Salah satu halaman buku yang berjudul "Verslag van mijn voorloopig onderzoek der Mohammedaansche" oudheden in Atjeh en Onderhoorigheden |
Satu-satunya sosok yang pertama sekali saya dengar dan
kerap mengatakan bahwa "Daulah Shalihiyyah di Sumatra" merupakan
sebuah usaha lanjutan dari apa yang pernah dilakukan oleh J. P. Moquette pada
100 tahun yang silam, adalah Ayahanda yang mulia, Bapak Ramli Addali. Namun
tidak banyak orang pernah membaca tulisan J. P. Moquette, termasuk saya, selain
kutipan-kutipan di berbagai buku.
Maka dari itu, terjemahan yang terpaksa saya lakukan ini,
dan yang ditujukan hanya agar dapat menggambarkan secara umum isi tulisan J. P.
Moquette, secara khusus, saya persembahkan dengan segala kerendahan hati kepada
Ayahanda yang mulia, Bapak Ramli Addali, dengan diiringi ucapan terima kasih
setinggi-tinggi atas apresiasi, dorongan dan semangat yang telah Ayahanda
berikan kepada kami semua, serta doa semoga Ayahanda senantiasa dalam keadaan
sehat walafiat dan dalam lindungan Allah SubhanaHu wa Ta'ala.
Kepada kerabat kerja dan handai taulan dalam CISAH dan
MAPESA serta lainnya yang terlibat dan ikut serta dalam sebuah pengembaraan tak
berujung ini, saya ingin mengatakan, andai kata saya punya waktu untuk menulis
kisah perjalanan sebagaimana yang dilakukan J. P. Moquette dalam tulisan ini,
sungguh itu akan menjadi sebuah cerita yang akan menghibur hati generasi
pengembara di masa depan, sebagaimana cerita J. P. Moquette ini. Namun sayang,
saya, bahkan kita, nampaknya tidak punya waktu untuk itu.
Perjalanan untuk melintasi serta mengamati ruang waktu
sejarah Aceh yang membentang sampai tidak kurang dari 800 tahun silam masih teramat
panjang, dan sungguh waktu yang kita miliki teramat singkatnya. Dari itu, saya
berpikir, biarlah kisah perjalanan yang telah kita tempuh, yang banyak pahit
daripada manisnya itu, tersimpan dalam kenangan masing-masing dan kelak menjadi
kisah tersendiri yang dapat diceritakan kepada anak-anak dan cucu-cucu. Semoga
Allah SubhanaHu wa Ta'ala senantiasa menganugerahkan i'nayah dan taufiq-Nya
kepada kita semua.
Kuta Malaka, 30 Jumadal Awwal 1439
___________________________________
Kepurbakalaan Islam di Aceh dan Negeri-negeri Taklukannya
Sebuah Laporan dari Hasil Penyelidikan Rintisan oleh J. P.
Moquette*
___________________________________
Setelah meninggalkan Batavia pada tanggal 30 Maret 1914,
saya dan Raden Dr. H. Djajadiningrat yang menemani perjalanan saya kemudian
tiba di Ulee Lheu pada tanggal 5 April. Pada hari itu pula kami telah berada di
Kuta Raja. Oleh karena sudah terlambat untuk membuat kunjungan resmi, maka kami
memutuskan untuk segera berkunjung ke kompleks makam para sultan, yang terletak
di belakang barak, sesuai arahan Tuan J. J. de Vink yang menjemput kami turun
dari kapal.
Di sana, di atas tempat yang agak tinggi, kami menemukan 10
makam (tempat itu tampaknya diperuntukkan untuk lebih banyak dari itu) di bawah
atap sirap (sirap: kepingan papan tipis-tipis, biasanya dibuat dari kayu besi
atau kayu ulin-MZ). Sebagian besar makam itu lumayan terpelihara, dan lantaran
beruntung batu-batu nisan utama itu dalam kondisi terjaga, maka kami segera
dapat memastikan bahwa kami sedang berada di pemakaman para penguasa pertama
Aceh.
Sekalipun penemuan ini merupakan kejutan yang sangat
menyenangkan bagi kami, tapi kami tidak dapat mempelajari semuanya secara
mendetail, dan kami harus menangguhkan itu sampai kunjungan berikutnya.
