Nisan-nisan Kerajaan Lamuri di Lamreh dan Kuta Leubok, Aceh Besar (1)

Nisan-nisan peninggalan Kerajaan Lamuri di Lamreh,
Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar (Foto: CISAH)


LAMREH dan Kuta Leubok adalah dua gampong (desa) di pesisir laut Selat Malaka dalam Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, sebelah timur Kota Banda Aceh. Lamreh berada di sebuah teluk yang dikenal dengan Krueng Raya (sumber lain: Kroeng Raya)—sekarang, di situ terdapat sebuah pelabuhan yang diberi nama Pelabuhan Laksamana Malahayati. Sementara Kuta Leubok berada di timurnya. Lamreh dan Kuta Leubok dipisah sebuah lembah sempit yang dialiri batang sungai Krueng Leubok. Sungai ini bermuara ke laut di sebelah timur teluk Krueng Raya, tapi muaranya kini sudah tersumbat dengan pasir pantai.

Secara umum, Lamreh dan Kuta Leubok merupakan daerah perbukitan yang tersusun dari batuan karst. Bukit di sebelah timur teluk terlihat menjulur ke laut membentuk tanjung. Masyarakat setempat menyebutnya dengan Ujoeng Batee Kapai (ujung karang kapal). Batee kapai (karang kapal) yang dimaksud ialah sebuah bukit karang menyerupai badankapal yang berada tepat di depan tanjung. Dongeng rakyat, bukit karang itu merupakan jelmaan kapal Amat Ramanyang yang dikutuk karena durhaka kepada ibunya—semacam dongeng Malim Kundang di Sumatera Barat. Bukit karang tersebut, akhirnya, juga dikenal dengan sebutan Pulau Amat Ramanyang.

Selain dikaitkan dengan dongeng Amat Ramanyang, Lamreh dan Kuta Leubok juga dikaitkan dengan beberapa peristiwa lain yang konon menyisakan tinggalan sejarah seperti Benteng Inong Balee, Kolam Putroe Ijoe (Putri Hijau), Makam Laksamana Malahayati dan Benteng Kuta Leubok. Namun, pengaitan tersebut belum dapat diketahui sejauh mana kesahihannya.

Seputar Penelitian Terdahulu tentang Nisan Lamreh dan Kuta Leubok

Tahun 1995, kata E. Edwards Mckinnon, Almarhum Suwedi Montana dan kawan-kawan telah berkunjung ke Lamreh. Montana kemudian melaporkan dalam Archipel tentang penemuan batu nisan makam Sultan Sulaiman bin Abdullah bin Baasyir yang wafat pada tahun 608 hijriah (1208 masehi), di Kuta Lebouk. Menurut Mackinnon, sejak itulah Kuta Leubok mulai dikenal secara umum. Namun penanggalan yang disebut Suwedi Montana, kemudian, diragukan oleh pakar sejarah dan epigrafi, Guillot dan Kalus.[1]

Mckinnon sendiri mengaku mengunjungi Lamreh pertama sekali pada 1997 ditemani Nurdin AR yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Museum Negeri Aceh, serta kawan-kawannya yang lain. Kemudian, dari 2005 sampai 2007, saat ia bertugas sebagai konsultan UNDP di Aceh, ia berkesempatan untuk melakukan penelitian sejarah di berbagai kawasan di Aceh, termasuk di Lamreh. Tahun 2010 dan  2011, ia tergabung dalam tim penelitian yang dibentuk atas kerja sama Puslitarkenas dan Singapore Earth Observatory, Singapore Technical University.[2]

Dari suatu penelitiannya yang ditemani arkeolog independen, Dedy Satria, di tahun 2011, Mckinnon mengungkapkan tentang adanya lokasi di Lamreh yang pernah menjadi pemukiman dan merupakan tempat yang cukup ramai sekitar 600-700 tahun silam. Keberadaan pemukiman kuno tersebut, menurut mereka (Mckinnon dan Satria), dibuktikan oleh adanya temuan beling kuno, pecahan kaca kuno dari India Selatan, jenis-jenis tembikar yang dibuat di beberapa lokasi di Asia Selatan, dan artefak lainnya.[3]

Mckinnon juga mengutarakan, mereka telah berusaha menginventarisasi nisan-nisan di Ujong Batee Kapai, Lamreh. Nisan-nisan itu, menurut Mckinnon, belum sempat didaftarkan oleh Guillot dan Kalus. Guillot dan Kalus hanya mendaftarkan nisan-nisan di Kuta Leubok ketika berkunjung ke sana.[4] Namun, sayang sekali, publikasi hasil inventarisasi oleh Mckinnon belum berhasil didapatkan. Lain halnya dengan hasil inventarisasi Guillot dan Kalus yang telah dipublikasikan pada 2008. Guillot dan Kalus mendaftarkan 8 batu nisan dari Kuta Leubok, tambah sebuah nisan dari Lamreh.[5]

Repelita Wahyu Utomo dari Balai Arkeologi Medan telah mendeskripsikan 5 batu nisan di Lamreh dalam artikel yang dimuat Berkala Arkeologi Sangkhakala, No. 21, 2008, bertajuk: “Lamuri telah Islam sebelum Pasai”. Dalam artikelnya itu, Utomo mempertegas keberadaan komunitas yang telah Islam sebelum Samudra Pasai. Ia mengajukan bacaan Montana terhadap salah satu inskripsi pada batu nisan di Kuta Leubok sebagai bukti. Klaim ini, kemudian, ia perkuat dengan menyatakan nisan-nisan tipe plang-pleing merupakan nisan-nisan tipe peralihan dari pra-Islam ke Islam.[6]

