Di Hari Panas, Senin, 1 Muharram 1090 Hijriah (12 Februari 1679 Masehi)


Situs Makam di gampong Peulanggahan seusai penataan oleh Tim Mapesa.

Sore Ahad kemarin, akhir Jumadil Awal 1441 (26 Januari 2020), Mapesa berkegiatan di satu lokasi dalam rawa-rawa Gampong Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh.  Kegiatan itu sebenarnya sudah direncanakan sejak bulan-bulan penghujung 2019 silam menyusul suatu peninjauan ulang yang dilakukan untuk batu-batu nisan dalam posisi rebah di areal rawa pasang surut itu. Waktu itu, hujan November menambah kesuraman keadaan di sana, dan semakin memperjelas ilustrasi dari sebuah zaman yang telah tutup usia.
Kemarin, meski musim kemarau masih beberapa bulan lagi di muka, namun keadaan di lokasi lumayan kering. Hanya tiga batu nisan dijumpai di permukaan; dua di antaranya adalah pasangan batu nisan untuk kubur seorang tokoh pria, dan satunya lagi adalah untuk kubur seorang wanita.

Kondisi ketiga batu nisan mengalami erosi parah. Batu nisan untuk kubur wanita malah telah patah terbelah dua. Kondisi tersebut menuturkan cerita serupa sebagaimana dituturkan oleh kondisi seluruh peninggalan sejarah yang berada di kawasan itu. Yakni, cerita tentang perubahan geomorfologis yang sudah berlangsung sejak lama; penurunan permukaan bumi di wilayah pesisir; naiknya permukaan laut yang kemudian menerobos dan menggenangkan daratan dengan pasangnya; dan sementara itu dalam waktu yang sama, dari arah berbeda, delta Bandar Aceh Darussalam ini menjadi sasaran di mana sungai-sungai mengendapkan lumpurnya.
Situs Makam di gampong Peulanggahan sebelum penataan.
Ketiga batu nisan itu, sebagaimana lainnya, seakan sedang mengisahkan tentang bagaimana mereka menyeberangi hari-hari dan malam-malam selama berabad-abad dalam riak pasang dan tiupan angin laut yang terbuka di depan mereka, dan yang secara perlahan mencongkel dan mengikis mereka dari waktu ke waktu. Tapi mereka sadar akan pentingnya amanat yang harus mereka bawa dari masa lalu.  Meskipun hari ini, pohon-pohon bakau yang sudah lumayan tinggi telah mengurung lokasi mereka dari terpaan angin, namun mereka, tampaknya, tetap saja akan diperlakukan sebagai para pembawa pesan dan nilai yang tersesat ke daratan dihuni oleh bukan ahli waris orang-orang di masa lampau. Suatu hari, boleh jadi, mereka akan berada di bawah timbunan tanah atau malah limbah dan tumpukan sampah, dan dihardik dengan ucapan, “Kalian salah alamat!”.
Ketiga batu nisan itu, sebagaimana dikatakan tadi, telah mengalami erosi dan pengelupasan. Elemen-elemen sejarah, epigrafi dan kesenian yang diletakkan pada ketiga benda peninggalan sejarah itu secara keseluruhan pupus kecuali pada satu sisi batu nisan sebelah selatan (kaki) dari kubur pria. Elemen-elemen tersebut terselamatkan di sisi ini. Penurunan nilainya relatif lebih kecil dibanding seluruh sisi lain yang mengalami penurunan nilai hampir total. Pengecualian ini secara langsung memberitahukan bagaimana bagian atau sisi ini terdeposit ke dalam tanah yang mengekalkannya sampai dengan hari ini. Ini suatu hal yang patut disyukuri.

Di sisi yang selamat itu tampak epigrafi dengan khath tsuluts bermutu tinggi, serta dekorasi yang masih utuh dan mampu menampilkan gaya zamannya. Sementara dari segi sejarah, ia akan memberitahukan hal-hal penting lewat bunyi inskripsinya sebagai berikut:
... غفر الله
الا (؟) ... من ا/ ل (؟)
له له (الذنب؟) ولو[ا]
لديه أمين
وكان موتـ[ـه]
يوم الإثنين
وقت الإبر[اد]
والحادي
من شهر محرم
تسعين بعد
ألف من الهجرة النبوية و
الدار النبوية (؟)
 Terjemahan:
… Semoga Allah Mengampunkan
……. (?)
… baginya (dosa?) dan bagi kedua orang tuanya. Amin.
dan adalah kematiannya
pada hari Senin, pada waktu Ibrad
dan pertama
dari bulan Muharram
[tahun] sembilan puluh
setelah 1000 dari hijrah Nabi
dan Madinah Nabi.
Inskripsi pada setiap sisi nisan kaki (selatan) di situs gampung Peulanggahan.
 Komentar:
1. Meski dapat saja diyakini bahwa batu nisan ini pastilah memuat catatan mengenai nama Almarhum yang dikuburkan, namun, sayang, kondisi batu nisan tidak membuat kita seberuntung itu. Di bagian puncak batu nisan sebelah kaki, di mana diperkirakan terdapat catatan tentang nama, cuma tersisa bagian-bagian huruf yang hanya menghasil bacaan sangat spekulatif, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan keakuratannya.
2. Bagian paling atas dari sisi terselamatkan ini adalah kalimat doa untuk Almarhum yang dikuburkan, tapi tidak seluruhnya berhasil terbaca. Bacaan yang dapat dimengerti ialah semoga Allah Mengampunkan… baginya (mungkin juga, dosa-dosanya) dan bagi kedua orang tuanya. Amin.

