lengkap lagi; ada bagian yang patah dan telah hilang, sehingga bagian inskripsi
yang kiranya memberitahukan nama sultan sudah tidak dapat ditemukan. Inskripsi
yang tersisa di bagian ini berbunyi:
1. هذا ضريح السلطان فاا ......
"Ini adalah jirat sultan fa... (?)"
Pada sisi timur (sisi 2) dan barat (sisi 4) batu badan jirat
juga terdapat bagian-bagian yang sudah patah dan hilang, tetapi dari inskripsi
yang tersisa dapat diketahui bahwa yang terpahat di bagian-bagian ini adalah
ayat-ayat Al-Qur'an dalam surah Al 'Imran: 185 dan Al-Qashash: 88.
Inskripsi:
2. ...... الموت وإنما توفون أجوركم يوم القيامة فمن زحزح
عن النار وأدخل الجنة
4. فقد فاز وما الحياة الدنيا إلا متاع الغرور كل شيء هالك ...... إليه ترجعون
Bunyi Al 'Imran: 185 secara lengkap:
كل نفس ذائقة الموت وإنما توفون أجوركم
يوم القيامة فمن زحزح عن النار وأدخل الجنة فقد فاز وما الحياة الدنيا إلا متاع الغرور
"Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya
pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa
dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, sungguh, dia memperoleh
kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya."
Bunyi Al-Qashash: 88 secara lengkap:
ولا تدع مع الله إلها آخر لا إله إلا هو
كل شيء هالك إلا وجهه له الحكم وإليه ترجعون
"Dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain
Allah. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti
binasa, kecuali Allah. Segala keputusan menjadi wewenang-Nya, dan hanya
kepada-Nya kamu dikembalikan."
Pemahatan ayat-ayat ini dengan khath tsulust yang indah dan
bermutu tinggi ini jelas disengajakan untuk menarik perhatian kepada makna-makna
agung yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut. Konteks di mana ayat-ayat ini
terpahat dengan begitu indahnya menyiratkan makna bahwa:
"Seorang sultan atau penguasa sehebat apapun, ia tidak
pernah dikecualikan dari kematian. Maut adalah sesuatu yang mesti dirasakan
oleh siapapun dan apapun yang bernyawa kendati seluas apapun kekuasaannya
semasa di dunia, bagaimanapun tinggi tingkat keberhasilan dan kemenangan yang
dicapainya, dan betapapun kesenangan dan kemewahan yang dimilikinya. Ia mesti
merasakan mati, dan hanya pada hari kiamat kelak, Allah menyempurnakan balasan
untuknya. Dan pada hari kiamat, bukan kehebatan dan ketinggian kedudukan
seorang sultan atau penguasa yang menjadi ukuran kemenangan dan keberhasilan.
Kemenangan pada hari itu hanyalah apabila dijauhkan dari api neraka dan
dimasukkan dalam syurga apakah dia itu seorang sultan ataupun dari rakyat
jelata. Itulah kemenangan yang sesungguhnya, lain itu, apa saja yang diperoleh
dalam kehidupan dunia, hanyalah kesenangan yang dapat mengalihkan perhatian
dari kehidupan yang kekal abadi di akhirat kelak sebab "Segala sesuatu
pasti binasa, kecuali Allah. Segala keputusan menjadi wewenang-Nya, dan hanya
kepada-Nya kamu dikembalikan."
Inskripsi pada sisi selatan batu badan jirat yang
bersetentangan dengan sisi utara di mana terdapat inskripsi yang menyebutkan
"ini jirat sultan...", terpahat dengan kaligrafi yang sangat indah
sebaris kalimat penegasan:
هو الحي الذي لا يموت
"Dialah Yang Maha Hidup (Allah), yang tidak mati."
Satu kalimat yang kiranya telah dipetik dari ayat Al-Qur'an
dalam Al Furqan: 58 yang berbunyi:
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا
يَمُوتُ وَسَبِّحْ بِحَمْدِهِ وَكَفَى بِهِ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيراً
"Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup, Yang tidak
mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa
hamba-hamba-Nya."
