Tim Mapesa, Cisah dan Masyarakat seusai Pembersihan dan Penataan Kompleks Makam MPK 01 Pante Keutapang, Lamno, Aceh Jaya |
Kegiatan Mapesa di Negeri Daya, Ahad lalu, 17 Jumadil Akhir 1439 (4 Maret 2018), tentu bukan yang pertama kali. Daratan permai yang terletak di barat daya Aceh Rayek itu memang telah beberapa kali menjadi tujuan perjalanan Mapesa dan Cisah. Perjalanan yang tentunya pula bukan untuk rekreasi. Hanya saja, Negeri Daya dengan kemurahan hatinya telah menyuguhkan keindahan yang tidak dapat ditolak, mau tidak mau setiap orang mesti menikmatinya.
Terakhir
kali Mapesa di sana pada 2017 adalah untuk memastikan keletakan Bandar Daya,
zona yang pada masa lampau pasti telah diisi oleh kehidupan yang sibuk.
Perjalanan sebelum itu lagi, yakni dalam musim kemarau 2015, telah menghasilkan
informasi-informasi baru menyangkut sejarah negeri yang memiliki teluk nan
indah ini; beberapa kompleks pemakaman di Gle Jong yang tidak diketahui
sebelumnya telah ditemukan dan dilakukan penataan. Bahkan pada musim hujan
2012, Cisah dan Mapesa telah selesai mendokumentasikan seluruh batu nisan di
pemakaman kesultanan Daya (kompleks Jirat Poteuh Meurhoem Daya), di Gampong Gle
Jong, Mukim Kuala Daya, Kecamatan Jaya, serta satu pemakaman yang berlokasi di
Mukim Kuala Unga, Kecamatan Indra Jaya.
Suatu
hal yang membedakan perjalanan Ahad lalu dengan perjalanan-perjalanan
sebelumnya ke Negeri Daya adalah karena baru untuk kali ini, perjalanan ke Daya
dilakukan untuk merunut informasi yang sudah berusia 100 tahun lebih. Niat
untuk melakukan penyelidikan secara menyeluruh terhadap peninggalan sejarah di
Negeri Daya yang ditekadkan sudah sejak 2012, baru-baru ini diketahui, ternyata
telah didahului oleh J. J. de Vink dari pihak pemerintah kolonial Belanda pada
penghujung dekade kedua abad silam. Manakala pemerintah di Aceh sampai hari ini
belum pun menyadari - bahkan terkesan masih sangat meremehkan - kepentingan
penyelidikan tersebut, Belanda sudah selesai melakukan apa yang seharusnya
dilakukan sejak 100 tahun yang lalu - barangkali ini juga dapat menjadi salah
satu barometer untuk mengukur jarak ketertinggalan dan keterbelakangan;
barometer bagi kita masyarakat, tentunya, sedangkan bagi Pemerintah, tampaknya,
ini tidak akan punya arti apapun!
Terkait
peninggalan sejarah Negeri Daya, suatu hal lagi yang membuat rasa
ketertinggalan lebih menghujam adalah karena selain J. J. de Vink bukan seorang
Muslim, juga sudah tentu bukan orang Aceh, dan tidak punya hubungan emosinal
dalam bentuk apapun dengan peninggalan sejarah yang mana ia telah menumpahkan
seluruh perhatian dan usahanya, selain itu semua, ia juga telah memberikan
informasi-informasi yang tidak seorang pun memilikinya sampai hari ini. Apabila
untuk informasi-informasi yang dilaporkan J. J. de Vink menyangkut peninggalan
sejarah di wilayah pesisir utara Aceh, kita bisa dengan berani dan yakin
mengatakan bahwa informasi-informasi tersebut, sekalipun demikian banyaknya,
telah tertinggal jauh dengan apa yang kita miliki dari hasil kerja 10 tahun
terakhir, namun untuk informasi-informasi yang menyangkut Negeri Daya, kita
terpaksa mengakui dalam waktu ini bahwa kita belum memiliki apa yang dimiliki J.
