Sultan Ghiyatsuddin bin 'Alauddin Ri'ayat Syah


Batu Nisan Sultan Ghiyatsuddin bin 'Alauddin Ri'ayat Syah.
Komplek Baiturrijal gampong Baru kota Banda Aceh.
Antik
Antik dapat berarti suatu benda kuno yang memiliki nilai seni atau nilai budaya, dan dapat juga berarti suatu hal yang tidak seperti biasanya (terutama terkait orang). Dengan makna-makna tersebut, sudah barangtentu objek yang Pembaca lihat pada gambar-gambar yang disiarkan ini adalah sesuatu yang antik. Namun dalam keantikannya yang mudah terlihat terdapat lagi keantikan lain yang sukar terlihat. Saya tidak mampu mendiamkan itu untuk diri saya sendiri sekalipun sesungguhnya sudah sedemikian banyak yang sedang menunggu untuk diungkapkan.
Adalah dua bait sajak (syi'r) yang sudah sangat popular, dan ditemukan pada batu-batu nisan peninggalan sejarah di Aceh dalam jumlah yang tidak terkira banyaknya. Dua bait sajak itu berbunyi:
ألا كل شيء ما خلا الله باطل وكل نعيم لا محالة زائل
سوى جنة الفردوس كان نعيمها يدوم وأن الموت بلا شك نازل
"Ketahuilah, segala sesuatu selain Allah adalah semu
dan segala kesenangan itu pasti sirna.
Kecuali syurga Firdaus; kesenangannya akan abadi,
dan bahwasanya kematian sudah pasti datang."

Bait pertama adalah di antara gubahan Labid bin Rabi'ah Al-'Amiriy (W. 41 Hijriah) dalam sajak duka citanya untuk An-Nu'man bin Al-Munzir (pada masa Jahiliyyah). Bait tersebut, dalam hadits riwayat Abu Hurairah Radhiya-Llahu 'anhu, dinyatakan oleh Rasulullah Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam sebagai kalimat yang paling benar yang pernah diucapkan oleh seorang penyair (Hadits riwayat Al-Bukhari, Muslim dan lainnya). Dalam Syarh Shahih Muslim, Imam An-Nawawiy menyebutkan bahwa hadits ini menyiratkan perbuatan terpuji (membanggakan) bagi Labid, dan ia adalah seorang sahabat Rasulullah Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam, dia adalah Labid bin Rabi'ah Radhiya-Llah 'anhu.
Dari sini, kiranya, dapat dipahami pula alasan atau sebab dari banyaknya pemahatan kalimat tersebut pada batu-batu nisan peninggalan sejarah di Aceh.
Sementara bait kedua merupakan tambahan untuk meluruskan serta menyempurnakan bait pertama bahwa segala kesenangan pasti sirna kecuali kesenangan dalam syurga Firdaus yang abadi.
Kedua bait sajak ini juga dijumpai pada batu nisan kubur Sultan 'Abdu-Llah Al-Malikil Mubin di kompleks pemakaman Baitur Rijal di Gampoeng Kampung Baru, Banda Aceh. Inskripsi yang membunyikan kedua bait tersebut terdapat mulai pada sisi barat batu nisan sebelah kaki (baris ke-3), untuk kemudian dilanjutkan pada sisi utaranya sebagai berikut (lihat gambar: 1):
1. وكل نعيم لا محالة زائل
2. سوى جنة الفردوس كان نعيمها
3. وأن الموت بلا شك نازل
Apabila inskripsi pada sisi ini diperhatikan secara saksama, maka akan segera diketahui bahwa pada baris kedua, ada kata yang tertinggal, dan dengan demikian memberikan makna yang pincang.
سوى جنة الفردوس كان نعيمها
"Kecuali syurga Firdau; adalah kesenangannya... (?)"


Kata "yadum" (akan abadi), yang seharusnya menyusul setelah "kana na'imuha" (adalah kesenangannya) tidak ditemukan di mana pun pada sisi ini, atau bahkan pada sisi-sisi lainnya.
Timbul pertanyaan, apakah sang seniman tidak tahu bunyi bait sajak itu secara lengkap, atau apakah ia tersilap dan karena sudah terlanjur, ia tidak mungkin memperbaikinya lagi?