3. Kalimat berikutnya adalah “jumlah Kana” (kalimat diawali oleh “Kana”), yang di-‘athaf-kan kepada “jumlah” (kalimat) sebelumnya. Redaksi epigrafis menggunakan “jumlah Kana” pada batu-batu nisan kubur di Aceh, jika ini bukan satu-satunya kasus yang baru ditemukan—lantaran saya belum dapat melakukan pemeriksaan ulang—tapi setidaknya adalah sesuatu yang langka. “Kana wa Akhawatuha” dalam Nahwu disebut dengan “nawasikh”, yakni kata kerja [naqish; tidak sempurna] yang merubah keadaan kalimat di depannya baik dari sisi i’rab maupun makna. Kalimat:
كان موته يوم الإثنين ...
(adalah kematiannya pada hari Senin…), dengan demikian, memberikan makna selang waktu antara hari meninggalnya Almarhum dengan hari pembuatan batu nisan untuk kuburnya.
4. Inskripsi ini memberikan detail waktu meninggal Almarhum, yaitu pada hari Senin, waktu Ibrad, 1 Muharram 1090 Hijriah. Jika dikonversikan ke penanggalan masehi maka hari itu bertanggal 12 Februari 1679.

5. Inskripsi menyebutkan bahwa Almarhum meninggal pada:
وقت الإبراد
Penyebutan waktu tersebut, sejauh ini, adalah yang pertama ditemukan pada batu-batu nisan peninggalan sejarah Aceh. “Ibrad” secara harfiah: mendinginkan, dari asal kata “bard” (dingin). Dalam istilah fiqh, “Ibrad” adalah menangguhkan atau mengakhirkan shalat Zhuhur di hari yang sangat panas sampai dengan waktu matahari sudah lebih condong ke barat dan menghasilkan bayang yang memanjang ke timur, di mana suhu udara sudah agak mendingin (diakhirkan sampai seukuran apabila shalat Zhuhur dilaksanakan, maka antara waktu selesai shalat dengan akhir waktu Zhuhur masih terpisah suatu jangka waktu). Hukum “Ibrad” adalah sunat, dan ada pendapat yang mengatakan “rukhsah” (keringanan), tapi yang kuat adalah sunat, dengan syarat: shalat dilaksanakan berjama’ah di masjid; dalam keadaan cuaca sangat panas; di negeri beriklim panas; dan ada orang-orang yang selalu datang dari tempat jauh, tapi dalam hal yang terakhir ini, ada pendapat lain dalam Al-Buwaithiy yang mengatakan orang jauh dan orang dekat dalam masalah ini sama saja (lebih lanjut, lihat antara lain: Al-Bayan fi Mazhab Al-Imam Asy-Syafi’iy, Syarh Al-Muhadzdzab, oleh Abul Husain Yahya ibn Abil Khair bin Salim Al-‘Imraniy Asy-Syafi’iy Al-Yamaniy, wafat 558 H; j. 2, h. 38-40). Perkara sunat ini berdasarkan kepada hadits Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallam:
إِذَا اشْتَدَّ الحَرُّ فَأَبْرِدُوا بالصَّلاَةِ ، فَإِنَّ شِدَّةَ الحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ
“Apabila [hari] sangat panas, maka tangguhkanlah shalat [Zhuhur sampai dengan suhu udara menjadi agak dingin], sebab sangat panas itu berasal dari gejolak neraka jahannam.” (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim)

