Di Bentangan Sejarah Aceh; Reruntuhan Durung



Di kaki perbukitan Gle Durung Reruntuhan sebuah bangunan terpapar pada waktu yang mengikisnya, zaman telah jauh berubah reruntuhan seolah tanpa makna, di tinggalakan, terabaikan, tanpa ingatan yang merawat kisahnya. Padahal ia adalah saksi, pertanda dan jejak dari sebuah bangsa yang religius yang mencintai agamanya. Militan, dan penuh pengabdian kepada tanah airnya bahkan, ia juga merupakan saksi bagi kecerdasan satu bangsa maritim yang pernah berjaya di laut. Durung adalah nama kampung yang terletak persis di sebuah tanjung sebelah timur Banda Aceh, tanah ujung paling utara dari daratan Pulau Sumatra. Dahulunya, tanjung ini disebut Tanjung Pedir atau Pedir Point. Petdro Punt dalam Bahasa Belanda. Perairan yang terbentang di utara Durung, dulunya, adalah salah satu jalur pelayaran, dari dan ke Teluk Aceh. Jalur ini disebut dengan Malakka Passage atau jalur Malaka. Di seberang barat laut Durung, sebuah pulau kecil disebut dengan Pulau Buru, adalah tempat dimana mercusuar dibangun untuk membantu navigasi di jalur ini. Durung adalah salah sat tempat paling penting di pantai utara Aceh Besar. Hal ini seperti dikemukakan Jan Jacob de Hollander dalam terbitannya di tahun 1895. Tapi orang Aceh telah lama memaklumi kepentingan tempat seperti Durung. Tidak lebih kemudian dari pertengahan abad ke-19, sebuah bangunan telah lama didirikan di Durung. Sebuah masjid. Tetapi, di tempat-tempat yang memiliki kepentingan strategis seperti Durung, Arsitektur mesjid dirancang memenuhi unsur-unsur fortifikasi. Pada waktu-waktu di perlukan, masjid berfungsi sekaligus sebagai kubu pertahanan, tempat kosentrasi dan barak tentara; menjadi ribath, dimana para pejuang menyatukan tekad dan berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Posting Komentar

0 Komentar