Keesokan harinya kami pergi menemui Z. Exc (Zeer
Excellentie = yang maha mulia) Gubernur, yang menerima kami dengan sangat baik,
dan secara khusus berjanji kepada saya, Pemerintah akan memberikan segenap
bantuan untuk penyelidikan-penyelidikan saya selanjutnya.
Pada pagi hari tanggal 7 April, kami berangkat dari Kuta
Raja menuju Sigli. Di sana, kami melakukan peninjauan singkat ke rerentuhan
sebuah benteng atau kubu pertahanan tua, yang barangkali adalah milik Portugis.
Hari berikutnya, kami menuju ke tujuan akhir perjalanan yang telah
direncanakan, yaitu (m = namelijk) Lhokseumawe, dan kami sampai di sana pada
pukul 6 sore.
Berdiri di pantai Lhokseumawe, seseorang dapat melihat
keseluruhan wilayah yang disebut Pase. Pohon-pohon tinggi yang tumbuh di sana
juga memungkinkan seseorang untuk menunjuk ke arah lokasi di mana tempat-tempat
peninggalan sejarah itu berada. Sebab itu, saya meminta Tuan de Vink untuk
memotret pemandangan itu selagi kesempatan untuk itu masih bagus.
Dari Lhokseumawe, lokasi peninggalan sejarah Pase mudah
untuk dijangkau dengan menggunakan kereta api sampai ke stasiun Geudong, dan
dari sana perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki.
Dari cerita-cerita, saya terlanjur membuat gambaran yang
benar-benar keliru mengenai wilayah Pase, dan sangat melebih-lebihkan jarak di
antara sejumlah kompleks. Ini terutama terkait dengan perjalanan yang
melelahkan. Kunjungan ke peninggalan sejarah Pase, bagi saya, ternyata tidak
seburuk gambaran itu. Bagaimanpun, sesuatu yang juga patut dikatakan, bahwa
kita akan tambah baik lagi jika kita tidak terganggu oleh luapan sungai Pase,
dan itu akan membuat perbedaan, apakah kita akan melakukan perjalanan yang sama
satu atau dua kali, atau hari demi hari.
Pada hari pertama kami berkeliling, kami pergi meninjau
beberapa kuburan kecil yang ditemukan oleh Tuan de Vink tapi belum dilakukan
pengerjaan apapun di sana. Ternyata, semua kuburan itu tidak memiliki nilai
sejarah lantaran tidak ada nama atau tanggal yang muncul di atas batu-batu
nisan. Jadi, andai kata perjalanan serta peninjauan seperti ini terus dilakukan
dengan cara bagaimanapun, maka ini akan berguna sejauh Tuan de Vink bisa
menghemat waktu dan tenaga dari banyak pekerjaan yang tidak perlu.
Perjalanan berikutnya, yang menghabiskan waktu sehari penuh,
melintasi stasiun Geudong ke Samudra tua. Di dekat Geudong juga terdapat
beberapa pemakaman, satu di antaranya disebut dengan Cot Raja Ahmad oleh
penduduk. Bagi saya, ini menarik.
Setelah lama melalui sawah yang telah dibajak, kompleks
makam tersebut ternyata kemudian juga tidak berarti apa-apa, sehingga fotografi
dan salinan karbon untuk batu-batu nisan itu tidak akan ada gunanya.
Melanjutkan perjalanan, terutama, di sepanjang apa yang
disebut dengan jalan penyangga (barangkali, jalan tanggul-MZ), kami tiba di
Samudra-sekarang adalah sebuah kampung kecil-di mana kami menemukan pemakaman
Malik al-Saleh dan putranya Muhammad.
Saya tidak perlu menjelaskan lebih jauh tentang kuburan-kuburan
ini sebab saya telah menjelaskannya secara terperinci dalam Oudheidkundig
rapport (Laporan Kepurbakalaan) tahun 1913. Kedua kuburan itu saling berdekatan
di bawah cungkup yang dibangun atas perintah Gubernur. Batu nisan lainnya yang
memuat informasi tidak dijumpai di sana. Tidak ditemukan pula apapun jejak yang
dapat mengindikasikan kehebatan di masa silam. Lokasinya datar, tidak ada
"cot", dan berbatasan dengan kampung dan sawah. Di sana tidak pula
terlihat sesuatu yang menunjukkan adanya bekas dinding.
