Kesenian 'Garis Keras'

Keras' dalam tutur orang Aceh diucap: 'kreuh'.

Menyangkut etimologi kata 'keras', saya mengusulkan bahwa orang-orang Pasai di zaman Sumatra (ke-7 s/d ke-10 H/ ke-13 s/d ke-16 M) kiranya telah meminjam dari Persia:

كرخت

(Karakht)

Abreviasi:

كرخ

(Karakh)

Karakht: insensible (nirakal; tidak sadar); deprived of feeling (kehilangan perasaan; tidak peka); rigid (kaku; jumud); harsh (keras; kasar); stern (keras; tegang); austere (keras; kuat) (F. Steingass, 1963: h. 1021; Lihat juga, Dekhoda, 1998: h. 1524; 'Abdun Na'im, 1982: h. 535).

Kata itu kemudian, lewat tutur kata orang-orang Pasai, telah mengalami peralihan fonetik; dari 'karakht' atau 'karakh' sampai memperoleh bunyi definitif dalam bahasa Pasai atau Jawiy: 'keras'.

Peralihan tersebut juga telah diikuti oleh evolusi pada tingkat makna, bahkan makna yang terlahir pada waktu kemudian, yakni padat kuat dan tidak mudah berubah bentuknya atau tidak mudah pecah, justru telah menggantikan makna asli. Makna asli kemudian dianggap sebagai makna kiasan.

Tidak mengenal belas kasihan dan tidak lemah lembut kiranya adalah makna asli atau dekat dengan makna asli dari kata 'keras', yang secara etimologis berasal dari 'karakht', yakni tidak berakal; tidak punya perasaan; tidak peka. Kesan makna asli yang memiliki konotasi negatif (tidak/kurang baik) itu tampak mengemuka dalam frasa-frasa idiomatis menggunakan kata 'keras' semisal keras kepala (sukar diatur; tidak patuh), keras hati (tega; bersikukuh), keras mulut (tidak mau kalah dalam berdebat; bicara kasar), berkeras batang leher (tidak mau mengalah) dan sebagainya. Kesan itu juga dapat ditemukan ketika untuk setiap perbuatan yang mencelakakan orang lain baik secara fisik maupun moril, atau segala sesuatu yang dilkakukan secara pemaksaan, kata 'kekerasan'--yakni sesuatu yang bersifat keras--digunakan untuk meliputi semua itu.

Sebagaimana kata 'karakht' yang berkonotasi negatif, kata 'keras', sampai dengan perkembangan terakhir bahasa Pasai atau Jawiy dewasa ini (yakni, Melayu dan Indonesia, hari ini--Jawiy/Jawiyyah: tidak terkait toponimi Pulau Jawa), juga masih didominasi oleh konotasi semacam itu. Hanya beberapa makna kiasannya saja yang dapat dikatakan memiliki konotasi positif (baik), tapi itu pun dapat diamati memiliki substansi yang sama.

Evolusi makna kata 'keras' yang mutakhir, dan dapat dikatakan telah membalikkan keadaan dari sebelumnya, justru muncul dari dalam penuturan orang-orang Aceh sejak beberapa waktu ke belakang. Kata 'kreuh' dalam bahasa Aceh yang merupakan padanan atau adaptasi ujaran dari kata 'keras' dalam bahasa Pasai atau Jawiy, telah dapat melampaui berbagai makna kata tersebut dalam bahasa asalnya, bahkan secara radikal dan lebih murni telah menyingkirkan konotasi negatif yang dimiliki kata tersebut.

Sejak beberapa tahun terakhir teramati bahwa kata 'kreuh' dalam penuturan orang-orang Aceh diucapkan untuk memuji atau menyanjung suatu pertunjukan atau penampilan dari seseorang atau sekelompok orang, dan berarti: sangat luar biasa, top, teratas, puncak. Malah tidak jarang kata itu diucapkan sambil jempol diacungkan. Ini merupakan sumbangan makna terbaru bagi kata 'kreuh', yang dengannya dapat pula memperkaya makna kata 'keras' dalam bahasa Pasai atau Jawiy.