J. de Vink [dan Belanda] seratus tahun yang silam.
Hasil
kerja J. J. de Vink seharusnya ditindaklanjuti oleh "pemilik peninggalan
sejarah" dalam masa-masa yang memungkinkan di sepanjang paruh kedua abad
ke-20 Masehi, atau paling tidak, dalam suasana yang telah lebih memungkinkan
setelah 2005, tapi itu tidak pernah terjadi. Kemudian, diketahui bahwa dua
peneliti berkebangsaan Prancis ternyata telah menaruh minat yang tinggi
terhadap Inskripsi Aceh serta berupaya untuk merunut informasi-informasi J. J.
de Vink; satunya adalah Claude Guillot dari Pusat Penelitian Ilmiah Nasional
(CNRS), Paris, (sekarang, pensiunan), dan satunya lagi adalah Ludvik Kalus dari
Universitas Paris-Sorbonne (Paris IV), seorang epigraf terkemuka - lagi-lagi
bukan dari pihak "pemilik peninggalan sejarah".
Untuk
Negeri Daya, Claude Guillot dan Ludvik Kalus telah bekerja sejak 2002 sampai
2008, dan menghasilkan "La principauté de Daya, mi-XVe-mi-XVIe siècle
[Épigraphie islamique d’Aceh 6]" (Kerajaan Daya Pertengahan abad ke-15 -
ke-16 [Epigrafi Islam di Aceh 6]), yang diterbitkan dalam Jurnal Archipel
(Kepulauan) 85, di Paris, tahun 2013.
Di
dalam hati, rasa ketertinggalan terang saja tidak dapat dihindari, namun
sesungguhnya bukan saja karena ingin mengurangi rasa ketertinggalan itu Mapesa
berangkat pagi Ahad lalu ke Negeri Daya. Keberangkatan tersebut justru lebih
didalangi oleh rasa ingin tahu dan rindu untuk menjamah peninggalan sejarah
yang baru saja diketahui keberadaannya, baik dari laporan J. J. de Vink di
tahun 1917 maupun dari artikel Claude Guillot dan Ludvik Kalus di tahun 2013.
Enam
belas personil Mapesa berangkat mengenderai sepeda motor dari Banda Aceh menuju
Lamno, Aceh Jaya, dengan menempuh perjalanan sekitar 2 jam; sebuah perjalanan
darat yang pada 1917, J. J. de Vink dan pasukannya membutuhkan waktu selama 2
hari berjalan kaki dari Kuta Raja ke bekas Kerajaan Daya itu.
Tim
Mapesa dipimpin langsung oleh Ketua Mapesa, Mizuar Mahdi, dan juga dipandu
langsung oleh Sekretaris Mapesa, Yusri, oleh karena pengetahuannya yang luas
tentang kawasan Lamno. Lain dari keduanya, Tim juga terdiri dari: Muhajir Abdurrahman, Hasan Basri, Afrizal Hidayat, Rahmat Akbar, Masykur Syafruddin, M.Iqbal Gaznur, Rifky Amrullah, Fikri, Jamaluddin, Abdul Hamid (Ketua Cisah),
Mawardi Ismail (Sekretaris Cisah), Muhammad Ilyas (Cisah), Ramlan Yunus
(Asisten Peneliti dari Cisah), dan saya sendiri.
Karena
kunjungan itu direncanakan hanya sehari, maka target peninjauan telah dibatasi
pada tiga lokasi dalam daftar laporan J. J. de Vink pada 1917 dan telah pula
ditinjau oleh Guillot & Kalus pada 2006, yaitu: makam Tuan Pakeh, makam Ba
Sapih dan makam Teungku Gle Meurah.
Sampai
di Peukan Lamno, situasi tampak sangat sibuk dan ramai. Ternyata sedang
"uroe peukan". Di sana, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menakdirkan
kami untuk berjumpa dengan sahabat Mapesa yang baik hati, Teungku Aqsa Muliadi.
Ia adalah orang yang paling berjasa dalam penemuan beberapa kompleks makam di
Gle Jong dalam kegiatan Mapesa di Negeri Daya pada 2015. Sekarang, Teungku Aqsa
menjabat sebagai Geuchik Gle Jong, Kecamatan Jaya. Dalam perjumpaan yang memang
sangat diharapkan itu, Teungku Aqsa menyatakan akan bersedia untuk menunjukkan
kompleks-kompleks makam yang akan dikunjungi Mapesa setelah sebuah kegiatan
yang tidak mungkin ditinggalkan di gampoengnya selesai. Kami sangat bersyukur
untuk itu.
Mengenai
lokasi pertama yang akan dikunjungi, yakni makam Tuan Pakeh, baik J. J. de Vink
maupun Guillot & Kalus sama-sama mengalamatkan makam ini di Gampong Lamno,
Meunasah Tuha, Mukim Lamno. Adalah suatu hal yang membingungkan untuk mencari
alamat demikian di Lamno hari ini sebab tidak ada gampong yang bernama Lamno.
