Perpustakaan
adalah tempat paling hidup, dan bahkan paling abadi sampai dengan Allah Ta'ala
mewarisi dunia beserta segala isinya. Ilmu, pikiran, perasaan dan pengalaman
umat manusia dari berbagai belahan dunia berkumpul di sana. Bahkan, sang waktu
dengan "lampau", "sedang" dan "akan"-nya juga
berjumpa di sana dan menyatu. Di sanalah, dengan demikian, satu-satunya tempat
di mana setiap orang dapat dengan leluasa hilir mudik, melintas, menyebrang di
sepanjang rongga zaman.
Bagi
sebuah tempat di mana ilmu pengetahuan telah ditakhtakan, perpustakaan ibarat
ibu yang dalam momongan dan asuhannyalah para pemilik akal telah dibesarkan.
Dialah pula yang bersinar-sinar matanya ketika mereka telah berhasil
mempersembahkan untuknya karya-karya, yang walau bagaimanapun, pasti akan
sangat istimewa baginya. Sebab, dengan karya-karya itulah, ia bernafas dan
bernyawa, dan dengan karya-karya itu pula, ia dapat terus melestarikan serta
menunjang keberlanjutan peradaban umat manusia.
Rabu
kemarin, saya telah dipandu oleh Ananda Masykur Syafruddin dan Ananda KhairulHidayah dalam kunjungan singkat ke Perpustakaan Umum Jami'ah Ar-Raniri, sebab
terus terang saja, itu adalah kunjungan yang pertama sekali ke perpustakaan
Jami'ah. Latar belakang kunjungan sesungguhnya juga didasari oleh hasrat kuat
ingin mendekati Syaikh Nuruddin Ar-Raniri - Rahimahu-LLah. Hasrat itu
sebenarnya sudah lama sekali bermukim di dalam benak, dan sebenarnya juga sudah
beberapa kali dilakukan uji coba, namun pada akhirnya urung dilakukan lantaran
kuatir tidak akan sanggup memikul bebannya yang besar.
Beberapa hari terakhir ini, hasrat tersebut kembali muncul dengan arus yang lebih kuat; ia seperti menyerang dan menduduki seluruh pembuluh dan nadi. Kali ini, saya kira, saya tidak akan pernah berhasil untuk mengelak. Syaikh Nuruddin Ar-Raniriy seakan-akan berdiri di setiap sudut ruang pikiran. Maka, dengan berpasrah diri kepada Yang Maha Tinggi seraya berharap pertolongan dan taufiq-Nya, saya menetapkan hati untuk memenuhi hasrat tersebut walau bagaimanapun konsekuensinya kemudian.
Berkunjung ke Jami'ah yang membawa nama Syaikh Nuruddin Ar-Raniri Rahimahu-Llah, bahkan langsung ke ibu yang mengasuh para pemilik akal yang bernaung di bawah atap Jami'ah, adalah juga dalam rangka memantapkan tekad demi memenuhi hasrat tersebut. Satu harapan besar yang saya bawa dalam kunjungan itu adalah menemukan berbagai karya tulis mengenai Syaikh Nuruddin Ar-Raniri Rahimahu-Llah yang disimpan oleh sang ibu dari Jami'ah yang sudah berumur lebih setengah abad ini, dan merupakan kebanggaan masyarakat Aceh untuk sepanjang masa.
Beberapa hari terakhir ini, hasrat tersebut kembali muncul dengan arus yang lebih kuat; ia seperti menyerang dan menduduki seluruh pembuluh dan nadi. Kali ini, saya kira, saya tidak akan pernah berhasil untuk mengelak. Syaikh Nuruddin Ar-Raniriy seakan-akan berdiri di setiap sudut ruang pikiran. Maka, dengan berpasrah diri kepada Yang Maha Tinggi seraya berharap pertolongan dan taufiq-Nya, saya menetapkan hati untuk memenuhi hasrat tersebut walau bagaimanapun konsekuensinya kemudian.
Berkunjung ke Jami'ah yang membawa nama Syaikh Nuruddin Ar-Raniri Rahimahu-Llah, bahkan langsung ke ibu yang mengasuh para pemilik akal yang bernaung di bawah atap Jami'ah, adalah juga dalam rangka memantapkan tekad demi memenuhi hasrat tersebut. Satu harapan besar yang saya bawa dalam kunjungan itu adalah menemukan berbagai karya tulis mengenai Syaikh Nuruddin Ar-Raniri Rahimahu-Llah yang disimpan oleh sang ibu dari Jami'ah yang sudah berumur lebih setengah abad ini, dan merupakan kebanggaan masyarakat Aceh untuk sepanjang masa.