Untuk mengatakan bahwa ia tidak tahu, itu adalah sebuah tuduhan yang justru akan merendahkan orang yang menuduhnya demikian. Sang seniman jelas saja seorang yang memiliki kemampuan di atas rata-rata dalam lapangan kerjanya, apalagi jika dipertimbangkan bahwa ia berkerja untuk kalangan istana Aceh Darussalam di abad ke-10 Hijriah (abad ke-16 Masehi).
Dengan berprasangka baik, cacat dalam karyanya itu dapat diterima sebagai sebuah kesilapan, ketidaksengajaan, dan sangat dimaklumi akan kesukarannya untuk memperbaiki. Lagi pula, dengan cacat atau kekurangan seperti itu pun, karya tersebut tetap saja memiliki nilai seni yang tinggi, tetap saja sesuatu yang antik.
Dengan asumsi seperti itu, barangkali, seseorang sudah dapat berdamai dengan sang seniman dan memaafkannya. Tapi sayangnya, itu hanya sebuah asumsi yang terburu-buru dan gegabah! Sang seniman seketika itu seolah-olah hadir dan berujar, "Tunggu dulu! Anda belum memberikan perhatian yang cukup untuk ini!"
Untuk seniman yang bekerja bagi kalangan istana Aceh Darussalam abad ke-10 Hijriah (ke-16 Masehi), abad kejayaan dan keemasan, segala sesuatu mesti lebih diperhitungkan!
Di sini, tidak ada yang mesti dimaafkan, karena memang tidak ada suatu kesilapan atau ketidaksengajaan. Semuanya sesuai desain yang telah disiapkan. Sesuatu yang ditinggalkan tidak selamanya karena silap apalagi tidak tahu, tapi justru terkadang karena sudah sangat diketahui dan popular.
Sang seniman dengan kecerdasannya yang antik telah membuktikan bahwa ia tidak silap. Ia tahu persis bagaimana bunyi bait itu secara lengkap. Bahkan sesuatu yang sangat mengejutkan, ternyata ia telah pun menghitung jumlah huruf kalimat itu!
سوى جنة الفردوس كان نعيمها يدوم 
Tidak pernah sekali pun saya berniat untuk menghitung huruf-huruf kalimat ini, namun sang seniman memaksa saya untuk itu. Ia melakukan sesuatu yang di luar kelaziman. Ujung huruf "sin" pada kata "al-firdaus" dan kepala huruf "ka" pada kata "kana" disatukan lewat satu garis, yang apabila kita melihatnya dari sisi "sin" maka ia akan jadi bagian dari huruf "sin", dan apa bila kita melihatnya dari sisi "kaf" setelahnya, maka ia adalah bagian dari huruf "kaf". (lihat gambar: 2)
Sejauh ini, itu bukan sesuatu yang lazim. Pencarian alasan adalah sesuatu yang harus dilakukan, dan ternyata memang sang seniman telah menghitung semua huruf kalimat ini. 
سوى جنة الفردوس كان نعيمها يدوم
Semuanya ada 26 huruf. Dibagi dua menjadi 13 huruf. Huruf ke-13 dari pangkal kalimat adalah "sin", dan huruf ke-13 dari ujung kalimat adalah "kaf". Maka, di bagian "sin" dan "kaf" inilah, sang seniman menyatukan atau menggabungkan kedua huruf ini lewat satu garis, yang ia dapat menjadi bagian dari "sin" dan "kaf" sekaligus.
Sang seniman dengan demikian telah membuktikkan bahwa ia tidak silap, bahkan ia telah menghitung huruf-huruf kalimat tersebut. Meninggalkan satu kata dari kalimat sajak yang terkenal, dengan demikian, tidak lebih dari semacam sinyal untuk memberitahukan kenyataan tersebut. Ia benar-benar seorang yang antik!
Lain itu, tampaknya, ia juga ingin mengajarkan bagaimana pentingnya ketelitian bagi seorang seniman kaligrafi Arab. Seniman tidak saja bekerja membentuk huruf-huruf yang indah, tapi juga menghitung, menata, serta menghiasinya demi melahirkan suatu kesenian yang pantas untuk dipanggungkan di sepanjang zaman.