Informasi waktu Ibrad ini memberitahukan beberapa hal: temperatur udara di Bandar Aceh Darussalam pada siang hari tanggal 1 Muharram 1090 Hijriah (12 Februari 1679) sangat panas sehingga orang-orang melakukan sunat Ibrad; Almarhum meninggal dunia pada saat shalat Zhuhur hari itu diakhirkan ke penghujung waktu Zhuhur, yakni saat bayang benda sudah lebih melebar dan cuaca sudah agak lebih dingin; Almarhum tampaknya adalah seorang yang konsisten menunaikan shalat berjama’ah.
6. Pada bagian akhir inskripsi yang selamat ini juga ditemukan kalimat—yang seingat saya—belum pernah dijumpai pada batu nisan lain. Setelah penyebutan tahun:
تسعين بعد ألف من الهجرة النبوية
“90 setelah 1000 (yakni: 1090) dari hijrah Nabi”, kalimat ini lalu disambung dengan:
والدار النبوية
“Jumlah” (susunan kata) yang terdiri dari “na’at” (sifat: an-nabawiyyah) dan “man’ut” (yang disifatkan: ad-dar) ini disambungkan (di-‘athaf) dengan “waw al-‘athf” kepada “al-hijrah an-nabawiyyah” sebelumnya. Ini suatu hal yang sama sekali tidak lazim dalam penyebutan penanggalan hijriah. Kata “ad-dar” dimengerti dengan makna rumah atau negeri, dan merupakan kata “mu’annats ma’nawiy” (yakni: kata yang tidak memiliki tanda mu’annats). Kedua makna tersebut, rumah atau negeri, akan sukar dipahami apabila dihubungkan dengan penanggalan: 1090 dari atau sejak rumah atau negeri Nabi. Apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan penambahan kalimat ini? Untuk menjawabnya, kita pergi memeriksa kembali makna kata “dar”, dan lantas menemukan pengarang Al-Qamus Al-Muhith, Majduddin Al-Fairuzu-abadiy (wafat 817 H.) menuliskan di antara maknanya adalah:
مدينة النبي صلى الله عليه وسلم
“Madinah Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallam”. Ia juga mendaftarkan “ad-dar” sebagai salah satu nama Madinah Al-Munawwarah dalam Al-Maghanim Al-Mathabah karyanya. Berikutnya, As-Samhudiy, yang lahir pada 844 Hijriah dan wafat pada 911 Hijriah, dalam karya besarnya Wafa’ul Wafa telah mendaftarkan “Ad-Dar” pada urutan ke-28 sebagai nama Madinah Al-Munawwarah, dan menulis: “[Nama] Ad-Dar ini berdasarkan firman Allah Ta’ala
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ
“Dan orang-orang yang telah menempati Ad-Dar (kota Madinah) dan telah beriman ...” (Al-Hasyr: 9).
(Lebih lanjut, lihat, Wafa’ul Wafa bi Akhbar Dar Al-Mushthafa, oleh Nuruddin ‘Ali bin Ahmad As-Samhudiy, hal. 14 dan lainnya)
Dengan demikian, kalimat penanggalan sebagaimana bunyi inskripsi:
...تسعين بعد ألف من الهجرة النبوية والدار النبوية
Bermakna: 1090 sejak hijrah Nabi dan [munculnya] Kota Madinah Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallam.
Pengaitan Madinah Al-Munawwarah dengan penanggalan hijriah di sini tampaknya juga  karena ingin mensinyalir kenyataan sejarah yang disebutkan oleh Ath-Thabariy dalam Tarikhnya bahwa Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallam telah menyuruh menggunakan penanggalan hijriah setelah kedatangan beliau ke Yatsrib, yang sejak itu berubah nama menjadi Madinah Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallam, dan penanggalan itu telah diterapkan sejak dalam tahun pertama hijrah. (Lebih lanjut, lihat: Tarikh Ar-Rusul wal Muluk oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabariy, j. 2, h. 110-114). Yakni, penanggalan hijrah telah dimulai sejak hijrah Nabi, dan Madinah Nabi ada.
7. Sesuatu yang ingin ditunjukkan sekaligus disimpulkan dari komentar 3, 5 dan 6 di atas secara khusus bahwa kalimat inskripsi tersebut sesungguhnya bersumber dari kepustakaan Islam yang membentuk intelektualitas masyarakat pada waktu itu. Kepustakaan yang melatarbelakangi lahirnya benda-benda budaya warisan sejarah itu tampaknya begitu besar. Sehingga setiap kali berhadapan dengan warisan tersebut, “kita” seperti terisap oleh suatu arus yang membawa “kita” ke tengah sebuah pusat peradaban Islam di masa lampau yang tak ubahnya kota-kota pusat peradaban Islam lain semisal Haramain, Baghdad, Damaskus, Kairo, Andalusia, Syiraz, Istanbul dan lainnya. Dan, pada saat kita berbalik meninggalkan warisan itu dan kembali berhadapan dengan kenyataan kita hari ini, rasanya, kita seperti sedang terjatuh dari atas ke sebuah kumbangan di mana hal-hal yang tidak berarti dan tidak bermakna berkumpul.


Penanggalan pada batu nisan ini menerangkan masa di mana Aceh, yang kita tahu untuk sementara ini, berada dalam pemerintahan Almarhumah Sri Paduka Sultanah 'Inayat Syah Zakiyyatuddin, dan kira-kira setahun setelah meninggalnya Sri Paduka Sulthanah Nurul 'Alam Naqiyyatuddin.
9. Epigrafi pada batu-batu nisan Aceh dari abad ke-11 Hijriah (ke-17 Masehi), sampai sejauh ini, adalah sesuatu yang sangat langka ditemukan. Inskripsi batu nisan yang kita bicarakan ini telah menyumbang informasi yang signifikan mengenai suatu perkembangan kebudayaan dan kesenian dalam masa pemerintahan Almarhumah Sri Paduka Sulthanah 'Inayat Syah yang kiranya baru saja menaiki tahta kesultanan menggantikan Almarhumah Sri Paduka Sulthanah Nurul 'Alam. .

Aneuk Galoeng, 2 Jumadil Akhir 1441.





Posting Komentar

0 Komentar