Makam Sultan Syamsu Syah ibn Sultan Munawar Syah (w. 937 H/1531 M). Kompleks makam Po Teuh Meurhoem, gampong Ile, Ulee Kareng, Banda Aceh. |
Po
Teuh Meurhoem (2)
Sedari
beberapa waktu lalu saya sudah ingin mengutarakan apresiasi saya kepada sebuah
lembaga yang menamakan diri dengan Rumah Baca Aneuk Nanggroe (RUMAN) Aceh. Saya
mengikuti gambar-gambar yang diekspos lewat akun media sosialnya; gambar-gambar
aktifitas Ruman Aceh dalam rangka menstimulasi minat baca pada anak-anak.
Saya
memang belum sempat mengikuti secara lebih dekat dan kontinu, dan karena itu
pula selama ini saya belum sempat mengutarakan apresiasi dan dukungan saya
terhadap kegiatan-kegiatan yang dilancarkan Ruman Aceh. Maka di sini saya
menggunakan kesempatan untuk mengutarakannya sebelum masuk ke dalam pokok
pembicaraan. Pengutaraan ini sendiri tentu ada kaitannya dengan pokok
pembicaraan.
Bagi
saya, di antara sejumlah pemandangan paling mewah, sangat luks, indah dan
memikat hati adalah pemandangan di mana terlihat anak-anak memegang,
memperhatikan dan membaca buku di depannya. Ekspresi mereka saat-saat itu
selalu berhasil membuat batin terpana. Dan Ruman Aceh, sekalipun tidak terjalin
komunikasi atau kontak khusus dalam bentuk apapun dengan saya, tapi lembaga
pendidikan ini dengan segenap usaha dan kerja keras yang tidak dimintakan serta
sepenuhnya atas inisiatif sendiri telah mempersiapkan dan menyajikan keindahan
itu kepada saya dengan cuma-cuma. Saya sangat berterima kasih.
Sekarang,
saya mesti mengajukan alasan mengapa? Mengapa pemandangan ini alangkah indahnya
bagi saya?
Jawabannya
sederhana saja. Pemandangan itu menyemburatkan harapan, menginspirasi,
memotivasi. Pemandangan itu secara khusus menyuplai kepada saya sejumlah besar
energi dari “sumber energi yang terbarukan”.
Saya,
sebagaimana Anda juga, manakala dikepung oleh hal-hal mengecewakan dari
berbagai sisi dan tingkatan, dikurung oleh gelap gulita yang seolah-olah abadi,
kita berharap secercah cahaya. Anak-anak yang tengah berinteraksi dengan
buku-buku, dengan macam-macam tingkah lakunya, bagi saya, bukan saja secercah
cahaya tapi ibarat lingkaran sinar dari mulut gua yang menganga, yang
mengalirkan udara bersih dan segar dari padang harapan, dan dengan serta merta
meyakinkan bahwa di luar sana adalah padang harapan yang dituju.
Kita
akan keluar dari kurungan pengap hari-hari yang dijalani melalui mulut gua yang
menganga itu; lewat anak-anak kita yang mencintai buku, meminati pekerjaan membaca,
bahkan sampai menyukai bau kertas, dan menjadikannya sebagai mahkota perhiasan
bagi diri mereka; lewat mereka yang menggandrungi ilmu pengetahuan, apa saja
bidang keilmuan dan jenis pengetahuan.
Jika
dapat dikatakan bahwa hari ini adalah waktunya Aceh mesti menerapkan darurat
budaya, artinya kebudayaan mesti mengambil kedudukan dalam berbagai aspek
kehidupan, maka saya katakan, budaya membaca dan menggandrungi ilmu pengahuan
adalah budaya yang mula-mula sekali dan berada di tingkat pertama sekali untuk
digalakkan, disemangatkan, “dipentaskan” di berbagai panggung kebudayaan kita.
Bagaimana
Islam menyemangatkan umat “Iqra’” ini untuk membaca dan memiliki ilmu
pengetahuan tentu sudah tidak perlu diuraikan lagi.
Kemudian,
jika harus berkaca kepada masa lalu, maka itu pun sudah merupakan sesuatu yang
amat terang di depan mata. Bapak Tarmizi A. Hamid dan Bapak Herman Syah, juga
Ananda Masykur Syafruddin dan lainnya dapat menyodorkan bukti-bukti tak
terbantahkan bagaimana orang-orang Aceh di zaman lalunya menggandrungi aneka
jenis ilmu pengetahuan.