Saya sesungguhnya ingin mengakhiri tulisan ini sampai paragraf yang baru saja dibaca. Tapi tidak begitu lama setelah paragraf penutup itu ditulis, saya seakan-akan mendengar ucapan, "Tunggu dulu! Anda belum memberikan perhatian yang cukup untuk ini!"
Kali ini, saya kira, masalah menjadi tambah rumit, dan akan dapat dimaklumi jika Pembaca yang budiman mulai beranjak untuk meninggalkan tulisan ini!
Sebenarnya, kerumitan yang akan menambah keantikan! Tapi untuk ini, izinkan saya menguraikannya lewat sebuah dialog imajinatif. 
"Apalagi Tuan?" tanya saya kepada sang seniman sambil berupaya menunjukkan raut wajah layaknya seorang yang kelelahan,"Apalagi yang perlu saya perhatikan? Saya sudah berusaha semampu mungkin untuk dapat mengerti karya Tuan!" 
Saya lalu berdiri membelakanginya dan mulai melangkah untuk meninggalkan. Namun, baru saja beberapa langkah terayun, terdengar suara bernada agak tinggi dari belakang.
"Apa Anda berpikir saya hanya ingin menunjukkan kebolehan, atau untuk mengajarkan bla bla bla seperti yang Anda katakan?! Apa perlunya saya memberitahukan kepada Anda bahwa saya telah menghitung huruf-huruf kalimat itu? Apa pula untung dan faedahnya saya sengaja meninggalkan satu kata yang membuat kalimat (dalam Nahwu: "Jumlah Kana") itu tidak lengkap dan tidak bermakna, apabila itu hanya untuk keantikan semata-mata sebagaimana Anda katakan?!"
Saya berbalik menghadap sang seniman. Menatapnya dalam-dalam. Saya tidak tahu apa yang sesungguhnya yang sedang saya pikirkan. 
"Baiklah, Tuan! Saya mohon maaf, tapi sudikah kiranya Tuan menjelaskan apa sesungguhnya yang masih perlu diperhatikan," ujar saya memohon dan memelas. 
"Saudaraku," nada suaranya terdengar mulai lunak, "Benar, saya telah meninggalkan kata "yadum" - yang merupakan "Khabar Kana" - bukan karena silap, tapi sengaja. Benar pula, saya telah menghitung huruf-huruf penggalan kalimat dari sajak yang terkenal itu. Anda telah menemukan bukti untuk itu. Itu semuanya benar, dan karenanya makna dari bait-bait sajak itu tetap dapat menjelma dalam pikiran Anda secara utuh, tanpa kekurangan, walaupun saya telah meninggalkan kata "yadum" atau "Khabar Kana". Itu dari sisi makna."
Tampak ia menarik nafas. 
"Akan tetapi," sambungnya lagi, "yang juga mesti Anda perhatikan di sini ialah dari sisi lahiriah penulisan. Bagaimanapun, tanpa 'Khabar Kana", maka "Ism Kana" di sini sesungguhnya tidak memiliki faedah apapun. Karena itu, ketika di sini Anda tidak menemukan "Khabar Kana" atau kata "yadum", maka Anda juga dapat mengabaikan "Ism Kana" atau kata "na'imuha"."
"Jika demikian Tuan katakan, maka kata "Kana" juga semestinya diabaikan, sebab kata itu juga tidak menunaikan fungsi apapun di sini," ucap saya menyela.

"Di sinilah poin yang mesti benar-benar Anda perhatikan. Saya telah meninggalkan kata "yadum" supaya Anda mengabaikan kata "na'imuha", tapi saya telah mengaitkan kata "Kana", atau mengikat huruf "kaf" pada kata "Kana" dengan huruf "sin" pada kata "al-firdaus" sebelumnya, untuk menandakan bahwa kata "Kana" sama sekali tidak dapat diabaikan sebagaimana "yadum" dan "na'imuha". Dengan begini, saya ingin mengarahkan perhatian Anda kepada kata-kata:
سوى جنة الفردوس كان 
ya, saya ingin kata-kata ini menjadi pusat perhatian Anda. Sebab di situlah terkandung apa yang menjadi maksud dari kesengajaan meninggalkan kata "yadum" serta melukiskan kata "al-firdaus" yang mengikat kata "kana" setelahnya."