Permulaan 2011, Suprayitno mempublikasikan satu batu nisan dari Lamreh dalam artikel yang dimuat Tawarikh, sebuah jurnal internasional untuk kajian-kajian sejarah. Dalam artikel bertajuk “Evidence of The Beginning of Islam in Sumatera: Study on The Acehnese Tombstone”, Suprayitno mengemukakan, antara lain, tentang penemuan satu batu nisan di Lamreh, yang menurutnya, mencantumkan tarikh wafat terawal, yakni 398 hijriah (1007 masehi).[7]

Menyelidiki Nisan-nisan Lamreh dan Kuta Leubok

Permulaan 2012, Center for Information of Samudra Pasai Heritage (CISAH), Lhokseumawe, baru berkesempatan mendiskusikan pernyataan M.C. Ricklef mengenai petunjuk pertama tentang keberadaan kerajaan Islam di Indonesia. Petunjuk yang dimaksudnya ialah sebuah nisan di Lamreh, atau tepatnya di Kuta Leubok, yang menurut identifikasi Suwedi Montana adalah milik Sultan Sulaiman bin Abdullah bin Al-Basir yang wafat pada 608 hijriah (1211 masehi)![8]

Pernyataan Ricklefs benar-benar berhasil memancing perhatian CISAH. Kepada Mizuar Mahdi yang berdomisili di Banda Aceh, CISAH meminta untuk dapat menyelidiki keberadaan nisan tersebut di Lamreh sekaligus berharap dapat dikirimkan beberapa gambarnya. Mizuar Mahdi memenuhi permintaan. Beberapa gambar kemudian dikirimkan kepada CISAH.

Selang sepekan kemudian, Mizuar Mahdi kembali mengirimkan gambar sebuah nisan yang ditemukannya di ladang cabai milik warga di Lamreh. Letaknya tidak jauh dari badan jalan Krueng Raya-Laweung, di atas bukit. Nisan tersebut rupanya milik seorang berjabatan qadhi (hakim), bergelar Shadrul Islam, dan namanya Ismail. Qadhi Isma’il wafat pada 7 Syawwal 852 hijriah. Sejak ditemukan nisan ini, CISAH mulai menyadari, Lamreh memiliki kekayaan data sejarah yang tidak bisa diremehkan.

Karena informasi mengenai tinggalan-tinggalan sejarah di Lamreh semakin mengalir gencar dari Mizuar, begitu pula dari Dedy Satria, arkeolog yang telah lebih dahulu melakukan penelitian eksploratif di sana, maka timbullah keyakinan bahwa Lamreh dan Kuta Leubok memang kawasan situs sejarah yang amat penting.

Pertengahan Juni 2012, merebak kabar mengejutkan.[9] Hektaran tanah di Lamreh yang meliputi lokasi-lokasi situs sejarah ternyata sudah dalam transaksi penjualannya kepada pihak investor pembangunan lapangan golf. CISAH menilai ini suatu ancaman yang dapat memusnahkan berbagai kekhususan kawasan situs sejarah. Mengingat ancaman tersebut, CISAH tidak mungkin lagi menunda peninjauannya ke Lamreh dan Kuta Leubok. Maka, pada 21 Juni tahun itu, CISAH ke Lamreh, melakukan peninjauan awal sekaligus dokumentasi tinggalan sejarah yang lebih dititikberatkan pada nisan-nisan di Lamreh dan Kuta Leubok. Peninjauan itu merupakan yang pertama sekali, dan dilakukan selama sepekan.

Nisan-nisan Kerajaan Lamuri

Hasil peninjauan CISAH pada 21-26 Juni 2012 akan dipublikasi secara keseluruhan, untuk pertama sekali, oleh misykah.com. Berbagai saran dan kritikan yang pasti diperlukan untuk perbaikan kajian ini diharapkan dapat dialamatkan kepada misykah.com.

Berikut ini adalah nisan-nisan yang dijumpai di beberapa lokasi mulai jalan masuk menuju Benteng Inong Bale sampai dengan hendak menuruni bukit ke Lhok Cut di Lamreh.

Lamreh: 01.

Lamreh: 1.A
1. أ 

1. ھذ[ا] القبر مولانا قاضي صدر الإسلام

2. إسماعیل نقل

3. من الدنیا البلیة



Lamreh: 1.B

ب.
1. الجمعة سبع یوما (كذا) من
 
2. شھر شوال
 
3. سنة اثنان وخمسون (كذا)
 
4. وثمانمائة من



Lamreh: 1.C

ج.
1. ھجرة النبویة الدنیا مزرع 

2. الآخرة الدنیا فاني (كذا) والآ
 
3. خرة باقي (كذا)
 
4. أینما تكونوا یدركم


Lamreh: 1.D
د.
1. الموت ولو كنتم في بروج
 
2. مشیدة الدنیا
 
3. ساعة فجعلھا (كذا) طاعة
 
4. الموت جسر یصل حبیب إلى

Terjemahan: 1. A. 1. Inilah kubur Tuan kami Qadhi Shadrul Islam (pemuka Islam); 2. Isma’il, dipindahkan dari dunia fana; B. 1. pada hari Jum’at tujuh hari dari; 2. bulan Syawwal; 3. tahun lima puluh dua; 4. dan delapan ratus (852) dari; C. 1. hijrah Nabi. Dunia tempat bercocok tanam; 2. [untuk] akhirat. Dunia itu fana; 3. Akhirat itu abadi; 4. Di mana saja kamu berada, kamu pasti didapati; D. 1. oleh kematian, sekalipun kamu berada dalam benteng-benteng; 2. yang kokoh. Dunia itu; 3. waktu sekejap maka jadikanlah waktu sekejap itu sebagai suatu ketaatan; 4. Kematian adalah titian yang sampailah seorang kekasih kepada [kekasihnya].