Dari sana kami menyusuri sepanjang jalan setapak yang
sering atau jarang dilalui menuju kompleks pemakaman para sultan yang kedua,
yang disebut dengan Kuta Kareueng. Dalam perjalanan kami menjenguk beberapa
pemakaman, di mana di sana terdapat kubur-kubur yang sangat indah, terkadang
malah bangunan kubur, tapi di antara semua kubur itu tidak ada satu pun kubur
sultan yang ditemukan. Kami juga menghabiskan beberapa waktu di tempat bernama
Cot Astana. Ini adalah bukit rendah yang ditutupi pohon-pohon keras, dan dari
situ orang pasti dapat melihat pemandangan laut yang indah. Ekskavasi yang
dilakukan di sana tidak menghasilkan apa-apa kecuali bekas-bekas batu karang
yang sebelumnya ditutupi serta pecahan-pecahan tembikar dan porselen Cina kuno,
yang semuanya menunjukkan bahwa tempat itu telah lama ditempati oleh hewan.
Ekskavasi yang lebih lengkap dapat menghasilkan temuan yang
lebih banyak, tapi karena sekarang penduduk membuat pemakaman di puncaknya,
maka hal itu mungkin tidak sepenuhnya layak dilakukan.
Pemakaman sekitar Kuta Krueng mencakup kompleks makam para
sultan yang untuk pertama kalinya telah difoto oleh Tuan L. Melville. Bagian
tengah yang paling tinggi kini dikelilingi oleh dinding batu karang yang
tertumpuk. Di timur dan barat ada pemakaman-pemakaman yang berada di bawah, dan
pada saat kunjungan ini, sebagiannya tampak terendam.
Banyak makam di Koeta Kareueng membuktikan bahwa pemakaman
ini digunakan selama masa kejayaan Samudra-Pase, dan menurut pendapat saya,
tidak mungkin Cot Astana merupakan pusat kota Pase.
Penyelidikan lanjutan suatu hal yang akan diperlukan untuk
menguji dugaan ini, serta sangat diharapkan untuk mencoba mengatasi kekosongan
yang ada antara pemakaman Samudra dan Kuta Kareung.
Perjalanan selanjutnya terutama ditujukan ke pemakaman yang
oleh Tuan de Vink telah ditemukan di tepi kiri sungai Pase, tapi bila ditarik
garis lurus, maka pemakaman tersebut tidak jauh dari kompleks-kompleks
pemakaman yang baru saja diterangkan di atas, hanya saja kompleks-kompleks yang
disebut sebelumnya berada di tepi kanan sungai.
Ketika Tuan de Vink menemukan kompleks pemakaman itu,
hampir semua batu nisan telah terkubur di bawah tanah. Penduduk di situ, hari
ini, menamakan tempat itu dengan Tengku di Bale, sebuah nama asal-asalan,
tentunya.
Ini adalah areal yang cukup luas dengan dua baris kuburan
cukup teratur. Sekitar setengah jalan di antara kubur-kubur itu, ada sebatang
pohon yang sangat tinggi, yang sekarang atau mungkin bahkan sejak dulu, telah
menjadi petunjuk daratan bagi para nelayan, mulai dari laut sampai mercusuar.
Di bagian atas pohon itu, semacam baling-baling dari kain putih telah
diletakkan supaya mudah dikenali.
Kami tidak menemukan jejak jembatan di sekitarnya.
Di pemakaman itu - yang semua batu-batu nisannya sudah
difoto dan dibuat salinan karbon pada saat kami datang ke sana - tidak didapati
bangunan makam. Semua batu nisan terbuat dari batu pasir (zandsteen =
sandstone), dan semuanya terbuat dengan satu tipe yang serupa, membuatnya
sangat monoton, dan sangat berbeda dengan Koeta Kareueng yang kaya dengan
berbagai bangunan makam dari marmer.
Namun - dan ini hal paling penting terkait tujuan kami - di
sinilah tampaknya sultan-sultan periode akhir Pase telah dikuburkan, sebab
dalam penyelidikan awal sudah terlihat bahwa ada belasan nama sultan berada di
sini. Mayoritas penanggalan berasal dari tahun-tahun terakhir 1400-an dan
permulaan 1500-an Masehi.
Dikarenakan di kompleks ini sangat banyak batu nisan yang
memiliki informasi, dan penyelidikan inskripsi akan sangat menyita waktu, maka
untuk sementara ini, saya tidak pantas memiliki opini spesifik tentang ini.