Pemandu Tim segera melacak informasi dengan menggunakan kata kunci: Jirat Tuan
Pakeh. Ternyata berhasil. Arah panah langsung menunjuk ke Gampong Pante
Keutapang yang terletak sebelum Gampong Bak Paoh dari arah Peukan Lamno. Lokasi
yang dicari itu kemudian diketahui ternyata tidak jauh dari Peukan Lamno; jika
seseorang berdiri di Peukan Lamno dan melihat kubah masjid terdekat, maka di sekitar
itulah tempatnya. Meunasah Tuha yang disebutkan dalam laporan J. J. de Vink
ternyata juga berada dalam Gampong Pante Keutapang. Beberapa anggota Tim telah
memeriksa sampai ke Meunasah Tuha tersebut.
Di
Gampong Pante Keutapang, Tim menjumpai Geuchik Sulaiman di kediamannya untuk
menjelaskan maksud kedatangan sekaligus minta izin. Sebuah foto kompleks makam
yang terdapat dalam artikel Guillot & Kalus ikut ditunjukkan kepadanya. Pak
Geuchik ternyata amat tertarik dengan foto tersebut sekaligus penasaran dengan
tempat yang gambarnya ternyata telah tertempel dalam artikel berbahasa Prancis.
Ia segera memutuskan untuk terlibat dalam kerja Tim, dan langsung memimpin
penyelidikan.
Kami
lantas menuju ke tempat yang sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat Lamno
sebagai makam Tuan Pakeh. Sebelum sampai ke tempat dituju, kami melewati satu
kompleks makam kecil dengan batu-batu nisan tipe Aceh Darussalam yang
sebagiannya sudah terbenam dan sebagian yang lain telah patah. Tiba di tempat
yang dimaksud, tampak ada beberapa gundukan yang letaknya berdamping-dampingan.
Hampir semunya ditutupi semak-semak. Batu nisan dari batu kali yang lonjong dan
berukuran relatif besar dijumpai di sana sini di atas gundukan-gundukan itu.
Sepasang batu nisan tipe Aceh Darussalam juga ditemukan di salah satu gundukan.
Namun setelah berapa lama, disadari ternyata tidak ada satu pun pemandangan di
sana yang identik dengan gambar kompleks makam dalam artikel. Kenyataan itu
mulai merangsang sedikit kepanikan. Banyak warga gampong, pria dan wanita, yang
kemudian ikut terlibat dalam pencarian. Suasana menjadi lebih ramai. Seorang
nenek tergerak - mungkin karena kasihan - untuk keluar dari pintu belakang
rumahnya dan mencoba meyakinkan bahwa makam Tuan Pakeh adalah kubur dengan batu
nisan dari batu kali yang ada di salah satu gundukan itu. Pak Geuchik
menjelaskan kepada sang nenek bahwa batu-batu nisan yang sedang dicari adalah
batu-batu nisan berukir.
Setelah
lumayan lama "menjajah-jajah" sambil menyibak semak-semak di lokasi
tersebut dan yang dirindukan ternyata belum juga tampak batang hidungnya,
akhirnya, atas saran Ibu Siti Hajar, kami harus memeriksa sebuah lokasi lain
yang berjarak kurang dari seratus meter di baratnya. Ibu Siti Hajar telah
mengamati dengan saksama gambar kompleks makam yang dimuat dalam artikel, dan
kemudian memimpin kami ke sebuah lokasi yang di sana pada awalnya tidak tampak
apapun selain semak-semak serta sebuah tumpukan besar dahan dan daun pohon
mangga yang telah kering. Andai kata Pak Geucik, anggota Tim serta beberapa
warga tidak segera menyibak dan memindahkan dahan-dahan kering itu, mungkin,
saya belum bisa bernafas lega. Tapi kerja cepat mereka segera menemukan barisan
batu nisan yang tertutup di bawah dahan-dahan pohon mangga yang dipangkas
beberapa waktu lalu. Di situlah rupanya kompleks makam yang dicari berada.
Alhamduli-Llah. Untuk memudahkan pendeskripsian, kompleks makam ini akan
dilabel dengan MPK 01 (Makam Pante Keutapang Nomor: 01).
Tidak
hanya itu, di sebelah utara, pada arah setentang kompleks MPK 01 dan dalam
jarak yang berdekatan juga ditemukan sebuah kompleks lainnya, yang hari ini
sudah tidak tampak berada di atas gundukan. Kompleks ini diberi label MPK 02.