Sang seniman telah mengakhiri penjelasannya. Saya tertegun untuk beberapa saat, dan pelan saja saya mengatakan "Terima kasih, Tuan." 
سوى جنة الفردوس كان 
Dalam Hisab Al-Jummal: 
Sin = 60; Waw = 6; Ya' = 10; Jim = 3; Nun = 50; Ta' = 400; Alif = 1; Lam = 30; Fa' = 80; Ra' = 200; Dal = 4; Waw = 6; Sin = 60; Kaf = 20; Alif = 1; Nun = 50 
سوى جنة الفردوس كان 
Apabila dijumlahkan maka = 981. 
Ada apa dengan 981 ini? 
Sebelum menjawab, saya mesti menjelaskan beberapa pertimbangan:
1. Seluruh kubur di Baitur Rijal yang ditemukan nama pemiliknya, atau nama sultan, tertera pada batu nisan, ditemukan pula bersamanya penanggalan atau tarikh wafat masing-masing mereka. Kecuali, 'Abdullah Al-Malik Al-Mubin; tidak ada tarikh wafat atau apapun penanggalan yang terang. Di pemakaman Baitu Rijal hanya ada 11 makam yang dapat diyakini sebagai makam. Dua di antaranya tidak dapat diidentifikasi oleh karena tidak ditemukan bagian yang memuat epitaf, sementara seorang sultan yang dikuburkan di sana memiliki dua makam. Dengan demikian, hanya ada 8 (delapan) tokoh yang diketahui di Baitur Rijal, dan semua mereka adalah para sultan Aceh Darussalam dalam abad ke-10 Hijriah (ke-16 Masehi). 7 (tujuh) sultan ditemukan tarikh wafat mereka dengan terang pada batu nisan, hanya 'Abdullah Al-Malik Al-Mubin yang tidak. Apapun alasan dari pengecualian ini - karena kita tidak dapat mereka-reka alasan tersebut, sebab kesan kebersahajaan dan ungkapan-ungkapan yang sepertinya telah diamanatkan untuk tidak berlebihan, memang tampak jelas pada batu nisan ini - namun tentu saja hal itu tidak akan dibiarkan begitu saja mengingat kedudukan Almarhum, dan sang seniman atau tokoh di balik inskripsi pada batu nisan 'Abdullah Al-Malikil Mubin, tampaknya, telah menemukan jalan keluar untuk itu. 
2. Inskripsi pada batu nisan ini telah dibuat dengan sangat cermat; jangankan satu kata, satu huruf pun tidak ada yang tertinggal. Kecuali, "Khabar Kana" atau kata "yadum" pada baris kedua sisi batu nisan sebelah utara. Sang seniman memang telah membuat penyatuan (merger) huruf dari dua kata, pada dua tempat yang lain selain pada "al-firdausi kana", tapi ia tidak pernah meninggalkan satu kata sekaligus seperti meninggalkan kata "yadum". Seorang yang memiliki kecermatan pada tingkat setinggi ini dapat dikatakan mustahil sengaja meninggalkan satu kata di suatu tempat tanpa maksud tertentu. Jika ia tidak mungkin melanggar amanah agar tidak membuat penanggalan, tapi dengan kecerdikannya, ia punya cara lain untuk memberitahukan hal itu. 
