Tahapan Penciptaan Karya Seni Rupa 3 Dimensi
Aceh sebagai sebuah identitas telah mempostulatkan dirinya
sebagai wilayah masyarakat berperadaban Islam. Ketika kita menyebut Aceh, maka
yang terbayang dibenak kita adalah masyarakat Islam. Dengan begitu, Islam
adalah wajah asli dari peradaban Aceh itu sendiri. Sejak awal namanya disebut
dalam peta jalur pelayaran Samudra Hindia-Asia Tenggara (akhir abad ke-15/awal
abad ke-16 M), Aceh sudah menjadi wilayah yang dikenal sebagai Negeri Muslim.
Dengan pusat konsentris sebuah Bandar bersungai, yang tepat persis di mulut
Selat Malaka. Dan sampai akhir abad ke-19 M telah mengekalkan dirinya dengan
nama 'Bandar Aceh Darussalam'.
Sebagai sebuah peradaban Islam, Aceh banyak meninggalkan
jejak-jejak kebudayaan yang khas (lokal) dan sekaligus kebudayaan yang bersumber
dari pusat-pusat Islam di Timur Tengah (global). Salah satu jejak yang masih
dapat kita saksikan sampai hari ini adalah tinggalan artefaktual berupa 'Batu
Nisan', yang oleh masyarakat Aceh sendiri disebut dengan Jirat. Mengingat
banyaknya informasi yang kita dapatkan dari tulisan (inskripsi) yang terpahat
di jirat (nisan), maka jirat adalah adalah salah satu sumber pokok (primer)
yang sangat penting bagi sejarah kebudayaan Aceh. Selain naskah-naskah
(manuskrip), jirat menjadi benda yang paling wajib untuk didekati bagi yang
ingin mengenal Aceh secara serius.
Oleh karna banyaknya jumlah dan varian jirat Aceh baik yang
ditemukan di Aceh maupun di wilayah lainnya, benda yang satu ini dicatat
sebagai artefak budaya Aceh termasif di Asia Tenggara Kepulauan. Sebagai benda
yang masif, jirat merupakan sebuah tradisi yang berkembang pesat pada periode
Islam di Asia tenggara. Tradisi pembuatan jirat pada periode Aceh adalah
kelangsungan dari tradisi-tradisi jirat sebelumnya di kawasan pantai timur
Sumatera bagian utara yang tentunya dipengaruhi tradisi dari pusat-pusat Islam
di Timur Tengah. Jika berdasarkan kronologi maka tradisi pemahatan jirat
dimulai pada periode Bandar Syummuthrah/Sumatra (Samudra-Pasai) abad awal ke-13
M di pedalaman Aceh Utara, dilanjutkan pada periode Bandar Lamuri (paruh akhir
abad ke-14 M) di wilayah Lamreh-Aceh Besar, baru kemudian matang pada periode
Bandar Aceh Darussalam (akhir abad ke-15 M) di Bandar Aceh dan sekitarnya.
Bagi insan seni, jirat Aceh merupakan 'Karya Seni Rupa 3D'
(tiga dimensi). Karna selain memenuhi fungsinya sebagai penanda kubur, terdapat
juga unsur-unsur estetika yang tinggi didalamnya, juga simbol simbol yang
mewakili budaya tertentu. Sebagai karya seni yang bersifat monumen, jirat Aceh
padat dengan simbol-simbol budaya. Simbol merupakan sebuah ungkapan; tanda;
lambang; isyarat atau apa saja yang digunakan untuk mewakili atau menggantikan
gagasan, objek, kualitas yang muncul oleh dan ke dalam sebuah masyarakat dengan
standar yang telah disepakati. Yang sudah barang tentu, butuh seniman-seniman
profesional yang terlibat dalam penciptaan karya seni semacam ini. Dan kita
beruntung jejak aktifitas penciptaan karya seni jirat Aceh dapat kita temui.
Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA) berhasil menemukan jejak aktifitas itu
pada sebuah nisan di Gampong Deah Teungoh, Kecamatan Meraksa, Banda Aceh. Nisan
ini (gambar di bawah) begitu penting, karna merekam salah satu episode dalam
penciptaan sebuah karya seni rupa tiga dimensi.
Batu ini ditemukan di pekarangan rumah warga beberapa langkah
dari jalan. Dengan posisi rebah dan patah pada beberapa bagian, khususnya pada
bagian kaki, sayap, leher dan kepala. Dan patahan bagian kaki (bagian yang
tertanam) ditemukan di tempat yang sama. Dari ciri-ciri batuannya, jirat yang
ditemukan ini umumnya dikenali sebagai jirat pada periode Bandar Aceh
Darussalam. Terbuat dari bahan baku batuan sedimen dari jenis Batu Pasir Tufaan
(Sandstone Tuf). Jirat ini sangat menarik karna tidak selesai dipahat, namun
sudah berhasil dibentuk sesuai dengan bentuk/tipe yang berkembang pada
zamannya. Hanya beberapa bagian yang ornamennnya sudah berhasil dipahat dan di
haluskan, terutama di salah satu bagian sampingnya dan bagian sayap sebelah
atas. Dari batu ini juga kita bisa bayangkan alat pemotong/pembelah atau alat
pembentuk pola kasar yang memiliki bentuk mata yang bergerigi. Itu tampak jelas
dari permukaan nisan yang belum dipahat ornamennya. Pola seperti garis kasar
bergelombang dapat kita lihat jelas di bagian kaki dan bagian lainnya.