Angan-angan
indah akan mendapati hal-hal sebagaimana harapan telah memenuhi kepala saya.
Tapi kemudian, dalam tempo yang tidak begitu lama, saya harus menyadari bahwa
tantangan dan ujian adalah hal yang paling lumrah dalam sebuah proses
penyelidikan.
Satu-satunya
literatur yang muncul di layar "Online Public Access Catalog" (OPAC)
perpustakaan setelah melakukan pencarian dengan kata kunci "Nuruddin
Ar-Raniri" adalah buku berjudul "Allah dan Manusia dalam Konsepsi
Syekh Nuruddin Ar-Raniri" oleh Ahmad Daudy. Buku yang diterbitkan pertama
sekali pada 1983 itu sudah popular dan merupakan acuan pokok. Namun, mustahil
hanya itu saja yang tersedia setelah perjalanan Jami'ah lebih dari setengah
abad. Tidak mungkin. Karena itu, saya tidak hendak mempercayai OPAC walaupun
dalam waktu yang sama saya juga tidak bisa berbuat banyak untuk memaksa mesin
pencari tersebut menampilkan hasil yang lebih banyak.
Saya
pikir, kejanggalan ini mesti ada penjelasannya. Pastilah buku-buku mengenai
Syaikh Nuruddin Ar-Raniri telah ditulis dengan melimpah. Mahasiswa-mahasiswa
tentulah telah dibekali sejak awal dengan bacaan-bacaan mengenai biografi dan
karya-karya ulama Aceh yang sangat terkenal ini. Tentu telah banyak karya-karya
Syaikh Nuruddin Rahimahu-Llah yang telah disunting, dikaji dan diterbitkan.
Bagaimana tidak, lembaga pendidikan tinggi (Jami'ah) yang menyandang nama
Ar-Raniri ini pastilah menjadi pusat rujukan bagi setiap orang yang ingin mengenal
lebih dalam tentang Ar-Raniri serta mendalami karya-karyanya. Saya yakin, di
suatu pojok dalam kompleks Jami'ah, pastilah ada sebuah ruang besar yang
menyimpan koleksi terlengkap naskah-naskah manuskrip dari berbagai karya tulis
Syaikh Nuruddin Ar-Raniri (manuskrip-manuskrip dari berbagai kawasan di Asia
Tenggara dengan berbagai kualitasnya); gambar-gambar manuskrip karya-karya
monumental Ar-Raniri juga telah dipamerkan dalam ruang tersebut dan dapat
dikunjungi publik. Saya sangat yakin demikianlah kenyataan yang sesungguhnya,
sedangkan apa yang saya alami di Perpustakaan Umum Jami'ah pada Rabu kemarin
hanyalah semacam "error" sementara waktu dalam masa
"maintenance".
Barangkali, karena sudah terbiasa dengan tempat-tempat terabaikan, maka ruang yang pertama sekali ingin saya kunjungi dalam gedung perpustakaan Jami'ah, dengan dipandu oleh Ananda-ananda Masykur dan Khairul Hidayah, adalah ruang di mana keterabaian menunjukkan wujudnya. Alhamduli-Llah, ruang yang dimaksud itu ternyata sangat memuaskan; wajah keterabaian tampak hampir utuh, dan di situlah saya dapat membaui aroma zaman lampau di tengah-tengah lingkungan beraroma masa kini.
Barangkali, karena sudah terbiasa dengan tempat-tempat terabaikan, maka ruang yang pertama sekali ingin saya kunjungi dalam gedung perpustakaan Jami'ah, dengan dipandu oleh Ananda-ananda Masykur dan Khairul Hidayah, adalah ruang di mana keterabaian menunjukkan wujudnya. Alhamduli-Llah, ruang yang dimaksud itu ternyata sangat memuaskan; wajah keterabaian tampak hampir utuh, dan di situlah saya dapat membaui aroma zaman lampau di tengah-tengah lingkungan beraroma masa kini.
Kami
segera mengendus dan melacak sumber-sumber yang mengeluarkan aroma zaman lampau
itu!
Sejumlah
sumber aroma kemudian ditemukan.