3. Raden Hoesein Djajadiningrat dalam Kesultanan Aceh (Alih bahasa: Teuku Hamid, 1984), telah menyimpulkan dari kronik-kronik Eropa dan Pribumi yang ditelitinya bahwa 'Alauddin Kahhar menaklukkan Aru untuk kedua kalinya pada tahun 1564, lalu menyerang Malaka pada tahun 1568. Pada 1564, 'Alauddin mengangkat anaknya yang tertua, Abdallah sebagai raja Aru. Namun tidak lama kemudian, Abdallah meninggal dunia dalam penyerangan ke Malaka pada 1568. Demikian Djajadingrat menyimpulkan. Akan tetapi, ia juga membuat sebuah catatan kaki terkait peristiwa 1564. Dalam catatan kaki itu ia menyebutkan bahwa dalam beberapa penerbitan dari "Peregrinacao" karya Pinto, penyerangan Johor dan penguasaan kembali Aru adalah dalam tahun 1574. Djajadingrat tidak mendukung angka tahun ini, tetapi menurut saya, dikarenakan banyak penanggalan keliru dari berbagai kronik telah dapat diluruskan dengan penanggalan yang terdapat pada batu nisan makam, maka dengan demikian angka tahun tersebut perlu dipertimbangkan. Jika dikonversi ke hijriah maka tahun 1574 berada antara 9 Ramadhan 981 dan 18 Ramadhan 982. Artinya, dengan menerima angka tahun 1574 sebagai tahun penguasaan kembali Aru sebagaimana disebutkan dalam beberapa penerbitan dari "Peregrinacao", maka 'Abdullah Al-Malikil Mubin, dengan demikian, masih hidup sampai dengan 981 Hijriah, tidak sebagaimana klaim Djajadingrat yang menyatakan 'Abdallah telah meninggal dunia sekitar 5 atau 6 tahun sebelum itu (1568 = 2 Rajab 975-13 Rajab 976). 
Dengan pertimbangan-pertimbangan ini timbullah keyakinan kuat bahwa sang seniman telah membeberkan dengan caranya sendiri tahun kepulangan 'Abdullah Al-Malikil Mubin ke Rahmatu-Llah, yaitu pada tahun 981 Hijriah, sekitar 2 tahun setelah ayahandanya Sultan 'Alauddin bin 'Ali Mughayat Syah wafat pada 979 Hijriah. 
Selama saya sudah berada sedemikian jauh dalam membicarakan batu nisan makam 'Abdullah Al-Malikil Mubin, maka saya kira, ada baiknya pula saya menyambung ke beberapa hal lain terkait 'Abdullah Al-Malikil Mubin.

Dirham Sultan Ghiyatsuddin bin 'Alauddin Ri'ayat Syah
Ditemukan oleh masyarakat di gampong Pande - Banda Aceh.
Muka: غياث الدين بن علاءالدين ملك الظاهر
Belakang: السلطان االعادل
Koleksi Masykur Syafruddin.
Nama 'Abdu-Llah Al-Malikil Mubin langsung saja mengingatkan kita (yang sudah tahu, tentunya) kepada tokoh paling atas, yang diketahui sejauh ini, dalam silsilah keturunan Sultan 'Alauddin Ri'ayat Syah bin Firman Syah, yakni seorang sultan Aceh Darussalam yang dari keturunannya kemudian muncul para penguasa Aceh Darussalam yang hebat dalam abad ke-11 Hijriah (ke-17 Masehi).
'Abdu-Llah Al-Malikil Mubin, dapat dikatakan, sebagai pendiri dinasti yang lazim disebut dalam kepustakaan sejarah Aceh dengan Dinasti Darul Kamal. Sultan Muzhaffar Syah bin 'Inayah Syah yang wafat pada 902 Hijirah, dan makamnya berada di Gampong Peukan Biluy, Darul Kamal, adalah salah seorang cucu dari 'Abdu-Llah Al-Malikil Mubin, dan Muzhaffar Syah adalah kakek dari Sultan 'Alauddin Ri'ayat Syah bin Firman Syah. 
Al-Malik Al-Mubin adalah sifat untuk Lafzhul Jalalah, Allah, dan bukan untuk 'Abdu-Llah sehingga nama ini bermakna: "hamba Allah Yang Maha Menguasai lagi Maha Menyatakan", bukan "'Abdullah yang raja lagi yang menyatakan". Nama dengan susunan semisal ini telah ditemukan pula untuk tokoh-tokoh sejarah yang lain dalam abad ke-10 Hijriah Aceh Darussalam.
Penamaan 'Abdu-Llah Al-Malikil Mubin bin 'Alauddin Ri'ayah Syah yang sesungguhnya berasal dari keturunan Sultan Muhammad Syah Lamuriy (wafat 908 Hijriah), dan bukan dari Dinasti Darul Kamal, dapat saja mensinyalir suatu kerukunan yang kuat di antara dua dinasti penguasa di wilayah lembah Krueng Aceh dalam masa-masa ini. Namun, kita tidak dapat melepaskan imajinasi untuk menjangkau lebih jauh dari itu sampai dengan ditemukan bukti-bukti atau petunjuk-petunjuk yang kuat untuk suatu kenyataan sebagaimana harapan.