Komentar:

(1)

Hanya satu nisan dari makam Qadhi Isma’il yang disisakan zaman; nisan pasangannya tidak ditemukan. Nisan ini berbentuk persegi empat pada bagian atas permukaan tanah, dan semakin ke atas semakin mengerucut, tapi bagian puncaknya telah patah. Pada setiap sisi nisan: di bagian bawah sekali terdapat [les] ornamen dengan motif floris; di atasnya, panel berisi inskripsi; lalu di bagian atasnya lagi, relief hiasan dengan motif floris, yang dipadu dengan lengkungan-lengkungan tebal, sangat menonjol dan tertata. Inspirasi untuk relief lengkungan-lengkungan itu tampaknya telah ditimba dari bentuk gulungan gelombang.

(2)

Suatu hal yang teramati pada banyak nisan peninggalan sejarah Samudra Pasai dari paroh pertama abad ke-9 hijriah (abad ke-15 masehi): khath naskhiy lebih sering digunakan. Tetapi, pada paroh kedua abad tersebut, muncul perkembangan baru di mana kaidah-kaidah khath yang sudah dikenal mengalami perubahan sehingga khath tidak saja ditujukan untuk penulisan yang benar, rapi dan indah, tapi juga untuk melukis.[10]

Dalam perkembangannya yang baru ini, khath dapat memberikan efek-efek yang menghasilkan suatu gambar atau lukisan yang abstrak. Dalam pertengahan kedua abad tersebut, khath semacam ini nampaknya sangat diminati oleh para seniman kaligrafi (khaththath) karena membuka ruang yang lebih besar bagi mereka mengekspresikan inspirasi yang didapat dari lingkungan budaya yang mereka hidupi. Dalam sejarah kaligrafi Arab, khath ini disebut dengan Thughra’.

Kaligrafi Arab pada nisan makam Qadhi Isma’il yang wafat pada Jum’at, 7 Syawwal 852 hijriah (..), juga menampilkan khath Thughra’. Kaligrafi itu dibentuk untuk mengekspresikan ilhaman satu wujud yang paling [esensial] dalam kehidupan budaya masyarakat maritim, yakni laut beserta gulungan-gulungan ombak di hamparan permukaannya.

(3)

Pada epitaf makam disebutkan Maulana Qadhi (tuan kami qadhi).

Dalam Lisan Al-‘Arab, salah satu makna maula ialah: “wali yang mengurusi urusanmu. ”[11] Gelar maulana—dengan penambahan dhamir al-mutakallim—yang berarti tuan kami telah digunakan oleh khalifah-khalifah dari Dinasti ‘Abbasiyah, dan sangat banyak digunakan, kemudian, untuk khalifah-khalifah dari Dinasti Fathimiyyah, bahkan bukan saja untuk khalifah tapi juga untuk wazir (menteri). Kemudian, semenjak masa Shalahuddin Al-Aiyubiy, gelar maulana ini menjadi gelar paling penting bagi para sultan dan malik (raja), dan menjadi gelar khusus sultan. Namun, meskipun gelar ini selalu digunakan untuk para sultan, sesekali digunakan pula untuk amir-amir besar. Dan pada abad ke-9 hijriah, gelar maulana sudah dibolehkan untuk para pejabat tinggi sipil seperti qadhi. Pada sebuah prasasti bertarikh tahun 848 hijriah di Masjid Qadhi Yahya, gelar maulana disebutkan untuk Qadhi Yahya. Pada masa kemudian gelar ini juga sudah digunakan untuk para ulama.[12]

Penyebutan gelar maulana untuk Qadhi Isma’il sebagaimana terdapat pada nisan makamnya, juga ikut membuktikan penggunaan gelar ini untuk qadhi pada abad ke-9 hijriah.

Qadhi adalah seorang yang dipercayakan secara khusus untuk mengurusi qadha’ (kehakiman). Menurut Syafi’iyyah: qadha’ adalah peleraian sengketa antara dua orang atau lebih dengan menggunakan hukum Allah.[13] Dalam sejarah Islam, pengurusan kehakiman secara khusus telah dimulai sejak Khalifah Abu Bakr (r.a.). Waki’ (wafat 306 hijriah) dalam Akhbar Al-Qudhah menyebutkan, Abu Bakr (r.a.) telah menunjuk ‘Umar bin Khaththab (r.a.) untuk mengurusi kehakiman, dan Abu ‘Ubaidah (r.a.) untuk mengurusi Baitul Mal.[14] Dan mulai masa ‘Umar bin Khaththab (r.a.), kerja kehakiman telah dipisahkan dari kerja pemerintahan; khalifah menetapkan pemerintah suatu daerah (gubernur) begitu pula qadhinya.[15]

Bagaimana sosok Qadhi Isma’il ini?

Al-Mawardi (wafat 450 hijriah) dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menerangkan, seseorang hanya dapat diangkat sebagai qadhi apabila telah melengkapi tujuh syarat. Dan hanya dengan memiliki [kelengkapan] syarat-syarat tersebut, ia dapat diikuti, dan keputusannya dilaksanakan[16]—keterangan lebih lengkap mengenai syarat-syarat ini satu persatu, dapat diikuti dalam sumber tersebut. Untuk memperoleh sebuah gambaran tentang sosok Qadhi yang dimakamkan di Lamreh ini, dapat digunakan keterangan Al-Mawardi mengenai syarat al-‘adalah (kelurusan sikap) dan al-‘ilmu bi al- ahkam asy-syar’iyyah (pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at) yang harus dimiliki seorang qadhi.