Semua
jenis pengetahuan mereka kumpul dalam taman-taman yang begitu indah; buku-buku
(kitab-kitab). Mereka membaca, mencatat, menulis, menyiarkan, dan sekarang
mereka telah mewariskan khazanah intelektualitas yang tak terkira harganya itu
kepada generasi zaman ini.
Dari
sanalah mereka membangun kebudayaan dan peradaban yang sukar ditemukan
bandingannya di belahan tenggara dunia ini. Berbicara tentang perkembangan ilmu
pengetahuan di zaman lampau Asia Tenggara, maka Aceh sama sekali tidak mungkin
dilewatkan.
Lantas
saya bertanya, adakah peran para penguasa (raja dan sultan) Aceh dalam hal ini?
Saya
kira Pak Tarmizi A. Hamid, kolektor senior manuskrip Aceh, akan bersuara
lantang menjawab: “Tentu! Pasti itu!”. Dan jika ditanya, bagaimana? Pak Tarmizi
sudah barangtentu akan menjelaskan tentang hubungan-hubungan Sultan Iskandar
Muda dengan Syaikh Syamsuddin As-Sumathraniy, Sultan Iskandar Tsani dengan
Syaikhul Islam Nuruddin Ar-Raniriy, Sultanah Tajul ‘Alam Shafiyyatuddin dengan
Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdurrauf Al-Fanshuri As-Sinkiliy. Semua itu adalah sejarah
yang telah dikupas panjang lebar oleh para ahli. Dan diyakini pula bahwa masih
teramat lebar ruang sejarah mengenai hubungan sultan-sultan Samudra Pasai dan
Aceh Darussalam dengan para alim ulama dan cendikiawan yang belum disingkap dan
disorot ke atasnya sinar penyelidikan.
Maka
dari itu, sekarang, saya akan bertanya sejumlah soal. Manakah budaya, manakah
adat istiadat, yang semestinya didudukkan di peringkat teratas dari lainnya?
Manakah yang pertama sekali mesti diingat ketika para raja dan sultan dikenang?
Manakah yang pertama sekali mesti dibangkitkan, disokong dan dilestarikan
sebelum lainnya? Manakah budaya dan adat yang relevan dengan masa di mana
darurat budaya semestinya diberlakukan?
Sebelum
menjawabnya dari sudut pandang saya, saya perlu menyatakan jika saya amat
berlapang dada dengan perbedaan pendapat yang terbit dari kedalaman berpikir
serta keluasan ilmu pengetahuan, dan maaf, jika saya sama sekali tidak akan
berkompromi dengan pendapat yang berasal dari kemalasan berpikir dan keengganan
menimba ilmu, apalagi mengeluarkan suara seenak perut. Saya mohon maaf karena
saya akan memblokir kebodohan yang keras kepala itu lantaran tidak punya waktu
untuk meladeninya.
Semua
pertanyaan tadi, dalam yakin saya, hanya satu jawabannya, yaitu budaya dan adat
yang menggandrungi ilmu pengetahuan dalam berbagai bidangnya. Budaya itulah
yang pokok, yang mesti dicurahkan segenap perhatian dan tenaga untuk
membangkitkannya lagi lewat berbagai aktifitas dan program, tradisionalkah
maupun modern. Tidak layak melangkah ke lain sebelum budaya ini memperoleh
hak-haknya yang sudah seharusnya diberikan dalam rangka mengasaskan kebangkitan
bangsa. Tidak perlu lagi dikatakan apabila ilmu pengetahuan dewasa ini adalah
kunci untuk keluar dari keterbelakangan, bahkan merupakan bagian dari persoalan
keamanan negara (national security).
Maka,
berhentilah untuk menganggap dan memperlakukan kebudayaan seumpama barang
rongsokan dari masa lalu sebab ia pada hakikatnya adalah “makhluk ruhani” yang
hidup dan berkembang dalam satu alam pemikiran dan amalan yang mampu
mempersatukan warisan masa silam, kenyataan hari ini, dan cita-cita untuk masa
depan, di dalamnya. Inilah hakikat kebudayaan.
Saya
merasakan Anda mulai bertanya-tanya dan berusaha untuk meraba-raba bagaimanakah
persisnya bentuk budaya dan adat yang saya maksud itu? Bagaimana budaya dan
adat yang menggandrungi ilmu pengetahuan itu sebenarnya? Apakah seperti
pelaminan tradisional Aceh, ataukah sama seperti pawai 17 Agustus dan
acara-acara lain semisalnya, atau bagaimana?