Tapi, menurut saya, di sini tertangkap pula adannya suatu kekosongan di antara
kompleks pemakaman ini dengan kompleks pemakaman Kuta Kareueng. Dari itu, saya
menginstruksikan Tuan de Vink untuk mencari pemakaman-pemakaman di tempat lain,
terutama, karena ada satu tempat di sekitarnya yang dikenal dengan
"kandang", barangkali itu bisa menjadi petunjuk ke pemakaman
kesultanan.
Kami juga telah mengunjungi beberapa kompleks pemakaman
kecil lainnya, sebagiannya sudah selesai dikerjakan oleh Tuan de Vink dan
sebagian lain, tengah dalam pengerjaan. Tidak ditemukan sesuatu yang istimewa,
dan saya hanya bisa menunjukkan mana batu-batu nisan yang mesti difoto di
kompleks-kompleks tersebut.
Meskipun kubur-kubur itu bukan milik para Penguasa, tapi
batu-batu nisannya memuat nama dan tahun, yang barangkali nantinya memiliki
nilai tertentu.
Saya memang tidak menerangkan tentang seluruh kompleks
tersebut di atas, namun demikian, "wisata" kami ini telah meliputi ke
segala sesuatu yang telah ditemukan di wilayah Pase selama ini. Dan, sampai
sejauh ini sudah dapat dipastikan bahwa hanya ada 3 kompleks makam yang dapat
dinyatakan sebagai pemakaman kesultanan.
Seiring berakhirnya kunjungan kami ke wilayah peninggalan
sejarah kuno Samudra-Pase, saya pun kembali ke Kuta Raja pada tanggal 19 bulan
itu juga.
Sementara itu, Tuan de Vink melanjutkan kerjanya membuat
klise untuk kemudian mengirimkannya ke Batavia bersama S. S. Reael.
Setelah itu, atas permintaan saya, ia juga kembali ke Kuta
Raja untuk mengambil foto dan salinan karbon kubur-kubur sultan yang ditemukan
di Kuta Raja.
Dalam penyelidikan lebih lanjut, ternyata apa yang kami
temukan pada kubur-kubur sultan itu lebih besar dari apa yang saya kira
sebelumnya. Sebab, setelah mempelajari inskripsi-inskripsi di sana dengan
cermat, tampaklah sebagai berikut ini:
1. Makam Ali Mughajat Syah wafat pada hari Ahad, tanggal 12
Doelhidjah 936 Hijriah = Ahad, 7 Agustus 1530 M.
2. Makam putranya, Salahuddin (disebutkan pada batu nisan)
meninggal pada hari Sabtu 23 Syawwal 955 H = Ahad 25 November 1548 M.
3. Makam 'Alauddin Al-Qahhar, pada batu nisan itu
disebutkan: meninggal pada hari Jum'at 8 Jumadil Awal 979 H = Jum'at 28
September 1571 M.
4. Makam putra dari pengganti 3 (sultan nomor ke-3), yaitu
'Ali Ri'ayat Syah, yang disebutkan pada batu nisan: meninggal pada hari Senin,
12 Rabi'ul Awal 987 H = Senin, 8 Juni 1579 M.
5. Makam seseorang yang tidak dikenal (sejauh ini, saya
mengenalnya) Sultan Yusuf, yang disebutkan pada batu nisannya: meninggal Selasa
27 Rabi'ul Akhir 987 H = Selasa 23 Juni 1579 M.
Selain itu, ada juga kubur Sultan Ghuri dan kedua
saudaranya, Muhammad Syah dan Abdullah, tapi hanya saudara laki-laki pengganti
4 (sultan nomor ke-4), yang digelar dengan 'Ali Ri'ayat Syah. Di kompleks itu
juga ada beberapa kuburan lainnya, yang batu-batu nisan utamanya telah hilang.
Batu-batu nisan Sultan Ghuri dan lainnya belum dapat kami
uraikan secara memadai, dan batu-batu nisan yang hilang masih haru dicari.
Namun demikian, penemuan yang sangat mengherankan rupanya
masih menanti kami di sana. Di bagian bawah (kaki) gundukan di mana makam-makam
itu berada, kami melihat batu mencuat. Setelah dilakukan penggalian, ternyata
itu adalah batu nisan duplikat dari kubur Ali Mughayat Syah. Batu nisan
tersebut tampak sengaja ditanam di situ, bekas-bekas penyepuhan emas masih
terlihat, dan hanya karena telah amblas ke dalam tanah, maka batu nisan itu
masih terawat dengan baik.