Al-Mawardi menjelaskan, al-‘adalah ialah jujur dalam bertuturkata, nyata amanahnya, meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan (‘afif), terlindungi dari perkara-perkara berdosa, tidak pernah ragu-ragu, terkendali pada saat suka dan marah, selalu melakukan hal yang layak dengan marwah orang semisal dia baik menyangkut agama maupun dunianya. Apabila ia telah melengkapi dirinya dengan pekerti-pekerti ini maka itulah al-‘adalah yang membuatnya diizinkan bersaksi serta dibenarkan memangku kewenangannya [sebagai qadhi].[17]

Kemudian, kata Al-Mawardi, “Pengetahuannya tentang hukum-hukum syari’at harus meliputi pengetahuan tentang ushul berikut keterikatannya dengan furu’. Dan dasar-dasar (ushul) hukum dalam syari’at itu ada empat, maka pertama: ia menguasai pengetahuan tentang Kitab Allah ‘Azza wa Jalla (Al-Qur’an) sampai pada tahap ia mampu mengetahui hukum-hukum yang terkandung di dalamnya:  nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, ‘umum dan khushush, mujmal dan mufassar. Kedua: ia menguasai pengetahuan tentang Sunnah Rasulullah (saw.) yang autentik baik perkataan maupun perbuatan begitu pula cara-cara periwayatannya, baik yang mutawatir maupun ahad, shahih maupun lemah, yang terikat dengan suatu sebab ataupun yang umum. Ketiga: mengetahui penafsiran salaf, hal-hal yang telah disepakati oleh mereka, dan hal-hal yang yang diperselisihkan, sehingga ia dapat mengikuti yang telah disepakati  (ijma’), dan menguras seluruh kemampuannya untuk berpendapat dalam persoalan yang diperselisihkan.”[18]

Dan keempat, lanjut Al-Mawardi, memiliki pengetahuan tengtang qiyas yang diperlukan untuk dapat mengembalikan persoalan-persoalan furu’ yang tidak dinyatakan kepada persoalan-persoalan ushul yang telah dinyatakan dan yang telah disepakati. Ini supaya ia dapat menemukan jalan untuk mengetahui hukum-hukum dari berbagai persoalan yang timbul dan dapat membedakan antara yang haq dan yang batil.[19]

“Apabila pengetahuannya telah mencakup keempat ushul dalam hukum-hukum syari’at ini,” tulis Al-Mawardi kemudian, “berarti ia telah menjadi seorang yang mujtahid dalam agama; dia diizinkan berfatwa dan menghakimi, dan diizinkan pula untuk dimintai fatwa dan keputusan hukum darinya. Apabila ia tidak menguasai keempat ushul tersebut, atau bahkan tidak menguasai salah satunya saja, maka ia tidak termasuk dalam ahli ijtihad (mujtahid) dan tidak diizinkan baginya untuk mengeluarkan fatwa begitu pula untuk menghakimi.[20]

Demikian, antara lain, syarat-syarat menjadi qadhi yang diterangkan Al-Mawardiy, dan semoga saja, Qadhi Isma’il yang menjabat sebagai qadhi di Kerajaan Lamuri pada pertengahan abad ke-9 hijriah itu adalah seorang yang melengkapi syarat-syarat tersebut.

(4)

Gelar Shadrul Islam, sebagaimana terdapat pada epitaf nisan, berarti pemuka para ulama Islam. Gelar serupa pernah dipakai untuk Nizhamul Mulk, seorang wazir Dinasti Seljuk (wafat 485 hijriah), pada sebuah prasasti bertarikh 475 di Masjid Umawiy, Damaskus.[21]

Namun di Kerajaan Lamuri, penggunaan gelar ini, tampaknya, sama dengan penggunaan gelar Syaikhul Islam, yakni syaikh para ulama Islam. Pada masa pemerintahan Dinasti ‘Utsmaniyyah, gelar Syaikhul Islam dipakai untuk orang yang menduduki jabatan tertinggi dalam urusan keagamaan, bermazhab Hanafiy, dan bertempat di Istambul. Tapi sebelum itu, Syaikhul Islam merupakan gelar bagi para faqih dan mujtahid.[22]

Begitu pula, barangkali, dengan gelar Shadrul Islam di Kerajaan Lamuri. Tapi, apakah gelar Shadrul Islam juga merupakan gelar untuk pemegang jabatan tertinggi dalam urusan keagamaan di Lamuri? ini perlu kepada data sejarah yang lain.

Sementara gelar Ash-Shadr—tanpa idhafat kepada Islam—sudah mulai digunakan semenjak permulaan abad ke-6 hijriah, terutama untuk para ulama. Di  antaranya, untuk Imam Abu Hamid Al-Ghazaliy pada sebuah prasasti dari tahun 505 hijriah.[23]

Sementara Syihabuddin Al-Qalqasyandi Asy-Syafi’iy (wafat 821 hijriah) mengatakan, As-Shadr adalah gelar para saudagar atau semisal mereka, yakni orang yang berada di bagian muka dalam berbagai majelis.[24] Maka, mungkin saja juga, penggelaran seorang tokoh ulama di Lamuri dengan Shadrul Islam punya latar belakang terkait masyarakat Kerajaan Lamuri yang memiliki peran besar dalam dunia perdagangan maritim.

(5)

Maulana Qadhi Shadrul Islam Isma’il wafat pada 7 Syawwal 852 hijriah (6 Desember 1448).

Dalam Syadzarat Adz-Dzahab, Ibnu Al-‘Imad Al-Hanbaliy (wafat 1089 hijriah) menyebutkan beberapa tokoh Dunia Islam yang wafat dalam tahun yang sama, di antaranya: Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy, yang digelar dengan Syaikhul Islam, Amirul Mu’minin di dalam hadits, dan seorang ulama madzhab Syafi’iy yang sangat banyak menghasilkan karya tulis, terutama dalam bidang hadits. Ia dilahirkan di ‘Asqalan pada 12 Sya’ban 773 hijriah, dan wafat pada malam Sabtu, 18 Dzulhijjah 852 hijriah dan dimakamkan di Rumailah, Mesir.[25]

(6)