Pada saat ditemukan, batu-batu nisan di kompleks MPK 02 hampir seluruhnya
ditutupi oleh tumbuhan merambat dan semak-semak. Sampah juga tampak menebal di
kompleks tersebut; mungkin, telah difungsikan sebagai tempat pembuangan.
Ibu
Siti Hajar, alumni 2012 FKIP Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh, dan salah
seorang warga asli Gampong Pante Keutapang, menerangkan bahwa makam Tuan Pakeh
yang diketahui oleh masyarakat secara turun temurun itu berada di lokasi yang
pertama sekali dikunjungi, sedangkan kompleks makam di sebelah baratnya ini
(MPK 01) tidak memiliki nama atau sebutan. Begitu pula dengan kompleks makam
satunya lagi (MPK 02) yang berdekatan dengan kompleks makam ini. Hanya saja,
kata Ibu Siti Hajar, tidak berapa jauh dari kedua kompleks makam ini ke arah
barat, ada satu kubur yang disebut dengan Kubur Wanhani. Saat ditanyai tentang
siapa Wanhani itu, wanita yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan bersejarah
ini menjawab bahwa dalam cerita rakyat Lamno, Wanhani itu adalah salah seorang
kawan Poteuh Meurhoem Daya, yang memiliki kelebihan (kesaktian). Ia termasuk
salah seorang dalam rombongan kawan Poteuh Meurhoem yang diutus untuk melakukan
peninjauan ke kawasan Daya sebelum Poteuh Meurhoem datang ke Daya.
"Saya
telah menulis itu semua dalam skripsi saya," jelas Ibu Siti Hajar yang
sekarang berprofesi sebagai guru di Lamno.
Ibu
Siti Hajar telah menyusun sebuah skripsi berjudul Unsur-unsur Intristik Cerita
Rakyat Poteumeureuhoem dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dari
FKIP Serambi Mekkah pada 2012. Salah satu nilai penting dari karya ilmiah Ibu
Siti Hajar ini adalah karena penulis telah memuat hasil wawancaranya dengan
seorang tokoh tua Lamno bergelar Panglima Poteumereuhoem. Ia baru saja
meninggal dunia kira-kira sebulan yang lalu. Skripsi itu, atas seizin Ibu Siti
Hajar, telah dibuat duplikatnya oleh Tim untuk menjadi bahan-bahan dasar bagi
penyelidikan selanjutnya.
Mengenai
batu-batu nisan yang berada di lingkungan gampongnya, Ibu Siti Hajar mengaku
bahwa selama ini masyarakat terlanjur menganggap batu-batu nisan itu punya
orang Belanda, sehingga tidak dipedulikan bahkan banyak di antaranya yang sudah
diambil untuk dijadikan batu asah. Tim Mapesa memang menyaksikan hal yang
memprihatinkan ini, dan menjadikannya sebagai bukti tambahan dari tidak
bekerjanya lembaga-lembaga pemerintahan yang berwenang dalam bidang kebudayaan
dan kepurbakalaan.
Beberapa
jam kemudian kedua kompleks makam (MPK 01 & 02) telah selesai dibersihkan
dan ditata seperlunya secara bersama-sama (meuseuraya) oleh warga Gampong Pante
Keutapang dan Tim Mapesa. Secara umum, batu-batu nisan di kedua kompleks
berdekatan ini memiliki ukuran besar yang menonjol. Semuanya tipe-tipe batu
nisan yang lumrah ditemukan di Aceh Rayek. Tipe yang berasal dari abad ke-10
Hijriah (ke-16 M) tampak lebih mendominasi.
Secara
umum juga dapat dikatakan bahwa batu-batu nisan di kedua pemakaman ini dengan
terang mengesankan keutamaan serta kedudukan terhormat yang dimiliki oleh
keluarga para pemilik makam. Kesan ini semakin diperkuat oleh penemuan sejumlah
konstruksi rumah tradisional Aceh yang terbilang mewah dan memiliki nilai seni
tinggi. Rumah-rumah tersebut setidaknya menunjukkan strata kehidupan sosial
yang tinggi pada masa lalu. Nenek Rohama yang kini telah berusia 74 tahun
mengaku bahwa "Rumoh Tuha" (rumah tua) milik keluarganya, menurut
cerita orang tuanya, telah ada sejak masa neneknya. Dari sini dapat saja
diyakini bahwa Gampong Pante Keutapang - dan barangkali juga sekitarnya -
merupakan sebuah lingkungan elite di Lamno pada masa yang lampau. Tim Mapesa
belum sempat melacak apakah Uleebalang Teuku Doerahman yang disebutkan J. J. de
Vink dalam Laporan 1917-nya juga bermukim di gampong ini?!