Beberapa pertanyaan lalu timbul, apakah nisan yang belum selesai dipahat ini pernah dipakai sebagaimana fungsinya?. Mengingat tempat penemuan nisan ini dekat dengan beberapa komplek pemakaman yang juga menggunakan batu nisan Aceh. Atau juga nisan ini sama sekali belum pernah dipakai untuk memenuhi fungsinya. Dan oleh beberapa sebab tidak dilanjutkan pengerjaannya, dan telah mengalami perpindahan dari tempat aslinya oleh berbagai kemungkinan dan mengalami kerusakan dengan berbagai sebab pula. Sampai pada akhirnya ditemukannya kembali batu ini pada masa kini pada tempat yang sekarang. Walaupun batu ini berpindah dari awal ketika ditinggalkan, setidaknya perpindahan tidak jauh dan masih seputar kawasan tempat penemuan (Meraksa). Dengan demikian sementara ini, batu yang ditemukan ini dapat menjadi bukti bahwa diseputaran kawasan ini dahulunya merupakan salah satu kawasan industri pembuatan nisan Aceh.
Jika kita meminjam pengelompokkan (klasifikasi tipe) nisan Aceh yang disusun oleh DR. Othman Mohd Yatim dalam bukunya, BATU ACEH Early Islamic Gravestones in Peninsular Malaysia, dilihat dari bentuk dan lekuk-lekuk ornamennnya nampaknya nisan ini akan dibentuk menjadi Batu Aceh tipe N. Tipe N sendiri umumnya berkembang pada abad ke-18 M atau juga sebelumnya dan sesudahnya. Tipe seperti ini, secara bentuk memiliki banyak persamaan dengan Tipe C. Perbedaannya dapat kita lihat dari ornamen bagian luar yang meruncing seperti seperti kelopak bunga yang baru merekah. Tipe N ini juga memiliki ciri yang khas berupa garis lurus vertikal yang ditonjolkan pada bagian tengah di muka depan dan belakang, serta muka samping kanan kirinya. Karna adanya garis lurus pada tengah bagian muka-muka jirat inilah, ditambah juga dengan halusnya pahatan, jirat atau batu nisan Aceh banyak orang yang menduga dibuat dengan cara dicetak. Beruntungnya jirat yang ditemukan ini adalah tipe yang sama dengan tipe yang telah membuat orang menduga bahwa nisan-nisan periode Aceh Darussalam dicetak. Batu ini seolah menjawab pertanyaan-pertanyaan bagaimana jirat Aceh dibuat. Dan sekaligus melukiskan tahap-tahap dari pengerjaan karya seni jirat Aceh, yang tentu sangat membantu kita untuk kajian tentang teknis pembuatan karya-karya serupa.
Beberapa pertanyaan lalu timbul, apakah nisan yang belum selesai dipahat ini pernah dipakai sebagaimana fungsinya?. Mengingat tempat penemuan nisan ini dekat dengan beberapa komplek pemakaman yang juga menggunakan batu nisan Aceh. Atau juga nisan ini sama sekali belum pernah dipakai untuk memenuhi fungsinya. Dan oleh beberapa sebab tidak dilanjutkan pengerjaannya, dan telah mengalami perpindahan dari tempat aslinya oleh berbagai kemungkinan dan mengalami kerusakan dengan berbagai sebab pula. Sampai pada akhirnya ditemukannya kembali batu ini pada masa kini pada tempat yang sekarang. Walaupun batu ini berpindah dari awal ketika ditinggalkan, setidaknya perpindahan tidak jauh dan masih seputar kawasan tempat penemuan (Meraksa). Dengan demikian sementara ini, batu yang ditemukan ini dapat menjadi bukti bahwa diseputaran kawasan ini dahulunya merupakan salah satu kawasan industri pembuatan nisan Aceh.