Pada nisan Qadhi Isma’il juga terdapat inskripsi ayat Al-Qur’an surah An-Nisa’: 78.  Maknanya, sebagaimana kata Syaikh Zadah (wafat 951 hijriah): Di tempat mana pun kau berada, kematian akan mendapatimu, yakni tidak ada cara bagimu untuk melepaskan diri darinya, maka kematian dalam keadaan yang berujung pada kebahagiaan abadi lebih baik daripada kematian dalam keadaan selain itu.[26]

Buruj Musyayyadah. Kata Al-Baidhawiy (wafat 691 hijriah), “Buruj ialah istana-istana atau benteng-benteng yang tinggi. Makna asli dari kata buruj adalah rumah-rumah yang berada di sekeliling istana, diambil dari kata dalam kalimat tabarrajat al-mar’ah ketika seorang perempuan telah menampakkan dirinya.”[27]

Syaikh Zadah menambahkan, karena kata al-burj diambil dari kata al-baraj yang berarti tampak, maka kata ini dapat digunakan untuk setiap istana dan benteng yang tinggi lantaran makna “tampak” di situ memang nyata. Dan dikatakan syada bina’uh, asyadahu, dan syayyadahu apabila seseorang telah meninggikan sebuah bangunan atau telah mewarnai bangunan dan mencampurinya dengan syid, yaitu batu kapur.[28]

Selain untuk maksud peringatan dan nasehat, apakah pemahatan ayat ini juga ditujukan untuk maksud lain, misalnya, untuk mensiyalir adanya relevansi kandungan ayat dengan kenyataan lingkungan setempat pada masa dulu, yakni adanya bangunan-bangunan berwarna kapur serta tembok-tembok benteng di tempat itu.

Konteks kawasan situs Lamreh dan Kuta Leubok, serta beberapa struktur peninggalan sejarah yang ditemukan di permukaan, mengindikasikan adanya sebuah bekas kota yang hampir mirip penggambaran Al-Qur’an dalam surah An- Nisa’: 78; buruj musyayyadah (istana-istana atau benteng-benteng yang tinggi dan berwarna kapur).

Suatu penelitian arkeologi yang dilakukan secara serius di masa mendatang diharapkan dapat menyingkap lebih banyak hal tentang kota peninggalan sejarah Kerajaan Lamuri ini.

(7)

Selain inskripsi ayat Al-Qur’an juga terdapat inskripsi ungkapan lainnya.

Hadits: “Dunia adalah lahan bercocok tanam untuk akhirat."

Abu Hamid Al-Ghazaliy (wafat 505 hijriah) menyebutkan hadits ini dalam Al-‘Ihya’, namun ‘Abdurrahim Al-‘Iraqiy (wafat 806 hijriah) mengatakan ia tidak pernah mendapatkan hadits marfu’ dengan lafaz demikian dan Al-‘Uqailiy meriwayatkannya dalam Ad-Dhu’afa’.[29]

“Dunia itu fana dan akhirat itu kekal."

Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-A’la ayat 16-17:

بل تؤثرون الحیاة الدنیا والآخرة خیر وأبقى

Kata Ibnu Jarir At-Thabariy (wafat 310 hijriah) dalam Jami’ Al-Bayan: “Allah mengatakan kepada manusia: Tetapi kamu, wahai sekalian manusia, mengedepankan perhiasan dunia daripada akhirat. Dan akhirat lebih baik—bagi kamu—dan lebih kekal, yakni: dan perhiasan akhirat bagi kamu, wahai sekalian manusia, lebih baik dan lebih kekal sebab kehidupan dunia itu fana dan akhirat itu kekal; [akhirat] tidak akan habis lagi tidak akan musnah.[30]

Dan akhirat lebih baik dan lebih kekal, kata Ibnu Katsir (wafat 774 hijriah), bermakna pahala Allah di akhirat lebih baik dan lebih kekal daripada dunia. Sesungguhnya dunia itu hina lagi fana dan akhirat itu mulia lagi kekal, maka bagaimana seorang yang waras bisa mengedepankan sesuatu yang fana di atas suatu yang kekal..?![31]

Dalam Dzam Ad-Dunya, Ibnu Abi Ad-Dunya (wafat 281 hijriah) meriwayatkan bahwa khutbah terakhir yang disampaikan ‘Utsman di depan sekelompok orang: “Sesungguhnya Allah memberikan untukmu dunia supaya kamu dapat mencari akhirat. Dia tidak memberikannya kepadamu agar kamu menyandarkan diri kepadanya. Dunia itu fana, akhirat itu kekal. Jangan sampai yang fana itu membingungkanmu, dan jangan sampai pula ia melalaikanmu dari yang kekal. Dunia itu berakhir, dan tempat kembali sesungguhnya kepada Allah, maka bertaqwalah kepada Allah. Taqwa kepada-Nya adalah penyelamat dari azab-Nya, dan perantara ke sisi-Nya. Berhati-hatilah dengan Allah. Tetaplah kamu di dalam jama’ah, dan jangan sampai kamu berpartai-partai—Ustman lantas membaca ayat 103 dari surah Al ‘Imran.[32]

“Dunia itu sementara, maka jadikanlah ia untuk berbuat taat."