Jelas
saja, saya perlu memberikan contoh-contoh. Dan untuk mengawalinya baik pula
diterangkan bahwa budaya dan adat yang menggandrungi ilmu pengetahuan itu
merupakan sejumlah rangkaian kegiatan dan aktifitas sosial (perilaku kolektif)
yang terkontinyukan baik melalui pengaturan, pendidikan, penumbuhan dan
pengembangan cita-rasa maupun lain semisalnya, dalam berbagai aspek kehidupan,
dan yang secara serta merta terarah kepada penebalan lapisan-lapisan ilmu
pengetahuan, penggalian berbagai filsafatnya untuk pengembangan, serta
perluasan wilayah sebarannya.
Jika
disederhanakan, maka ia adalah budaya dan adat yang berpangkalan pada ilmu
pengetahuan dan selalu berada dalam ruang lingkupnya. Demikianlah pula saya
memahami apa yang dimaksud dengan kebudayaan dan peradaban bangsa-bangsa Islam.
Bagaimana tidak, jika kitab suci Islam saja telah dinamakan dengan Al-Qur’an
yang secara harfiah berarti bacaan. Dengan kata lain, Islam telah
menitikberatkan kepentingan ilmu pengetahuan—tentang bagaimana Al-Qur’an
mengetengahkan persoalaan ilmu pengetahuan tentu dapat disimak dari berbagai
kepustakaan, yang Alhamdulillah, sangat banyak.
Dari
situlah kemudian bangsa-bangsa Islam tercatat dalam sejarah umat manusia sebagai
bangsa-bangsa yang memiliki peradaban tinggi. Yakni, peradaban yang mempunyai
peran dan pengaruh di dunia, dan telah menyumbangkan banyak kebaikan dalam
usaha manusia menciptakan kehidupan yang luhur. Demikianlah adanya. Dan bangsa
Aceh adalah salah satu di antara bangsa-bangsa Islam itu merupakan hakikat yang
sama sekali tidak dipungkiri.
Apabila
Aceh secara a priori diakui sebagai salah satu negara kuat di masa lampaunya,
maka alasan yang berbanding lurus dengan pengakuan tersebut ialah karena Aceh
pemilik ilmu pengetahuan di mana di atasnya dibangun kebudayaan dan
peradabannya. Tidak mungkin karena selain itu kekuatan Aceh dapat diakui. Tidak
mungkin Aceh diakui hebat dan kuat hanya karena banyaknya kenduri-kenduri adat
ataupun upacara-upacara tradisional lain semisalnya. Aceh diakui hebat karena
kebudayaan dan peradaban yang dibangun di atas ilmu pengetahuan yang berkembang
dewasa itu. Dan di atas itu lagi, kehebatan Aceh, tentunya, adalah karena ia
telah memikul amanah Islam dan memanggul risalahnya.
Ini
bukan berarti budaya dan adat istiadat semisal kenduri-kenduri itu tidak perlu
dilestarikan. Sama sekali saya tidak mengatakan demikian. Sebab, sudah
dimaklumi bagaimana sebagian budaya dan adat istiadat semacam itu—sekalipun
dalam pelaksanaannya, bahkan maknanya, telah mengalami perubahan dan pergeseran
yang sulit dielakkan—masih menunaikan tugas-tugas sosialnya dalam menciptakan
kerukunan dan silaturrahmi dalam masyarakat. Itu tidak dinafikan.
Namun,
yang ingin dikatakan, perkembangan keadaan dewasa ini—jika kita benar-benar
dapat mengukur jarak ketertinggalan—begitu pula cita-cita yang ingin diwujudkan
di masa depan, sangat menuntut kita untuk memberikan perhatian besar kepada
budaya dan adat istiadat yang dapat mengantarkan kita kepada sebuah kebangkitan
hakiki, serta dapat mendorong upaya-upaya pengulangan sejarah untuk kembali
tampil memimpin dan mengayomi. Sehingga, superioritas itu bukan sesuatu yang
semu dan hanya nostalgia masa lalu, tapi hendaknya menjadi kenyataan yang dapat
disaksikan, paling tidaknya, di masa depan. Apa guna sejarah, apa guna
pengetahuan masa lalu, apabila ia tidak pun mampu mengilhami sebuah
kebangkitan?!