Jika kita meminjam pengelompokkan (klasifikasi tipe) nisan Aceh yang disusun oleh DR. Othman Mohd Yatim dalam bukunya, BATU ACEH Early Islamic Gravestones in Peninsular Malaysia, dilihat dari bentuk dan lekuk-lekuk ornamennnya nampaknya nisan ini akan dibentuk menjadi Batu Aceh tipe N. Tipe N sendiri umumnya berkembang pada abad ke-18 M atau juga sebelumnya dan sesudahnya. Tipe seperti ini, secara bentuk memiliki banyak persamaan dengan Tipe C. Perbedaannya dapat kita lihat dari ornamen bagian luar yang meruncing seperti seperti kelopak bunga yang baru merekah. Tipe N ini juga memiliki ciri yang khas berupa garis lurus vertikal yang ditonjolkan pada bagian tengah di muka depan dan belakang, serta muka samping kanan kirinya. Karna adanya garis lurus pada tengah bagian muka-muka jirat inilah, ditambah juga dengan halusnya pahatan, jirat atau batu nisan Aceh banyak orang yang menduga dibuat dengan cara dicetak. Beruntungnya jirat yang ditemukan ini adalah tipe yang sama dengan tipe yang telah membuat orang menduga bahwa nisan-nisan periode Aceh Darussalam dicetak. Batu ini seolah menjawab pertanyaan-pertanyaan bagaimana jirat Aceh dibuat. Dan sekaligus melukiskan tahap-tahap dari pengerjaan karya seni jirat Aceh, yang tentu sangat membantu kita untuk kajian tentang teknis pembuatan karya-karya serupa.
Dari batu yang ditemukan dikawasan pesisir Meraksa ini, kita
dapat mengaktifkan daya imajinasi kita tentang beberapa proses atau
langkah-langkah, berapa lama waktu yang dihabiskan, serta berapa banyak orang
yang terlibat dalam pembuatan jirat Aceh. Dengan begitu sedikit demi sedikit
kita mendapat sketsa tentang seperti apa perkembangan industri jirat Aceh dari
zaman ke zaman. Jika kita bersama mencoba memetakan proses jirat ini, mulai
dari penambangan batu dan pengumpulan bahan baku dari tempat penambangan,
distribusi bahan baku ke wilayah industrial, pemotongan-pemotongan sesuai
ukuran, pembentukan tipe, pengerjaan ornamen serta kaligrafi dan terakhir
pendistribusian karya (barang siap pakai) ke konsumen atau pemesan. Maka kita
mendapat gambaran, bahwa untuk mendapatkan satu buah jirat dengan tipe dan
ornamen tertentu dari awal sampai akhir. Setidaknya lebih dari 30 hari kerja
lamanya waktu yang dibutuhkan, dan paling sedikit 14 orang terlibat dengan
dengan spesialisasinya masing-masing. Ini belum lagi kita bicara tentang berapa
macam alat tambang, alat transportasi dan alat pahatnya, serta berapa disiplin
ilmu yang dibutuhkan untuk satu buah nisan.
Kedepannnya dengan adanya kajian yang menyeluruh tentang
pembuatan jirat Aceh dari hulu sampai hilir, akan membuka kesadaran kita betapa
berharganya satu buah nisan Aceh. Belum lagi informasi yang terkandung
didalamnya. Kerja-kerja untuk mengungkap misteri jirat Aceh, bukanlah tugas
sekelompok orang, tapi tugas kita bersama. Terutama para sarjana-sarjana muda
dengan disiplin ilmu yang berkaitan dengan ini, para akademisi beserta seluruh
lapisan masyarakat. Atau jikapun enggan untuk berkontribusi dengan sebab-sebab
tertentu, setidaknya tidak ikut merusak dan menghilangkan bahan kajian (nisan).
Mari kita tinggalkan dasar dan pijakan untuk anak cucu kita. Temukan,
dokumentasikan, dan lebih baik lagi jika ikut merawat sampai ada generasi
cemerlang, yang lebih cerdas, memiliki kepedulian serta memiliki hati dan
pikiran yang terikat dengan indatu (pendahulunya) untuk kepentingan ilmu
pengetahuan umat.
Jirat atau nisan Aceh sudah dicatat oleh beberapa ahli sebagai
karya budaya Aceh yang mewarnai peradaban Islam di Asia Tenggara Kepulauan.
Tersebar dengan radius kurang lebih 4000 Kilometer dari tempat asalnya. Kita
sebagai masyarakat yang mengikat diri dan terikat dengan identitas ke-Acehan,
sudah sepatutnya bangga dan bersyukur memiliki monumen yang lahir dari rahim
kebudayaan Islam. Untuk itu buka sedikit mata kita, dan luangkan sedikit waktu
yang tersisa. Dan terakhir kita mesti percaya diri mengenalkan pada dunia bahwa
'Inilah monumen Aceh yang sesungguhnya'.
------------------------------------------------------------------------
Gambar : Batu nisan yang belum selesai dipahat, di Gampong
Alue Deah Teungoh, Kecamatan Meraksa, Kota Bandar Aceh.
_______________
Tanah Luas, Senin (Ba'da 'Ashar) - 21 Sya'ban 1439 Hijrah
Nabi.
Oleh: Arya Purbaya
Dikutip dari group Mapesa.
Dikutip dari group Mapesa.
0 Komentar