Berdasarkan penyelidikannya terhadap kronik-kronik Eropa dan Pribumi, Djajadiningrat telah dapat menerima bahwa Abdullah adalah putra tertua (sulung) dari Sultan 'Alauddin bin 'Ali Ri'ayat Syah. Ini tampaknya juga dapat diterima atas dasar petunjuk-petunjuk yang lain: 
1. Dari generasi cucu Sultan 'Alauddin Ri'ayat Syah bin 'Ali Mughayat Syah, sejauh ini, hanya diketahui dua tokoh yang sempat memerintah Aceh Darussalam, yaitu Yusuf dan Zainal 'Abidin, dan keduanya adalah putra dari 'Abdu-Llah Al-Malikil Mubin bin 'Alauddin Ri'ayat Syah - sesungguhnya ada seorang lagi putra dari 'Abdu-Llah yang ditemukan namanya pada batu nisan makam putrinya (yakni cucu 'Abdu-Llah) dan bergelar dengan sultan, namun data ini sedang dalam pemeriksaan ulang. Ini semua dapat saja menandakan bahwa ayahanda mereka berdua (atau bertiga!), 'Abdu-Llah Al-Malikil Mubin, adalah tertua di antara putra-putra Sultan 'Alauddin yang hidup. 
2. Satu-satunya sultan dari generasi cucu Sultan 'Alauddin yang dikuburkan bersama ayah dan kakek-kakeknya di Baitur Rijal adalah Sultan Yusuf yang wafat pada 987 Hijriah (tidak ada kronik yang menyebutkan nama sultan ini), dan sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bahwa ia adalah putra dari 'Abdu-Llah. Ini mensinyalir bahwa setelah generasi anak Sultan 'Ala'uddin meninggal dunia, pemerintahan segera dilanjutkan oleh putra (boleh jadi tertua) dari putra tertua Sultan 'Alauddin.
Batu nisan makam Sultan 'Abdu-Llah Al-Malikil Mubin yang ditemukan di Baitur Rijal hanya batu nisan sebelah kaki (selatan). Batu nisan bagian kepala (utara) sudah tidak diketahui keberadaanya. Dari sebelah timur, makam Sultan 'Abdu-Llah adalah makam yang kedua setelah makam putranya, Sultan Yusuf bin 'Abdu-Llah, dan dari sebelah barat, makamnya setelah makam saudaranya yang bernama Abangta Muhammad Syah yang wafat pada 978 Hijriah (Almarhum ini hanya disebut dengan gelar Malik, dan wafat sebelum ayahandanya, Sultan 'Alauddin Ri'ayat Syah bin 'Ali).
Berikut ini saya akan menyalin inskripsi yang terdapat pada batu nisan tersebut, dan untuk memudahkan, saya akan memulainya dari sisi batu nisan sebelah timur lalu memutar sampai ke sisi sebelah utara, sementara penomoran tetap mengikuti metode dokumentasi yang diterapkan. Saya juga akan memberikan komentar tambahan di bagian-bagian yang saya anggap perlu.
ب. ب.
1. هذا القبر عبد الله الملك المبين
2. الراضي لقضاء الله المتين عليه دائما
3. الراجي إلى رحمة رب العالمين أبدا 
Terjemahan: 
(B.B.); sisi timur.
1. Ini adalah kubur 'Abdu-Llah Al-Malikil Mubin
2. Seorang yang senantiasa ridha terhadap qadha Allah Yang Maha Kuat kepadanya
3. Seorang yang mengharapkan kasih sayang Tuhan semesta alam untuk selamanya 
Telah disinggung sebelumnya bahwa di sini, kesan kebersahajaan tertangkap dengan terang. Tidak ada sifat-sifat yang bermakna menyanjung berbagai kelebihan. Bahkan sebelum nama tidak pun diawali dengan ucapan-ucapan yang lazim digunakan untuk meenghormati seorang yang mati seperti kata al-marhum atau al-maghfur. Sebaliknya, kalimat-kalimat itu dengan terang menggambarkan kerendahan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. 