Ungkapan ini dijumpai dalam Mishbah Asy-Syari’ah yang disandarkan kepada Abu ‘Abdillah Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir (wafat 148 hijriah).[33]

Dalam Adab Ad-Dunya wa Ad-Din, Al-Mawardiy menyebutkan, telah diriwayatkan dari Nabi (saw.) bahwa beliau bersabda: “Sebaik-baik tunggangan ialah dunia. Maka, tunggangilah dia, ia akan mengantarkanmu [untuk memperoleh] akhirat.”[34]

“Kematian adalah titian yang sampailah seorang kekasih kepada…” Pada nisan, ungkapan ini terputus sampai kata “kepada..”. Dan redaksi yang sempurna ialah sebagaimana disebutkan Abu Muhammad ‘Abdul Haq Al-Isybiliy (wafat 581 hijriah) dalam Al-‘Aqibah, dan Abu ‘Abdillah Muhammad Al-Qurthubiy (wafat 671 hijriah) dalam At-Tazkirah:

الموت جسر یوصل الحبیب إلى الحبیب

“Kematian adalah titian yang mengantarkan seorang kekasih (hamba yang taat) kepada Kekasihnya (Allah).”[35]

Lamreh: 02

Lamreh: 2.A

1 . أ
 
1. ھذا قبر [الـ]عبد
 
2. الضعیف سراج


Lamreh: 2.B

ب. (زخرفة)


Lamreh: 2.C

ج.
1. [نصر من الله]
 
2. [وفتح قریب]
 
3. الملوك نقل من ا
 
4 .لدنیا یوم [الخمیس] أربع عشر

Lamreh: 2.D
د. (زخرفة)

Terjemahan: 2. A. 1. Inilah kubur hamba; 2. yang lemah Siraj; B. (Hiasan); C. 1. Pertolongan dari Allah; 2. dan pembukaan (kemenangan) yang dekat; 3. Al-Muluk (para raja) dipindahkan dari; 4. dunia pada hari [Kamis] empat belas..

Komentar:

(1)

Hanya satu nisan yang ditemukan untuk makam ini. Sekilas, nisan ini menyerupai tugu. Namun, jika diperhatikan lebih saksama, maka bagian puncaknya terlihat lebih mirip penutup kepala. Penutup kepala semacam ini, tampaknya, digunakan secara khusus oleh seseorang yang memegang jabatan tertentu.

Lokasi makam yang berjarak tidak jauh dari makam Qadhi Isma’il memunculkan praduga jika pemilik makam juga seorang qadhi. Lantas, apakah penutup kepala seperti ini yang dipakai oleh seorang qadhi di Kerajaan Lamuri?

Al-Qalqasyandiy menyebutkan, para qadhi dan ulama di zamannya (paroh pertama abad ke-15)[36] memakai sorban dengan lilitan-lilitan yang besar sekali. Sebagian mengulur ujung sorbannya ke bagian antara dua pundak sampai menyentuh lengkung pelana tunggangannya. Ada juga yang tidak mengulur ujung sorban, tapi memakai kain selendang (selempang) yang bermutu. Para hakim agung (qadhi al-qudhah) dari mazhab Syafi’iy dan Hanafiy berbeda dengan lainnya. Mereka memakai kain lagi di atas sorban, yang menutupi sorban sampai punggung mereka.[37]

Penutup kepala para qadhi dan ulama di Mesir pada masa yang sezaman dengan Kerajaan Lamuri memang tampak berbeda sekali dengan bentuk penutup kepala yang ditampilkan pada pahatan puncak nisan ini. Akan tetapi, paling tidak, dapat diperkirakan bahwa para qadhi dan ulama di Kerajaan Lamuri juga memiliki penutup kepala atau pakaian yang membedakan mereka dengan elemen masyarakat lainnya.

(2)

“Inilah kubur hamba yang lemah (Al-‘Abdu Adh-Dha’if).”

Pengungkapan atau penyifatan yang menunjukkan sikap merendahkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla ini tidak terlepas dari maksud-maksud mendidik (alqab tarbawiyyah).[38] Dalam sejarah Islam, hal ini dapat dicermati pula dalam sejarah Sultan Nuruddin Mahmud bin Zankiy (wafat 569 hijriah).

Hasan Al-Basya mengatakan, senjata efektif yang digunakan Nuruddin dan Shalahuddin Al-Aiyubiy (wafat 589 hijriah) dalam menghadapi bahaya Salibis ialah membangkitkan semangat jihad pada rakyat mereka. Dan ini dilakukan keduanya dengan cara membimbing rakyat kepada Allah, serta kepada berbagai budi pekerti yang dimiliki oleh generasi Islam pertama. Keduanya berusaha mendidik dan menanamkan berbagai budi pekerti itu dalam jiwa rakyat.[39]

Dalam masa-masa itu pula, Nuruddin menyuruh untuk meniadakan penyebutan berbagai gelar berlebihan untuknya dalam doa khutbah. Ia hanya membolehkan gelar-gelar yang benar, tanpa dilebih-lebihkan, dan akhirnya ia menyetujui agar doa yang diucapkan untuknya di atas mimbar ialah:

اللھم أصلح عبدك الفقیر إلى رحمتك الخاضع لھیبتك المعتصم بقوتك المجاھد في سبیلك المرابط لأعداء دینك أبا القاسم محمود بن زنكي بن آق سنقر ناصر أمیر المؤمنین

“Ya Allah, baikkanlah hamba-Mu yang memerlukan rahmat-Mu, yang tunduk di bawah kebesaran-Mu, yang berlindung dengan kekuatan-Mu, yang berjuang di jalan-Mu, yang bertahan di depan musuh-musuh Agama-Mu, Abu Al-Qasim Mahmud bin Zankiy bin Aq Sunqur, pembela Amirul Mu’minin.”[40]

Dari sini, dapat diamati bahwa dalam sejarah Islam, penggelaran juga terkadang dipengaruhi oleh situasi-situasi tertentu. Penyebutan Al-‘Abd Adh-Dha’if (hamba yang lemah) pada nisan ini, dengan demikian, juga mensinyalir suatu situasi sulit yang tengah dihadapi Kerajaan Lamuri. Yakni, situasi yang menuntut setiap orang untuk merendahkan diri kepada Allah dan kembali kepada semangat Islam yang awal.

(3)

Pemilik makam digelar dengan Sirajul Muluk (suluh para raja).