Ada
Lisanul 'Arab (j. 2) cetakan Beirut, tahun 1374/1955, dengan cap
"Perpustakaan A. Hasjmy Banda Aceh" di halaman judul. A. Hasjmy
adalah rektor pertama Jami'ah yang pada waktu itu masih berstatus Institut
Agama Islam Negeri (IAIN).
Lalu
saya melihat Al-Mustadrak 'ala Ash-Shahihain (j. 3) karya Al-Hakim yang dicetak
dalam ukuran super besar. Penerbitnya ialah Maktabah Al-Mathbu'at
Al-Islamiyyah, Halab (Aleppo, Suriah). Luar biasa!
Ada
pula 'Umdatul Qariy Syarh Shahih Al-Bukhariy (j. 17). Cetakan berwarna yang
diupayakan penerbitan, pentashihan dan komentar untuknya oleh sejumlah ulama
dengan dibantu oleh pemilik dan direktur At-Thiba'ah Al-Muniriyyah, Muhammad
Munir 'Abduh Agha Ad-Dimasyqiy.
Al-Mustadrak
ma'a At-Talkhish, dan pada halaman permulaan Kitab Al-Buyu' terdapat dekorasi
dan kaligrafi Basmallah yang unik berbentuk mahkota.
Kemudian,
sebuah literatur yang diterbitkan oleh Percetakan Brill di Leiden pada 1955
atas pendanaan banyak lembaga ilmiah di Eropa. Penyusunnya adalah Arent Jan
Wensinck, murid Christiaan Snouck Hurgronje. Buku berjudul Concordance et
indices de la Tradition Musulmane yang terdiri dari 8 volume ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul Al-Mu'jam Al-Mufahras li Alfazh
Al-Hadits An-Nabawiy (Konkordansi Hadits Nabi). Hanya juz 3 dari Al-Mu'jam yang
sempat saya lihat di ruang tersebut.
Alangkah
gembiranya saya kemudian ketika melihat As-Sunan Al-Kubra karya Al-Imam
Al-Muhaddits Abu Bakr Al-Baihaqiy, Radhiya-LLahu 'anhu (wafat 458 H). Ia adalah
ulama yang dipuji oleh Abul Ma'aliy Al-Juwainiy dengan ucapan yang maksudnya
kira-kira begini: "Tidak ada seorang pun pengikut Asy-Syafii'y yang tidak
berhutang budi kepada Asy-Syafi'iy, kecuali Abu Bakr Al-Baihaqi; Asy-Syafi'iy
berhutang budi kepada Al-Baihaqiy oleh karena telah membela mazhabnya."
Pada bagian akhir dari halaman judul As-Sunan Al-Kubra ini diperoleh keterangan bahwa kitab tersebut merupakan cetakan pertama dari percetakan Majlis Da'iratil Ma'arif An-Nizhamiyyah (Dewan Ensiklopedia An-Nizhamiyyah) yang berbasis di India, di wilayah (negara bagian) Haidar-abad (Hyderabad) Dakan. An-Nizhamiyyah mengacu kepada Nizham Al-Mulk, gelar para penguasa Hyderabad. Cetakan tersebut terbit pada 1344 Hijriah atau 1925 Masehi, dan diiringi oleh Al-Jauhar An-Naqiy karya Ibnu At-Turkumaniy (wafat 745 H).
Pada bagian akhir dari halaman judul As-Sunan Al-Kubra ini diperoleh keterangan bahwa kitab tersebut merupakan cetakan pertama dari percetakan Majlis Da'iratil Ma'arif An-Nizhamiyyah (Dewan Ensiklopedia An-Nizhamiyyah) yang berbasis di India, di wilayah (negara bagian) Haidar-abad (Hyderabad) Dakan. An-Nizhamiyyah mengacu kepada Nizham Al-Mulk, gelar para penguasa Hyderabad. Cetakan tersebut terbit pada 1344 Hijriah atau 1925 Masehi, dan diiringi oleh Al-Jauhar An-Naqiy karya Ibnu At-Turkumaniy (wafat 745 H).
Di
situ terdapat pula Kitab 'Al-'Ibar wa Diwan Al-Mubtada' wal Khabar atau yang
dikenal dengan Tarikh Ibnu Khaldun. Saya hanya sempat melihat jilid ke-5 dari
Bagian Pertama.