"Ini hanya kubur seorang hamba Allah Yang Maha Penguasa lagi Maha Menyatakan. Ia seorang yang selama hidupnya senantiasa menerima semua ketentuan Allah kepadanya, baik maupun buruk, dengan hati penuh kepasrahan dan tawakkal. Allah Maha Kuat, tidak seorang pun yang dapat lepas dari ketentuan dan takdir-Nya. Ia seorang yang untuk selama-lamanya mengharapkan kasih sayang Allah di dunia dan di akhirat, yakni kasih sayang dari Tuhan Yang Maha Menciptakan alam semesta."
Untuk seorang putra mahkota yang telah mendampingi ayahandanya dalam sebuah perjuangan besar demi ketinggian Agama Allah dan kepentingan Ummah, dan kemudian juga seorang sultan yang telah meneruskan perjuangan tersebut, sesungguhnya, akan sedikit sukar untuk dipahami kesan kebersahajaan sebagaimana ditunjukkan oleh baris-baris tersebut, jika itu bukan merupakan sebuah pesan atau wasiat yang tidak mungkin dilanggar. Pesan yang tidak mungkin dilanggar itu tentu berasal dari pemilik kewenangan yang ia dipatuhi atas perintah Allah baik sebagai seorang pemimpin Muslimin ataupun sebagai Mu'min yang wasiatnya mesti dilaksanakan.
Tampaknya, Sultan sendiri yang telah meminta dan berwasiat agar tidak ada penyanjungan dalam bentuk apapun pada catatan di atas batu nisan kuburnya. Ia hanya ingin dikenang sebagai seorang hamba Allah yang senantiasa menerima qadha Allah dan selalu mengharapkan kasih sayang-Nya. 
ب. ج.
1.المخصوص بعناية الله ربه
2. سلطان غياث الدين بن علاء الدين رعاية شاه
3. اللهم اغفره وارحمه
Terjemahan: 
(B.C.); sisi selatan.
1. Seorang yang dikhususkan dengan 'inayah (pemeliharaan) Allah, Tuhannya.
2. Sultan Ghiyatsuddin bin 'Alauddin Ri'ayat Syah.
3. Ya Allah, ampuni dan sayangilah dia. 
Apapun kekuatan, kelebihan atau kehebatan sesungguhnya adalah milik Allah yang telah dikhususkan kepadanya, bukan miliknya sendiri, tapi milik Tuhannya. 
"Badal Muthabiq" atau "Badal Al-kul" pada baris pertama merupakan penegasan dan penekanan terhadap dalamnya keyakinan dan iman tokoh ini kepada Tuhannya, Allah Jalla wa 'Ala.
Pada baris kedua sisi ini, dengan terang telah ditemukan gelar kesultanan dari Sultan 'Abdu-Llah Al-Malikil Mubin bin 'Alauddin Ri'ayah Syah, yaitu Sultan Ghiyatsuddin. Ghiyats secara harfiah bermakna pertolongan dan pembelaan.
Pada baris kedua sisi ini juga, sang seniman kembali hadir untuk menunjukkan keunikan dari karyanya. Telah disebutkan sebelumnya bahwa ada tiga tempat di mana sang seniman membuat penyatuan (merger) dua kata. Satu di antaranya merupakan pokok pembicaraan yang telah diuraikan secara panjang lebar; penyatuan kata "Al-Firdaus" dengan "Kana". Sementara yang kedua adalah pada nama 'Alauddin di baris kedua sisi ini. 
Sebagaimana diketahui nama 'Alauddin memiliki 9 huruf; 'ain, lam, alif, hamzah, alif, lam, dal, ya' dan nun. 
علاء الدين 
Namun demi kita memperhatikan yang terpahat di sini, kita hanya menjumpai 'ain, lam, alif, lam, dal, ya', nun; 7 huruf.
Apakah sang seniman telah meninggalkan huruf hamzah dan alif pada kata "ad-din"? 
Tidak, malah sang seniman dalam desainnya tersebut telah menempatkan alif pada kata "ad-din" yang merupakan huruf ke-5 atau huruf di tengah dalam nama ini sesuai dengan posisinya, yakni di tengah, yang dalam sekali waktu juga merupakan alif pada kata 'Ala'. Dengan kata lain, alif atau huruf ke-lima ini menempati titik konsentris dalam desain, di mana kemudian kita akan melihat suatu penggabungan dan penyatuan di antara huruf-huruf: lam, alif, hamzah, ya'. 