Pasrahkanlah segalanya kepada Allah Yang Maha Hidup, Yang
takkan pernah mati. Tidak perlu menangisi, meratapi dan berputus asa atas
kepergian seorang sultan menghadap Tuhannya sekalipun ia seorang yang kita
kagumi, cintai dan junjung tinggi. Kita bersaksi hanya atas apa yang kita
ketahui, kita tidak menyanjung seseorang ke hadapan Allah, dan cukuplah Allah
bagi orang itu. Maka, mahasucikalah Allah dengan memuji-Nya, dan cukuplah Allah
Yang Maha Mengetahui kekurangan-kekurangan hamba-Nya.
Sengaja saya mengakhirkan penjelasan baris inkripsi ini dari
yang lainnya sebab dari sini saya menangkap satu kesan atau isyarat bahwa
Almarhum Sultan yang dikuburkan di tempat itu merupakan seorang pemimpin kuat
dan berpengaruh di masanya, yang kepribadian dan geraknya telah menjadi pusat
kekaguman dari orang-orang yang hidup dalam pemerintahannya. Sayang sekali,
berita tentang Almarhum Sultan, untuk saat ini, hanya sampai di situ.
Satu hal lain yang saya ingin arahkan perhatian terkait
inskripsi ini adalah tentang suatu penampilan memukau yang tidak menunjukkan
kepada selain kecerdasan dan ketinggian daya cipta yang dimiliki oleh seniman
pemahat inskripsi ini. Ia tampak sebagai seorang seniman yang telah
mempertunjukkan tingkat keluhuran budaya Islam di zamannya. Karyanya yang masih
kekal sampai dengan waktu ini memberikan kita peluang untuk meraba sisi-sisi
kemajuan dunia kebudayaan di zamannya sekalipun "masterpiece" itu
kini berada di tempat yang terabaikan.
Kita dapat memperhatikan kaligrafi kalimat هو الحي الذي لا يموت
dengan kata "alladzi" yang dibentuk persis Lafzhul Jalalah: Allah.
Untuk saya, hanya di sini, saya menjumpai penulisan
"alladzi" yang dalam waktu yang sama juga dapat dibaca dengan
"Allah". Yakni, dalam satu kata yang dipahatnya, seniman telah
menyematkan kata dan maknanya sekaligus. Alladzi adalah ism maushul, yakni ism
yang samar-samar (mubham) yang membutuhkan kepada kalimat yang menjelaskannya
(shilah Al-maushul), dan di sini, seniman ternyata telah memberikan
"shilah" lain dengan caranya tersendiri untuk menegaskan siapa yang
dimaksud dengan "alladzi". Yang Maha Hidup dan Yang takkan mati itu
adalah Dia; Allah. Tidak ada Lafzhul Jalalah dalam teks inskripsi, tapi Anda
dapat melihatnya dengan terang dalam kaligrafi sang seniman.
Ini adalah suatu daya imajinasi, yang saya kira, tidak biasa,
dan menunjukkan kecerdasan sang seniman.
Semoga Allah mengampuni dan merahmati mereka semuanya.
Bitai, 3 Sya'ban 1438Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari group facebook Mapesa.
![]() |
Repro kaligrafi oleh Khairul Syuhada:
هو الحي الذي لا يموت
"Dialah Yang Maha Hidup (Allah), Yang tidak mati."
|
![]() |
Pemandangan ke arah kompleks jirat peninggalan sejarah di Gampong Alur Manis, Kecamatan Rantau, Kabupaten Aceh Tamiang. Foto Cisah, Sya'ban 1432 (Juli 2011). |
![]() |
Jirat lain di kompleks jirat peninggalan sejarah di Gampong Alur Manis, Kecamatan Rantau, Kabupaten Aceh Tamiang. Foto Cisah, Sya'ban 1432 (Juli 2011). |
![]() |
Kompleks jirat peninggalan sejarah di Gampong Alur Manis, Kecamatan Rantau, Kabupaten Aceh Tamiang. Foto Cisah, Sya'ban 1432 (Juli 2011). |
![]() |
Jirat lain di kompleks jirat peninggalan sejarah di Gampong Alur Manis, Kecamatan Rantau, Kabupaten Aceh Tamiang. Foto Cisah, Sya'ban 1432 (Juli 2011). |
![]() |
Kompleks jirat peninggalan sejarah di Gampong Alur Manis, Kecamatan Rantau, Kabupaten Aceh Tamiang. Foto Cisah, Sya'ban 1432 (Juli 2011). |
0 Komentar