Ananda
Masykur Syarifuddin lantas menunjukkan satu temuannya yang sangat berharga.
Pada halaman judul kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, sebuah cap telah
membekaskan tulisan berwarna biru berbunyi: "Abdul Wahhab Ibrahim Asyi bi
Makkah Al-Mukarramah - Al-Hijaz; A. Wahab I. Ashee, Mecca." Tulisan ini
mengungkapkan dengan terang mengenai kontribusi yang datang dari Makkah atau
Hijaz dalam rangka membangun dan memajukan Jami'ah. Tapi tidak hanya itu.
Membaca nama Abdul Wahhab Ibrahim Asyi, Ananda Masykur Syarifuddin segera
teringat tulisan A. Ginanjar Sya'ban bertajuk: Abdul Wahhab Al-Asyi: Pelopor Sastra Hijaz Modern Asal Aceh.
Ya,
kontribusi itu ternyata telah datang dari seorang tokoh intelektual terkemuka
di Hijaz. Ia adalah pendiri An-Nadi Al-Adabiy As-Su'udiy (klub kesusastraan
Arab Saudi) dan pimpinan redaksi Shautul Hijaz (Suara Hijaz), sebagaimana
diungkapkan oleh A. Ginanjar Sya'ban.
Kemudian,
saya juga melihat di sudut sebuah rak ada Al-Kamil fi At-Tarikh karya Ibnu
Atsir!
Ada
pula Al-Kasyyaf, sebuah tafsir monumental karya Az-Zamakhsyariy. Di atas
halaman judul terdapat cap "Waqaf Keluarga Tgk. H. Abdullah Umar Lam
U".
Kemudian,
sebuah catatan menarik di atas halaman sebelum halaman judul kitab Ithaf
As-Sadah Al-Muttaqin bi Syarh Ihya' 'Ulum Ad-Din telah ditulis dengan bahasa
Arab. Terjemahannya kira-kira begini: "Kami telah selesai membaca juz ke-8
ini dari awal sampai akhirnya, dan kami tamatkan pada waktu 'Ashar dari hari
Ahad, pada 23 Jumadil Akhir, pada tarikh tha-nun-jim-ghain; 1359 (spasi)
ghain-syin-nun-tha; 1359."
1359
Hijriah adalah 1940 Masehi.
Pada
sampul kitab Ithaf tersebut didapati cap "Waqaf Alm. Tgk. Abdus Salam
Meraxa", dan pada halaman judulnya juga didapati pernyataan dalam tulisan
Arab: "Haq 'Abdussalam Meura'sa, Kuta Raja." Dengan demikian, catatan
mengenai khatam kitab tadi, tampaknya, berasal dari pena Teungku Abdussalam.
Di
satu sudut halaman judul juz ke-3 dari kitab Tafsir Al-Baidhawiy atau Anwar
At-Tanzil wa Asrar At-Ta'wil terlihat sebuah catatan kecil: "Waqfun li
'alim wa muta'allim, wa nazhiruhu 'Abdul Muthallib Rikis. Alif, ha'
(intaha)."
(Waqaf bagi alim [guru] dan pelajar, dan pengelolanya adalah Abdul Muthallib Rikis [Reukih?].)
(Waqaf bagi alim [guru] dan pelajar, dan pengelolanya adalah Abdul Muthallib Rikis [Reukih?].)
Di
bagian paling atas dari halaman judul juz ke-10 dari Hawasyi Asy-Syirwaniy dan
Al-'Abbadiy untuk Tuhaftul Muhtaj karya Ibnu Hajar Al-Haitamiy, juga terdapat
catatan kecil dengan khath yang bagus: "Waqfun li-Llah wa nazhiruhu
Syaikhuna Teungku di Lam Birah."
(Waqaf
bagi Allah, dan pengelolanya adalah guru kami Teungku di Lam Birah.)
Pada
halaman judul juga terdapat cap "Waqaf Alm. Tgk. Abdussalam Meraxa".
Tampaknya, ada suatu keterkaitan antara Teungku di Lam Birah dan Tgk.
Abdussalam Meraxa.