لا ء ي 
Saya harus menyatakan ini sebuah keantikan yang menggembirakan. Dengan menggunakan imajinasi yang hebat, sang seniman telah berupaya untuk mengekspresikan sesuatu walaupun harus menggunakan materi-materi yang sangat sederhana dan dapat dengan mudah dikenali oleh umum. 
لا ء ي 
Jika Pembaca mengulang mengucapkan huruf-huruf ini sekali lagi dan agak cepat, saya yakin Pembaca akan menyambungnya dengan "Wassalamu". "Lam, alif, hamzah, ya. Wassalamu". Hampir tidak dapat dipercaya, imajinasi sang seniman sampai ke tingkat ini! 
Sampai dengan 80'-an abad lalu, saya yakin "Lam, alif, hamzah, ya. Wassalamu" adalah sesuatu yang paling sering didengar dari mulut anak-anak di Aceh, khususnya setelah Maghrib, baik dari rumah-rumah, balee beut, rumoh teungku maupun meunasah-meunasah. Saya sendiri menjadi bagian dari itu.


Itu menjadi demikian umum karena metode belajar Al-Qur'an yang menggunakan Qa'idah Al-Baghdadiyyah, sebuah Qa'idah atau metode belajar Al-Qur'an yang telah lama sekali dipraktikkan dalam sejarah Islam. Setelah menamatkan belajar Qa'idah Al-Baghdaiyyah, anak-anak akan melanjutkkan ke Juz 'Amma. 
Maka sesungguhnya sangat menyenangkan hati ketika sang seniman menggunakan materi ini dalam ekspresinya. Ia seperti sedang melukiskan sebuah suasana yang hadir dalam abad ke-10 Hijriah Aceh Darussalam, di mana anak-anak pada zaman itu belajar membaca Al-Qur'an dengan menggunakan Qa'idah Al-Baghdadiyyah. 
Lantas apa yang sesungguhnya ingin diekspresikan sang seniman dari urutan lam, alif, hamzah, ya, ketika ia merancang penulisan nama Sultan 'Alauddin bin 'Ali Mughayah Syah? Saya kira, tidak lain, daripada ia ingin mengucapkan salam kepada Sultan 'Alauddin Rahimahu-Llah. 'Alauudin was Salam 'alaihi: 'Alauudin dan salam sejahtera ke atasnya. 
ب. د.
1. لو كانت الدنيا تدوم لأهلها
2. لكان رسول الله حيا وباقيا
3. ألا كل شيء ما خلا الله باطل 
Terjemahan: 
(B.D.); sisi barat.
1. Andai saja dunia itu abadi bagi para penghuninya
2. Sungguh Rasulullah masih hidup dan kekal
3. Ketahuilah segala sesuatu selain Allah adalah semu (menuju kemusnahan) 
Ketika seutama-utama ciptaan Allah di atas segala ciptaan-Nya pergi meninggalkan dunia ini, maka itu merupakan sebuah bukti kuat dan nyata bahwa dunia ini tidak abadi. 
Pada baris ketiga, sang seniman juga telah menyatukan kata "Kullu" dan "Syai'" lewah sebuah penyatuan yang komplit di mana "syin" dan "ya'" pada "sya'i" adalah juga "kaf" dan "lam" pada "Kullu". (Lihat gambar: 7) 
Ini adalah tempat ketiga di mana sang seniman melakukan penyatuan dua kata sebagaimana yang telah diterangkan. 
ب. أ.
1. وكل نعيم لا محالة زائل
2. سوى جنة الفردوس كان نعيمها
3. وأن الموت بلا شك نازل 
Terjemahan: 
(B.A.); sisi utara.
1. Dan segala kenikmatan pasti sirna
2. Kecuali syurga Firdaus, adalah kenikmatannya (akan abadi)
3. Dan bahwasanya kematian tidak diragukan lagi pasti datang.

Selesai ditulis di Kuta Malaka, 11 Jumadil Akhir 1439.
Oleh: Musafir Zaman.
Dikutip dari group facebook Mapesa

Posting Komentar

0 Komentar