Sepasang
batu nisan yang berada di kompleks MPK 01 layak mendulang perhatian yang lebih
dari lainnya oleh karena dekorasinya yang menawan dan terhitung langka.
Dekorasi pada bidang tengah sepasang batu nisan itu (1 batu nisan = 4 sisi)
telah mengambil bentuk lingkaran yang didalamnya terisi kaligrafi membunyikan
kalimat Tauhid, serta 4 kelopak bunga sebagai intinya (di titik tengah
lingkaran).
Sayangnya,
di kedua kompleks ini, MPK 01 dan 02, tidak ditemukan apapun epitaf. Dengan
memperhatikan ukuran dan bentuk nisan yang terbilang istimewa, ketiadaan apapun
informasi terkait nama dan penanggalan wafat di kedua kompleks ini merupakan
suatu hal yang jauh dari harapan.
Sepasang
batu nisan lain yang telah didaftarkan oleh J. J. de Vink ke dalam kompleks
makam Tuan Pakeh, kini, menjadi pertanyaan. Sepasang batu nisan itu tidak
ditemukan di kedua kompleks tersebut. Guillot & Kalus pernah mencari
sepasang batu nisan itu pada 2006, tapi mereka tidak berhasil menemukannya.
Dari foto hasil pemotretan J. J. de Vink pada 1917, mereka membaca satu nama
sultan pada batu nisan tersebut. Sepasang batu nisan ini, dengan demikian,
jelas sangat penting.
Tim
Mapesa, terutama Ananda Masykur Syarifuddin, ternyata telah menemukan sepasang
batu nisan yang dimaksud itu di lokasi yang agak sedikit jauh dari letak
kompleks MPK 01 dan 02. Sepasang batu nisan itu dan batu-batu nisan lain berada
di satu kompleks makam yang terletak di sudut timur laut pekarangan Madrasah
Ibtidaiyah Negeri I Lamno. Kompleks makam ini masih berada dalam batas wilayah
Gampong Pante Keutapang, dan dengan demikian akan dilabel dengan MPK 03.
Kami
menemukan batu nisan sebelah kaki (selatan) dari sepasang batu nisan yang
dimaksud itu identik dengan gambar yang diterbitkan oleh Guillot & Kalus
pada 2013 dari hasil pemotretan J. J. de Vink pada 1917. Guillot & Kalus
dalam terbitan 2013 mereka mengklaim menemukan nama Sultan 'Alauddin Ri'ayat
Syah pada batu nisan tersebut. Klaim tersebut dapat saja dimaklumi, dan kita
juga telah melihat apa yang dilihat oleh mereka, tapi dalam hemat kami,
kaligrafi pada batu nisan tersebut mengambil model kaligrafi yang sampai dengan
hari ini masih perlu dilakukan pengkajian terhadap prinsip-prinsip estetikanya.
Menurut kami, inkripsi yang mengambil model kaligrafi semisal pada batu nisan
tersebut belum layak untuk dijadikan sebagai sumber data sejarah. Kami masih
lebih cenderung untuk menggolongkannya kepada pseudo-inskripsi daripada
inskripsi yang sesungguhnya - sebuah contoh nantinya akan diajukan. Sekalipun
biasanya beberapa kata atau kalimat Tauhid dengan model kaligrafi ini memang
dapat dibaca dengan jelas, tapi sejauh ini bisa dinyatakan secara meyakinkan
bahwa seluruh inskripsi yang ditemukan dengan kaligrafi model ini tidak pernah
dapat terbaca dengan lengkap. Ia sesungguhnya bukan tulisan atau kaligrafi yang
jelek dari seseorang yang kurang menguasai kaligrafi, tapi ia adalah model dari
sebuah aliran seni yang bagi kita sampai saat ini masih misterius. Kaligrafi
itu memang menggoda kita untuk membaca. Ia memberikan beberapa kata atau bahkan
kalimat dalam bentuk yang jelas dan terbaca, tapi dalam waktu yang sama ia juga
memperlihatkan bentuk-bentuk yang sangat sukar untuk dikenali dan seperti
terkunci. Andaipun kita nekat untuk membaca bentuk-bentuk tersebut dengan
sedikit berimajinasi, tetap saja pada ujungnya, bacaan tersebut tidak akan
pernah lengkap dan amat sulit untuk dipertanggunjawabkan. Walhasil, batu nisan
ini dengan sangat disayangkan tidak dapat memberikan informasi menyangkut tokoh
dan penanggalan wafat seperti yang diharapkan.