Nama
Teungku 'Abdus Salam Meuraksa ini tampak sering muncul di halaman-halaman judul
kitab-kitab yang tersimpan (sekaligus terabaikan) di ruang tersebut. Satu lagi
kitab yang juga didapati keterangan "Haq 'Abdussalam Meura'sa" adalah
juga kitab yang di halaman judulnya terdapat tulisan dengan khath yang indah
berbunyi: "Haqq al-faqir al-haqir ila Allah Ta'ala, Abdul Ghaniy
Mera'sa". Kitab yang dimaksud adalah juz pertama dari Al-Iqna' fi Halli
Alfazh Abi Syuja', kitab fiqh Syafi'iy terkenal dan dipelajari di berbagai
madrasah Islam di dunia.
Antara
'Abdul Ghani Meura'sa dan 'Abdus Salam Meura'sa, kiranya, memiliki suatu
hubungan yang dekat. Pada halaman judul juz ke-2 dari kitab Al-Iqna' kemudian
ditemukan catatan: "Haq 'Abdul Ghaniy, Dayah Baru, Muqim Meura'sa, Aceh
Besar."
Informasi
tentang kontribusi yang datang dari seorang tokoh Aceh di Makkah kembali
ditemukan di halaman judul kitab Wafayatul A'yan wa Anba' Abna' Az-Zaman karya
Ibnu Khallikan. Kali ini dengan cap "Syaikh Muhammad bin Abdul Ghaniy Aceh
- Makkah Al-Mukarramah". Saya yakin, ia adalah tokoh penting yang jejak
hidupnya perlu dicatat dan disiarkan.
Selain
'Abdul Wahhab bin Ibrahim Asyi dan Muhammad bin 'Abdul Ghaniy Asyi (Aceh), satu
tokoh lain dari Makkah yang sempat ditemukan dalam ruang tersebut adalah Syaikh
Ibrahim Al-Asyi. Nama ini dijumpai pada catatan kecil di sudut atas halaman
judul buku yang ditulis seorang orientalis asal Prancis, Jules La Beaume.
Catatan itu menyebut: "Waqfu Syaikh Ibrahim Al-Asyiy bi Makkah." Tapi
jika dilihat dari rupa khath catatan tersebut, maka tampaknya, itu bukan
tulisan pewaqaf sendiri, melainkan khath dari orang yang mengetahui bahwa buku
itu adalah waqaf dari Syaikh Ibrahim (atau dengan biaya darinya).
Buku
tersebut berjudul asli Le Koran analysé, dan telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab oleh Muhammad Fu'ad 'Abdul Baqiy dengan judul Tafshil Ayatil
Qur'anil Hakim.
Nama-nama
dari Makkah yang telah disebutkan itu ditemukan di ruang perpustakaan yang
untuk sementara ini sedang dalam kondisi terabaikan, sementara di ruang lain,
yakni di ruang referensi yang sudah sangat bagus dan nyaman, ada satu nama lagi
yang sempat ditemukan.
Pada
halaman daftar isi juz ke-4 kitab Al-Muwafaqat karya Asy-Syathibiy dijumpai cap
"Zini Hasan Asyi, Makkah Al-Mukarramah - Asy-Syamiah". Di bagian atas
halaman yang sama terdapat catatan dalam bahasa Arab, yang terjemahannya
kira-kira begini: "Waqaf Asy-Syaikh Zini Hasan Asyi kepada Jami'ah
Ar-Raniri Al-Islamiyyah di Kuta Raja Banda Aceh, Indunisia, ditulis pada
1/12/83."
Saya
yakin masih banyak catatan semisal demikian yang patut diberikan perhatian.
Dari
kitab-kitab cetakan lama dan catatan-catatan itulah berhembus aroma masa lampau
Jami'ah Ar-Raniri. Aroma itu, kiranya, mampu melukiskan sebuah gambaran umum
tentang titik tolak, arah dan cita-cita Jami'ah di bagian permulaan perjalanan
sejarahnya.
Saya
yakin, dalam tanggung jawabnya terhadap Ummah, Jami'ah Ar-Raniri telah berupaya
memantapkan dirinya di arah penguasaan warisan Ummah yang kaya; menjadikan
warisan tersebut sebagai pangkalan utama dalam rangka meraih cita-citanya yang
luhur. Di arah dan demi cita-cita tersebut telah banyak orang yang terlibat dan
berperan dengan penuh kesungguhan hati. Hari ini, melupakan arah dan cita-cita
di permulaan perjalanan sejarah Jami'ah akan sama artinya dengan menghapusnya
dari wujud - semoga Allah Ta'ala melindungi kita dari segala keburukan.
Add caption |
0 Komentar