Budaya
dan adat istiadat yang kita warisi dari masa lalu dengan demikian perlu
didalami kembali; diverifikasi dan dinilai mana yang orisinil dan mana yang
merupakan susupan dari zaman-zaman keterbelakangan atau malah dari masa ketika
imperialisme sempat mengendalikan Kuta Raja (Bandar Aceh) dalam beberapa waktu.
Selanjutnya,
perlu pula dipertimbangkan relevansinya dengan berbagai tuntutan kebangkitan
bangsa dalam memilih mana yang mesti dilestarikan dan mana yang sudah
selayaknya ditinggalkan. Ada di antaranya yang berhak untuk dirawat dan
dilanjutkan; ada di antaranya yang perlu dirawat sebagai kenangan dan tidak dilanjutkan;
dan ada pula yang sama sekali perlu ditinggalkan karena berasal dari masa-masa
keterbelakangan.
Itulah
inti yang ingin dibicarakan. Sedangkan soal budaya dan adat istiadat yang
hendak dilahirkan selaras tuntutan-tuntutan kebangkitan di era mutakhir ini,
maka kitalah empunya! Kitalah dengan segala jenis muatan pemahaman berdimensi
masa lalu, hari ini, dan masa depan, yang akan merancangnya. Kitalah dengan
ragam pos yang kita duduki mulai dari pembuat aturan dan kebijakan, pendidik,
ulama, mubaligh, pemilik media massa, penegak hukum sampai petani dan nelayan
sekalipun; kitalah perancangnya. Maka soal budaya dan adat istiadat yang baru
itu adalah urusan kita hari ini di mana perbincangan tentangnya mesti
dilanjutkan tanpa batas waktu. Tidak ada perhentiannya.
Sementara
mengenai tempat Islam dalam perancangan budaya dan adat istiadat baru itu,
tentu sudah tidak perlu diterangkan lagi. Bagi orang Aceh, sebagaimana masa
lalunya yang panjang, Islam memiliki tempat yang mutlak di atas dari segalanya.
Islam adalah identitas yang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi sekalipun
langit akan runtuh di atas ubun-ubun. Aceh akan punah apabila Islam telah
lenyap di dada rakyatnya. Sama sekali tidak akan ada Aceh jika Islam tidak lagi
memiliki tempat yang mutlak di buminya. Dan miris sekali ketika banyak
kenyataan yang disaksikan dewasa ini justru mempertontonkan hal-hal yang pada
hakikatnya mengancam keberlangsungan eksistensi Aceh.
Namun
di sini, sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, percakapan hanya dibatasi
pada budaya dan adat istiadat yang kita warisi; manakah yang mesti
dikedepankan, diberikan fokus untuk dibangkitkan dan dilestarikan. Dan itu
sudah terjawab tadi, yaitu budaya dan adat istiadat yang menggandrungi ilmu
pengetahuan sebagaimana layaknya kebudayaan dan peradaban bangsa-bangsa Islam.
Kini gilirannya saya menerangkan dengan beberapa permisalan.
Tentu
banyak sekali rangkaian kegiatan dan aktifitas sosial dalam budaya dan adat
yang menggandrungi ilmu pengetahuan ini. Rangkaian itu dapat dikelompokkan
dalam beberapa kelompok. Saya sebutkan dua di antaranya bersama
contoh-contohnya secara ringkas sekadar untuk dapat dipahami maksud dari budaya
dan adat yang menggandrungi ilmu pengetahuan itu.
Pertama,
budaya yang bersumber dari Islam dan sepenuhnya memiliki raut keislaman adalah
budaya-budaya yang pada tingkat atas perlu diberi perhatian dan dilestarikan.
Misalnya, budaya memakai teuleukoeng (mukena) warna putih oleh wanita Aceh.
Begitu juga pakaian (baju dan sarung) berwarna putih-putih untuk shalat Jum’at
yang sekarang sudah agak jarang dipedulikan. Budaya anak-anak mengaji selesai
shalat Maghrib di rumah-rumah, balai-balai, meunasah-meunasah yang pada tempo
dulu, pada waktu yang disebut dengan Bainal ‘Insya’ain (di antara dua ‘Isya
itu) itu, kita dapat mendengar suara anak-anak membaca Al-Qur’an. Budaya yang
bersumber dari perintah dan larangan Islam—dengan cakupannya yang sangat luas
dalam berbagai aspek kehidupan—dan sepenuhnya beraut Islami ini jika diurut dan
dirincikan serta didalami filosofi dan dibentangkan penjelasannya, maka akan
berhalaman-halaman.