Tradisi penggelaran dengan meng-idhafat-kan sebuah kata kepada kata al-muluk dan as-salathin muncul pada masa Dinasti Al-Aiyyubiyah di Mesir. Dalam masa tersebut, gelar-gelar semisal ‘Umdatul Muluk wa As-Salathin, ‘Iddatul Muluk, Dzakhiratul Muluk, Ikhtiyarul Muluk diberikan kepada para amir dan orang-orang yang mempunyai kedudukan dalam negara.[41]

Namun, gelar dengan memakai kata siraj yang di-idhafat-kan kepada kata ad-daulah dan ad-din sudah terlebih dahulu digunakan. Gelar Siraju Ad-Daulah telah diberikan untuk para amir dari Dinasti Al-Ghaznawiyyah sebagaimana gelar Sirajud Ad-Din disebutkan untuk Qadhi Abu Ats-Tsurayya Najm bin Ja’far pada sebuah ukiran dalam Masjid Ahmad bin Thulun bertarikh bulan Syawwal 526 hijriah.[42]

Pada masa Dinasti Mamalik, gelar Siraj Ad-Din ini sudah popular untuk kalangan para qadhi dan ulama. Bahkan, pada masa-masa awal dinasti ini, gelar ini secara khusus digunakan untuk orang yang bernama ‘Umar.[43]

Gelar Sirajul Muluk, dengan demikian, dapat dikatakan sebagai perkembangan mutakhir dari gelar Siraj Ad-Daulah dan Siraj Ad-Din, dan telah digunakan di Kerajaan Lamuri pada masa yang sezaman dengan Dinasti Mamalik Burjiyah di Mesir.

Ini, pada gilirannya, menguatkan praduga tadi (komentar 1) bahwa pemilik makam adalah seorang qadhi di Kerajaan Lamuri. Makna gelar Sirajul Muluk, suluh para raja, juga mendukung hal ini lantaran posisi qadhi dalam kerajaan adalah sebagai penasehat penguasa. Qadhi Abu Yusuf, misalnya, dapat dikatakan sebagai penasehat istana khalifah pada masa Harun Ar-Rasyid. Khalifah mengangkat wali-walinya di Irak, Khurasan, Syam dan Mesir atas petunjuk Abu Yusuf, dan Al-Kharraj yang ditulis ulama ini juga merupakan bukti ia adalah penasehat Harun Ar-Rasyid.[44]

Boleh jadi juga, kemudian, orang yang digelar dengan Sirajul Muluk di Kerajaan Lamuri ini bernama Umar sebagaimana tradisi penggelaran yang berlaku pada awal-awal pemerintahan Dinasti Mamalik di Mesir.

(4)

Kaligrafi Arab pada nisan ini memang tidak sebaik kualitas kaligrafi pada nisan Qadhi Isma’il. Mungkin, ini juga merupakan dampak dari situasi sulit yang tengah dihadapi Kerajaan Lamuri pada masa wafat Sirajul Muluk. Karena itu pula, inskripsi ayat Al-Qur’an surah Ash-Shaf: 13 tampak tidak terpahat dengan baik meskipun dapat dikenali dan terbaca.

Makna ayat 13 dari surah Ash-Shaf: Dan ada lagi karunia yang lain yang kamu sukai, [yaitu] pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat, dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.

Ayat-ayat sebelumnya (10-12) bermakna: Wahai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? [Yaitu], kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu, dan memasukkanmu ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan tempat-tempat tinggal yang baik dalam syurga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.

Lewat ayat-ayat 10-13 surah Ash-Shaf ini, Allah seakan mengatakan: Beriman dan berjuanglah wahai orang-orang Mu’min, dan beritakanlah kabar gembira kepada mereka, wahai Rasulullah, tentang karunia-karunia yang telah Kujanjikan kepada orang yang beriman dan berjihad, baik di dunia (‘ajil) maupun di akhirat (ajil).[45]

Pemahatan ayat 13 surah Ash-Shaf pada nisan Sirajul Muluk, dengan demikian, mensinyalir sebuah keadaan sulit yang tengah dihadapi Kerajaan Lamuri di mana kaum Mu’min dituntut untuk beriman dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Dan ini juga bermakna, mereka sedang menanti pertolongan Allah dan kemenangan yang dekat sebagaimana janji Allah dalam ayat tersebut.

Terdapatnya ayat ini pada nisan Sirajul Muluk menguatkan apa yang sudah pernah disinggung pada komentar no. 1 dan no. 2 mengenai situasi sulit yang dihadapi Kerajaan Lamuri dalam masa-masa menjelang wafat Sirajul Muluk.

(5)

Sayang, penanggalan wafat yang ditemukan pada nisan ini hanya tanggal 14 saja; tidak ditemukan bagian yang menyebutkan bulan dan tahun. Namun, kelak, suatu upaya untuk memperkirakan tahun wafat pemilik makam akan dilakukan dengan cara membandingkan berbagai aspek yang dimiliki nisan ini, semisal bahan baku yang digunakan, bentuk dan ukuran, kaligrafi serta dekorasinya, dengan nisan-nisan lain di Lamreh dan Kuta Leubok yang memiliki penanggalan lengkap.

Berikut ini adalah beberapa nisan lain di lokasi-lokasi antara makam Qadhi Isma’il sampai komplek makam terakhir sebelum turun ke Lhok Cut.

Lamreh: 3. Nisan ini memiliki inskripsi,
tapi hanya beberapa kata saja yang
masih dapat terbaca.


Lamreh: 4. Nisan yang menyerupai
tipe nisan Samudra Pasai.


Lamreh: 5

Lamreh: 6 & 7

[Taqiyuddin Muhammad]

Dikutip dari www.misykah.com, website resmi Cisah, tayang pada 17 Maret 2014.