Kata 'kreuh' atau 'keras' yang telah diperkaya dengan makna baru tersebut, yakni yang berarti sangat luar biasa, top, teratas, puncak, saya kira patut untuk menjadi adjektiva bagi karakter (watak) kesenian yang pernah tumbuh di Pasai pada zaman Sumatra (ke-7 s/d ke-10 H/ ke-13 s/d ke-16 M)--Pasai, hari ini, dalam wilayah Aceh, dan sejarahnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah Aceh.

Kepatutan tersebut berangkat dari tiga alasan:

Pertama, untuk mengingatkan bagaimana sikap keterbukaan serta kontak-kontak kebudayaan yang dibangun oleh masyarakat Muslim di Pasai dengan berbagai bangsa di dunia telah memberikan sumbangan besar bagi kebudayaan Islam di mana bahasa Pasai atau Jawiy adalah salah satu manifestasinya. Kata 'keras' yang masih digunakan sampai sekarang ini merupakan salah satu contoh kecil sumbangan dari buah hasil keterbukaan dan kontak-kontak kebudayaan tersebut. Keterbukaan dan kontak-kontak kebudayaan itu sendiri dapat diyakini mustahil tercipta lewat berbagai perbenturan dan jalan kekerasan, tapi sebaliknya, lewat jalan-jalan kompromi, toleran, lemah-lembut dan bijaksana; lewat jalan-jalan yang dipandu oleh Islam--atau katakanlah, lewat jalan-jalan yang 'kreuh', yakni yang sangat luar biasa, top, teratas, puncak.

Kedua, untuk meyakinkan, paling tidak, diri saya sendiri, bahwa ketika orang Aceh memiliki kemampuan untuk menyingkirkan konotasi negatif dari kata 'kreuh' atau 'keras', dan memberikan untuknya konotasi positif secara lebih murni (yakni, hanya dimaksudkan untuk sesuatu yang positif), hal ini, bagi saya, merupakan sebuah pertanda bahwa orang Aceh masih memiliki kekuatan positif atau daya pikir kreatif yang luhur untuk mengarahkan banyak hal kepada sesuatu yang baik atau lebih baik; tidak menduplikasi diri dalam format-format [atau mengurung diri dalam term-term] yang telah terbentuk, lalu menggunci diri di sana (statis; mati). Dengan begitu, orang Aceh sesungguhnya masih memiliki potensi besar untuk menyumbang sesuatu yang baik dan terbaik.

Terakhir, adalah untuk menegaskan bahwa kata 'keras' yang belum diperkaya oleh makna baru sebagaimana kata 'kreuh' dalam penuturan orang Aceh, sesungguhnya, tidak akan menemukan relevansinya saat dihadapkan pada warisan kesenian artefaktual Aceh (Pasai) sebagaimana terlihat dalam gambar-gambar berikut:


1. Ornamen atau hiasan flora yang ditemukan pada satu batu nisan peninggalan sejarah zaman Sumatra (ke-7 s/d ke-10 H/ ke-13 s/d ke-16 M) di lokasi Gampong Alue Lim, Mukim Mangat Makmu, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe (Teluk Samawi). Mengamati pola pembentukan daun-daun (tauriq) yang memiliki kemiripan dengan motif awan China, barangkali dapat diusulkan bahwa ornamen Pasai ini telah mempertunjukkan unsur-unsur yang dikutipnya dari kesenian Timur Jauh.

1. 

2. Seni hias flora lainnya yang terdapat pada batu nisan yang sama. Sedikit berbeda dengan yang pertama, hiasan flora ini dengan terang merupakan ornamen yang oleh para pengkaji kesenian Islam di Barat menyebutnya dengan Arabesque (Arab: 'tauriq' atau 'tausyih'; Persia dan Baghdad: Islami; 'Utsmaniyyah: Rumiy). Apabila hiasan flora yang pertama ingin mempetunjukkan kontak kebudayaan dengan Timur Jauh, maka hiasan flora yang kedua ini terang saja ingin mempertegas jalinan yang terikat kuat dengan kawasan Arab-Persia di Timur Tengah. Ornamen pertama dan kedua pada batu nisan ini, dalam hemat saya, hendak menyodorkan bukti terhadap semangat keterbukaan dan kosmpolit yang dimiliki, serta kontak-kontak kebudayaan yang pernah dibangun di masa lampau Aceh.