Itulah
di antara contoh dari salah satu rangkaian—dan yang pertama sekali mesti saya
sebut— dalam budaya dan adat menggandrungi ilmu pengetahuan yang saya maksud.
Yakni budaya dan adat yang dibangun di atas ilmu pengetahuan Islam.
Kedua,
budaya yang bersumber dari tradisi-tradisi (adat istiadat/kebiasaan-kebiasaan
sosial) yang terkait erat dengan lingkungan hidup serta pandangan-pandangan
menyangkut pemeliharaan, pelestarian dan pemanfaatannya. Dan ini adalah sebuah
ruang pembicaraan yang teramat luas untuk dapat dibentangkan di sini. Tidak
mungkin diselesaikan pembentangannya selain dengan sebuah ensiklopedia yang dikerjakan
dengan cara “pengeroyokan” (dikerjakan oleh banyak ahli).
Hampir
saja dapat saya katakan bahwa orang Aceh telah menuangkan seluruh ilmu
pengetahuan dan berbagai pandangan mereka, teoritis maupun aplikatif, tentang
alam dan lingkungan hidup ke dalam wadah-wadah budaya dan adat istiadat yang
mereka miliki. Ada adat meuglei (tata cara berladang), adat meulaoet (tata cara
berlayar dan menangkap ikan), adat meugoe (tata cara bersawah), adat meu’utoeh
(tata cara pertukangan) dan lainnya yang masih kita warisi—belum lagi yang
terlanjur hilang dan tidak sempat terwarisi—yang semuanya adalah bangunan ilmu
pengetahuan yang besar, yang terkadang belum tentu dimiliki oleh bangsa-bangsa
yang hidup di bagian dunia yang lain. Semua budaya dan adat istiadat itu hakikatnya
adalah gudang (khazanah) ilmu pengetahuan yang sangat kaya, yang jika
dieksplorasi dan disusun kembali dengan rapi, akan menjadi sebuah ensiklopedia
ilmu pengetahuan yang besar.
Saya
sendiri sering dan telah banyak mendengar penuturan masyarakat tentang ragam
hal menyangkut lingkungan hidup mereka masing-masing. Mereka ternyata memiliki
pengetahuan-pengetahuan yang menakjubkan. Atas dasar pengetahuan tersebut lahir
ragam perilaku kolektif yang kemudian diwarisi secara turun temurun dari satu generasi
ke lainnya sehingga terciptalah budaya dan adat.
Untuk
sekadar mencontohkan bagaimana orang Aceh memiliki perhatian yang tinggi
terhadap lingkungan hidup adalah budaya menamakan suatu daerah atau lokasi
dengan nama berbagai jenis pepohonan yang disertai nama bentang lahan di mana
pohon-pohon itu tumbuh. Budaya ini sangat istimewa karena selain telah membantu
memperkenalkan sejumlah jenis pohon, juga secara tidak langsung merupakan
sebuah ajakan untuk melestarikannya sebab telah dijadikan penanda dan alamat
bagi daerah tertentu (landmark) di mana tanpanya daerah itu menjadi susah
dikenali. Budaya ini hampir dapat dikatakan senilai dengan berbagai kampanye
penghijauan atau pelestarian alam yang dilakukan di dewasa ini.
Walhasil
sekian istilah bentang lahan (landscape) seperti matang/simatang, cot, paya,
lhok, teupin, panton, serta nama aneka tetumbuhan tersajikan lewat budaya ini.
Ini adalah salah satu contoh dari budaya dan adat yang menggandrungi ilmu
pengetahuan.
Perlu
juga saya singgung sedikit di sini tentang apa yang dapat dinamakan dengan adat
meubanda dan meugampoeng (perancangan kota dan permukiman). Dari berbagai
survei yang pernah dilakukan CISAH di berbagai wilayah permukiman kuno
peninggalan sejarah Samudra Pasai tampak jelas bahwa setiap gampoeng
(permukiman) dan banda atau kuta (kota) telah dibuka dan dibangun atas dasar
ilmu pengetahuan mulai dari pemilihan lokasi sampai pengaturan tata ruangnya.
Ilmu
pengetahuan mengarahkan mereka untuk mengambil pola-pola tertentu yang
terkadang begitu terang untuk dipahami alasan dan tujuan dari pembukaan
permukiman-permukiman serta pendirian kota-kota tersebut. Pola-pola itu
terlihat telah diterapkan berulang kali sehingga kita dapat meyakini bahwa
mereka memiliki budaya dan adat meubanda dan meugampoeng yang lahir dari ilmu
pengetahuan yang mereka miliki.