Sambungan: Nisan-nisan Kerajaan Lamuri di Lamreh dan Kuta Leubok, Aceh Besar (2)
 

Catatan Kaki:

[1] E. Edwards Mckinnon, “Aceh sebelum Aceh”, dalam Horison Online, 8/12/2011.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Claude Guillot dan Ludvik Kalus, Les Monuments Funeraires et L’Histoire Du Sultanat de Pasai ‘A Sumatra (XIII-XVI Siecles), 2008

[6] Repelita Wahyu Utomo, “Lamuri telah Islam sebelum Pasai”, dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala, No. 21, 2008.

[7] Suprayitno, “Evidence of The Beginning of Islam in Sumatera: Study on The Acehnese Tombstone”, dalam Tawarikh, 2 (2), 2011, h. 140.

[8] Lihat, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Terj: Satrio Wahono dkk, Jakarta: P.T. Serambi Ilmu Semesta, 2008, h. 28.

[9] Acehkita.com, “Situs Sejarah Lamreh belum Terdaftar pada Pemerintah”, 20/06/2012.

[10] Lihat, antara lain, Yahya Wahib Al-Jabburiy, Al-Khath wa Al-Kitabah fi Al-Hadharah Al-‘Arabiyyah, Beirut: Dar Al-Gharb Al-Islamiy, 1994, h. 162-164.

[11] Ibnu Manzhur, Lisan Al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir, t.t., h. 408.

[12] Lihat, Hasan Al-Basya, Al-Alqab Al-Islamiyyah fi At-Tarikh wa Al-Watsa’iq wa Al-Atsar, Cairo: Ad-Dar Al-Fanniyah, 1409 H/1989 M, h. 519-521.

[13] Al-Khathib Asy-Syarbiniy, Mughni Al-Muhtaj, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, jld. 6, h. 257.

[14] Waki’ Muhammad bin Khalf bin Hayyan, Akhbar Al-Qudhah, ‘Alam Al-Kutub, t.t., h. 74

[15] Mahmud bin Muhammad bin ‘Arnus, Tarikh Al-Qadha’ fi Al-Islam, Kairo: Al-Mathba’ah Al-Mishriyah, t.t., h. 12.

[16] Al-Mawardiy, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wa Al-Wilayat Ad-Diniyyah, Kuwait: Dar Ibni Qutaibah, 1409 H/1989 M, h. 88.

[17] Ibid, h. 89.

[18] Ibid, h. 89-90

[19] Ibid.

[20] Ibid.

[21] Hasan Al-Basya, h. 378.

[22] Mushthafa ‘Abdul Karim Al-Khathib, Mu’jam Al-Mushthalahat wa Al-Alqab At-Tarikhiyyah, Beirut: Muassasah Ar- Risalah, 1416 H/1996 M, h. 279.

[23] Hasan Al-Basya, h. 377.

[24] Al-Qalqasyandiy, Shubh Al-A’sya fi Shina’at Al-Insya, Kairo: Dar Al-Kutub, 1333 H/1915 M, jld. 6, h. 18

[25] Lihat, Ibn Al-‘Imad Ad-Dimasyqiy, Syadzarat Adz-Dzahab fi Akhbar Man Dzahab, Beirut: Dar Ibni Katsir, 1413 H/1993, jld. 9, h. 395-399.

[26] Syaikh Zadah, Hasyiyah Muhyiddin Syaikh Zadah ‘ala Tafsir Al-Qadhi Al-Baidhawiy, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1419 H/1999 M, j. 3, h. 365.

[27] Nashiruddin Al-Baidhawiy, Anwar At-Tanzir wa Asrar At-Ta’wil, Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-‘Arabiy, t.t., j. 2, h. 85.

[28] Syaikh Zadah, h. 366.

[29] Abu Hamid Al-Ghazaliy, Ihya’ ‘Ulum Ad-Din; ‘Abdurrahim bin Al-Husain Al-‘Iraqiy, Al-Mughniy ‘an Hamli Al-Asfar fi Al- Asfar fi Takhrij Ma fi Al-Ihya min Al-Akhbar, Semarang: Karya Thaha Putra, jld. 4, h. 19.

[30] Ibnu Jarir Ath-Thabariy, Tafsir At-Thabariy, Beirut: Mu’assasah Ar-Risalah, 1415 H/1994, jld. 7, h. 508.

[31] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Riyadh: Dar Thayyibah, 1420 H/1999 M, j. 8, h. 382.

[32] Ibnu Abi Ad-Dunya, Dzam Ad-Dunya, Beirut: Muassasah Al-Kutub Ats-Tsaqafiyyah, 1414 H/1993 M, h. 77.

[33] Ja’far Ash-Shadiq, Mishbah Asy-Syari’ah, Beirut: Muassasah Al-A’lamiy, 1403 H/1983 M, h. 23.

[34] Al-Mawardiy, Adab Ad-Dunya wa Ad-Din, Kairo: Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyyah, t.t., h. 93.

[35] Al-Isybiliy, Al-‘Aqibah aw Al-Maut wa Al-Hasyr wa An-Nusyur, Thantha: Dar Ash-Shahabah, 1410 H/1990 M, h. 27; Al-Qurthubiy, At-Tadzkirah bi Ahwal Al-Mauta wa Umur Al-Akhirah, Riyadh: Maktabah Dar Al-Minhaj, 1425 H, h. 116.

[36] Al-Qalqasyandiy menyelesaikan karyanya, Shubh Al-A’sya fi Shina’at Al-Insya, pada 815 hijriah, zaman pemerintahan Dinasti Mamalik Burjiyah di Mesir.

[37] Al-Qalqasyandiy, j. 4, h. 41-42.

[38] Lihat, Hasan Al-Basya, h. 114-115.

[39] Ibid.

[40] Ibid, h. 101.

[41] Ibid.

[42] Ibid, h. 320.

[43] Ibid, h. 321.

[44] Mahmud bin Muhammad bin ‘Arnus, h. 122.

[45] Al-Baidhawiy, j. 5, h. 210.

Posting Komentar

0 Komentar