3-4. Inskripsi-inskripsi pada batu nisan peninggalan sejarah zaman Sumatra (ke-7 s/d ke-10 H/ ke-13 s/d ke-16 M) di lokasi Gampong Alue Lim, Mukim Mangat Makmu, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe (Teluk Samawi). Inskripsi-inskripsi tersebut meski terlihat tidak bening (sedikit kacau) pada beberapa bagiannya, namun masih dapat dipastikan berbunyi:

لا إله إلا الله في كل يوم هو في شأن

لا إله إلا الله الأمان الأمان 

من زوال الإيمان ومن شر

Terjemahan (3):
Tidak ada Tuhan selain Allah, setiap waktu Dia dalam urusan-Nya.
Tidak ada Tuhan selain Allah, [berikanlah] keamanan (perlindungan), [berikanlah] keamanan (perlindungan), 
dari kehilangan iman, dan dari kejahatan



ومن شر كل أناس يا قديم الإحسان

يا عفو يا غفور وصلى الله

على من لا نبي بعده أبدا


Terjemahan (4):
Dan dari kejahatan setiap insan, wahai Yang Maha Terdahulu Kebaikan-Nya
Wahai Yang Maha Memaafkan lagi Maha Mengampuni, dan salam sejahtera dari Allah
semoga tercurahkan kepada Nabi yang takkan ada nabi setelahnya, untuk selamanya.

Kalimat-kalimat ini adalah di antara wirid yang terkenal di antara para sufi.

5. Bagian kaligrafi yang barangkali dapat mengilustrasikan sesuatu terkait dunia kelautan dan pelayaran: umbul-umbul pada tiang kapal.

6. Bagian kaligrafi dengan hiasan yang seakan-akan ingin menggambarkan bentuk junk.

7. Pola pembentukan daun-daun dalam hiasan flora (zakhrafah nabatiyyah; Arabesque) (Thalib Ahmad Al-'Azzawiy, 2004)

8. Arabesque untuk perbandingan (Thalib Ahmad Al-'Azzawiy, 2004).

9. CISAH di situs peninggalan sejarah Gampong Alue Lim, Kota Lhokseumawe,
Dari sini patut pula dipahami, bahkan seharusnya sudah benar-benar disadari oleh setiap orang yang mengira dirinya bijak bestari, bahwa sejarah sebuah bangsa bukanlah hanya peristiwa-peristiwa dalam sekelompok waktu yang terisolasi dari lainya, tapi merupakan pita panjang, yang meski di sebagian waktu tampak lurus dan di waktu yang lain tampak kusut, di sebagian waktu terlihat tebal dan di waktu yang lain terlihat tipis, tapi ia tetap telah menyimpan berbagai ciri menonjol yang menjadi penanda karakternya.

Pita panjang ini mesti diperiksa dan disimak sampai habis, dan dengan penuh keinsafan, jika ingin membangun sebuah pernyataan, yang di atasnya akan dibangun pula berbagai kebijakan. Lain cara itu tentu hanya diizinkan bagi mereka yang sedang bermain-main di halaman sekolah dasar!

Rujukan:

  1. 'Abdu An-Na'im, Qamus Al-Farisiyyah (Farisiy-'Arabiy), Beirut: Darul Kutub Al-Lubnaniyyah, 1402 (1928).
  2. Aliakbar Dekhoda, Loghatname (Encyclopedic Dictonary), J. 26, Tehran: Tehran University Publication, 1998.
  3. F. Steingass, A Coprehensive Persian-English Dictionary, Cet. V, London: Routledge & Kegan Paul Limited, 1963.
  4. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), https://kbbi.web.id/keras.
  5. Thalib Ahmad Al-'Azzawiy, Mabadi' Az-Zakhrafah An-Nabatiyyah (Tauriq), 2004
  6. Lambaroe, Akhir Sya'ban 1440.

*Bersama kiriman ini semoga tersampaikan pula salam rindu dan hormat kepada sahabat-sahabat di Negeri Pasai, Bandar Sumatra.

**Selamat meyambut Ramadhan yang mulia, semoga Allah Ta'ala senantiasa melimpahkan kita semua rahmat serta keampunan-Nya.

* Penulis adalah penasehat MAPESA, Dikutip dari Group Facebook Mapesa

Posting Komentar

0 Komentar