Pada batu nisan itu, yang dalam hal penanggalan dan
lain-lain, sama dengan yang ada pada kubur Ali Mughayat Syah (hanya ornamennya
yang berbeda), disebutkan bahwa almarhum adalah:
المسمى سلطان علي مغيت شاه
Dari itu, kami menduga bahwa batu nisan itu telah
dipindahkan dan diganti oleh sebab ejaan nama yang salah atau oleh karena tidak
patut bagi para putra mahkota untuk berketurunan dari seseorang yang hanya
disebut dengan nama "Sultan".
Di lokasi itu mesti ada penggalian selanjutnya untuk
melihat apakah ada kuburan atau fragmennya yang terkubur di bawah tanah.
Selalu bersama Dr. H. Djajadiningrat saya berkunjung ke
kuburan-kuburan yang berada di dekat kampung Kuta Alam. Kami mengira, kami
berada di sana untuk menemukan kubur Iskandar Muda yang diagung-agungkan, tapi
itu ternyata tidak seperti yang kami bayangkan. Itu toh sama saja seperti
ketika orang-orang membangun asumsi-asumsi atas dasar cerita-cerita penduduk
asli.
Di sana, kami menemukan makam yang lumayan besar dan
batu-batu nisan yang lebih kecil, termasuk kuburan wanita. Kebanyakan batu-batu
nisan itu dapat terbaca dan akan bisa diuraikan setelah dibersihkan.
Bagaimanapun, makam besar itu ternyata bukan milik Iskandar
moeda tapi milik Syamsu Syah bin Munawwar Syah, meninggal pada tahun 973 H.
Tanggalnya rusak tapi masih mungkin untuk diuraikan saat dipelajari.
Di sini dikuburkan ayah Ali Mughhajat Shah, sebagaimana
tertera pada batu nisan Sultan Ali Riayat Syah yang telah disebutkan di atas
(pengganti 4), yang memberikan kita silsilah lengkap.
Kami juga telah pergi melihat satu kuburan lain di Kutâ
Raja, tapi sepertinya tanpa nama dan tanggal. Hanya saja di sebuah makam, kami
melihat dalam kotak pada dinding samping makam tertulis nama Manshur Syah.
Kuburan itu dan beberapa kuburan lain di sekitarnya,
batu-batu nisannya tampak telah dicat sedemikian rupa sehingga sangat
menyulitkan pembacaan inskripsi.
Di sana, walau bagaimanapun, mesti masih banyak pemakaman,
karena di belakang Masjid Raya juga terdapat sejumlah bangunan makam yang rapi,
bagian kepala dan alasnya telah hilang. Pada tempat di mana kuburan itu berada
dulunya, sekarang, sudah berdiri sebuah rumah sekolah. Saya telah menugaskan
Tuan de Vink untuk menanyakan perihal batu-batu nisan yang hilang itu ke kantor
B. O. W. (Departement van Burgerlijke Openbare Werken = Departemen Pekerjaan
Umum Sipil) dan ke lainnya.
Oleh sebab saya harus naik kapal pada tanggal 26 April,
maka saya tidak dapat melakukan penyelidikan lebih lanjut, dan kunjungan
pertama saya ke Aceh pun usai.
Weltevreden (tempat tinggal utama orang-orang Eropa di
pinggiran Batavia), Mei 1914.
J. P. Moquette
__________________________________
*Tulisan ini dengan judul asli:
"Verslag van mijn voorloopig onderzoek der
Mohammedaansche oudheden in Atjeh en Onderhoorigheden"
Diterbitkan dalam:
Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie - Oudheikundig
Verslag 1914, pp. 73 - 80.
(Layanan Kepurbakalaan di Hindia Belanda - Laporan
Kepurbakalaan 1914, hal. 73 - 80)
Catatan:
1. Perbaikan dan penyempurnaan bahkan penerjemahan ulang
masih sangat diharapkan.
2. Terjemahan tulisan ini, untuk sementara waktu, telah
sengaja dibiarkan tanpa komentar sekalipun ada beberapa hal yang perlu
diperjelas.
0 Komentar