Di
sini, dengan tanpa ragu, saya harus menyatakan bahwa ilmu pengetahuan mereka di
masa lampau dalam bidang ini mengatasi ilmu pengetahuan yang kita kuasai hari
ini. Salah satu penyebab ketidakraguan saya untuk menyatakan hal ini ialah
karena demikian seringnya permukiman-permukiman kita mengalami bencana dengan
berbagai jenis dan tingkat kerugiannya. Bencana-bencana itu tidak sepenuhnya
disebabkan faktor-faktor alam tapi justru diakibatkan kebodohan dalam mengelola
dan memanfaatkan alam. Sehingga, lewat penelitian arkheologis sering saja
terlihat, bagaimana suatu tempat (kota dan permukiman) yang sebenarnya begitu
aman bagi para penghuni di masa lalu tapi sekarang justru menjadi tempat yang
membahayakan dan mengancam jiwa dan harta. Saya kira kita perlu lebih banyak
belajar budaya dan adat meubanda dan meugampong dari penghuni di masa lampau.
Sampai
di sini saya kira sudah cukup contoh untuk menjelaskan apa yang saya maksud
dengan budaya dan adat yang menggandrungi ilmu pengetahuan, dan bagaimana
budaya dan adat Aceh itu ternyata adalah budaya dan adat yang berkarakter
demikian.
Tinggal
lagi, saya akan menunjukkan sebuah bukti yang sudah saya janjikan supaya
semakin terang bahwa budaya dan adat Aceh yang tercipta di masa-masa para Po
Teuh Meurhoem adalah budaya dan adat yang menggandrungi ilmu pengetahuan. Namun
saya masih terpaksa menunda penyajian bukti tersebut mengingat keadaan yang
belum mengizinkan.
Untuk
sementara waktu, dan untuk menggantikannya, saya akan menukilkan apa yang
dituturkan oleh Ibnu Baththuthah mengenai kebiasaan Sultan Al-Malik Azh-Zhahir
dari Samudra Pasai (abad ke-14 M). Dari apa yang dituturkan penjelajah asal
Maroko itu kita dapat memperoleh sebuah gambaran bagaimana para sultan dan
raja—dalam kapasitasnya sebagai salah satu sumber budaya dan adat—telah
meminati ilmu pengetahuan, yang pada gilirannya telah mendorong lahirnya budaya
dan adat yang menggandrungi ilmu pengetahuan.
Tentang
Sultan Al-Malik Azh-Zhahir di Sumatra (Samudra Pasai), Ibnu Baththuthah
menulis:
“…
Maka pada hari keempat, dan hari itu adalah hari Jum’at, Amir Daulasah (Daulat
Syah) datang dan mengatakan kepada saya, Anda akan berjumpa dengan Sultan hari
ini di ruang kamar Masjid Jami’ setelah shalat. Saya lalu menuju masjid dan
shalat Jum’at di sana didampingi pengawalnya bernama Qairan. Setelah shalat,
saya pun masuk menghadap Sultan, dan dalam ruang itu saya melihat Qadhi Amir
Sayyid dengan murid-muridnya di sebelah kanan dan kirinya (di antara para murid
itu adalah Sultan Al-Malik Azh-Zhahir). Sultan lantas menjabat tangan saya dan
saya mengucapkan salam kepadanya. Ia mempersilahkan saya duduk di samping
kirinya. Ia menanyakan tentang Sultan Muhammad dan juga mengenai
perjalanan-perjalanan saya, dan saya menjawabnya. Setelah itu Sultan kembali
menyimak pengajian fiqh dalam mazhab Asy-Syafi’iy, dan itu berlangsung sampai
dengan waktu shalat ‘Ashar tiba. Usai shalat ‘Ashar, Sultan masuk ke sebuah
rumah di sana dan menggantikan pakaian yang tadi dipakainya, yaitu pakaian yang
khusus dipakai oleh para ahli fiqh (hukum Islam), dengan pakaian raja. Rupanya
memang sudah kebiasaan Sultan, pada setiap hari Jum’at, ia memakai pakaian ahli
fiqh, dan pergi ke masjid dengan berjalan kaki.” (Ibnu Baththuthah, 1322
H:2/187)
Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari group facebook Mapesa.
Dikutip dari group facebook Mapesa.
0 Komentar