Lewat
waktu Zhuhur, Tim Mapesa telah menyelesaikan kerjanya di Gampong Pante Keutapang.
Data-data terkait denah, jumlah makam dan batu nisan, batas-batas lokasi setiap
kompleks dan status tanah telah dibuat dan dirangkum oleh Ananda Masykur
Syarifuddin. Perekaman visual baik foto maupun video juga sudah selesai
dilakukan setakat yang memungkinkan, dan untuk selanjutnya Tim mulai bergerak
meninggalkan Gampong Pante Keutapang dengan penuh rasa syukur kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala, dan terima kasih yang dalam kepada Pak Geuchik serta
seluruh warga masyarakat yang sangat baik hati. Beberapa bingkisan berupa hasil
kreasi seni rupa pada masa lampau yang dihadiahi oleh warga Gampong Keutapang
kepada Tim Mapesa juga telah ikut dibawa pulang untuk ditempatkan di
Sekretariat Mapesa di Banda Aceh.
Gampong
Pante Keutapang (Meunasah Tuha Lamno) dan Peukan Lamno, pada kenyataannya,
terletak tidak jauh dari aliran sungai utama Lamno atau Krueng Lambeuso; sebuah
alur air dari persawahan yang berada di utara gampong langsung menghubungkannya
ke aliran sungai. Akan tetapi, aliran sungai tersebut, kini dan mungkin sudah
sejak lama, sudah tidak aktif lagi oleh sebab pelurusan aliran sungai di
kawasan tersebut. Dengan menyusuri jalan di sebelah kanan sungai itu, kita akan
sampai ke Babah Dua. Di situ, memang akan ditemukan "babah dua",
yakni dua mulut sungai yang mengarah ke laut; satunya ke Kuala Krueng Lambeuso
yang merupakan muara dari sungai utama, dan lainnya ke Kuala Daya yang
merupakan cabang dari sungai utama. Cabang sungai yang mengarah ke Kuala Daya (Krueng
Daya) dengan demikian telah memisahkan kawasan Peukan Lamno (Lamno Tuha) dari
kawasan Daya (kawasan inti Negeri Daya). Namun muara Krueng Daya, hari ini,
telah tertutup oleh pasir pantai.
Bersambung : Makam Raja Indra Dewi Tun Sri Pangkat
Catatan:
1.
Laporan J. J. de Vink 1917 dapat ditemukan pada link ini:
https://ia800601.us.archive.org/5/items/in.gov.ignca.37040/37040.pdf
2.
Artikel Ludvik Kalus dan Claude Guillot 2013 dapat ditemukan pada link ini:
http://www.persee.fr/doc/arch_0044-8613_2013_num_85_1_4393?q=Daya
Dikutip dari group Mapesa.
![]() |
Pemandangan teluk Negeri Daya dilihat dari Gle Jong di mana kompleks makam kesultanan Negeri Daya berada |
![]() |
Pantai kuala Daya dari Gle Jong. Muara sungai tampak telah tertutup oleh pasir pantai. |
![]() |
Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 Lamno di mana kompleks MPK 03 ditemukan. |
![]() |
Jalan menuju ke kompleks MPK 03 dalam pekarangan MIN 1 Lamno. |
![]() |
Batu nisan yang dipotret oleh J. J. de Vink pada 1917, dan pernah dicari kembali oleh dua peneliti Prancis pada 2006, tapi mereka gagal menemukannya. |
![]() |
Batu-batu nisan bertipe abad ke-10 Hijriah (ke-16 Masehi) Aceh Darussalam di kompleks MPK 03 |
![]() |
Kompleks MPK 03 |
![]() |
kompleks MPK 01 |
![]() |
Dekorasi pada bagian puncak salah satu batu nisan di kompleks MPK 02 |
![]() |
MPK 01. |
![]() |
Proses pembersihan di Kpmpleks Makam MPK 01. |
![]() |
kompleks MPK 01 |
![]() |
Ibu Siti Hajar, warga Gampong Pante Keutapang, Lamno, yang menjadi salah seorang informan Tim Mapesa, bersama suaminya, Bapak Ismail |
0 Komentar