Ini Dia Jejak Kebudayaan Islam Persia di Samudra Pasai

Ibnu Khaddajih (abad ke-13) di Gampong Matang Ulim,
Kecamatan Samudera, Aceh Utara. (Foto: CISAH)

ACEH UTARA – Tim peneliti dari Central Information for Samudra Pasai Heritage (Cisah), beberapa waktu lalu, menemukan sejumlah makam yang pemiliknya diyakini sebagai tokoh berasal-usul dari Persia atau Iran, di kawasan tinggalan sejarah Samudra Pasai, Aceh Utara.

Tokoh tersebut di antaranya Ibnu Khaddajih. Makam tokoh ini ditemukan di Gampong Matang Ulim, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. “Berdasarkan inskripsi pada batu nisan makamnya, Ibnu Khaddajih bertarikh wafat 676 Hijriah atau 1278 Masehi,” kata Taqiyuddin Muhammad, peneliti sejarah kebudayaan Islam dari Cisah, kepada Misykah.com, di Lhokseumawe, Selasa (5/11/2013). 

Catatan tersebut menunjukkan Ibnu Khaddajih telah wafat sebelum wafatnya Sultan Al-Malik Ash-Shalih, pendiri Kerajaan Islam Samudra Pasai. Sesuai inskripsi atau tulisan bersurat pada nisan makamnya di Gampong Beuringen, Samudera, Sultan Al-Malik Ash-Shalih wafat pada 696 H (1297 M).

“Ibnu Khaddajih kita yakini berasal-usul dari Persia karena ‘Khaddajih’ adalah kata-kata dalam bahasa Persia yang berarti syaikh (orang tua atau guru),” ujar Taqiyuddin didampingi Ketua dan Sekretaris Cisah, Abdul Hamid dan Mawardi Ismail.

Taqiyuddin menyebutkan, Na’ina Husamuddin bin Nai’na Amin yang makamnya terbuat dari marmer dan berada di Gampong Pie, Samudera, diduga kuat juga berasal-usul Persia. Sebab pada nisan makamnya ditemukan bait- bait syair dalam bahasa Persia. Tokoh tersebut wafat pada 823 H atau 1420 M.

Makam lainnya adalah milik Nur Khatun ‘Umar di Gampong Kuta Krueng, Samudera. Perempuan  yang wafat pada 805 H (1403 M) ini diyakini berasal-usul Persia lantaran “khatun” pada namanya adalah kata-kata Persia yang berarti puan atau nyonya. 

Berikutnya, makam milik tokoh bernama Ash-Shadrul Ajal Khawwajah Muhammad bin Sulaiman yang wafat pada 845 H (1442 M). Kuburnya berada di Gampong Kuta Krueng, Samudera, dekat makam Nur Khatun ‘Umar.

“Gelar ‘Ash-Shadrul Ajal’ mengesankan suatu keterpengaruhan dengan Persia. Dan, gelar ‘Khawwajah’ berasal dari bahasa Persia yang berarti syaikh atau guru. Dalam thariqat An-Naqsyabandiyyah, gelar tersebut sering digunakan untuk makna demikian,” kata Taqiyuddin.

Di lokasi makam Khawwajah Muhammad, tim Cisah menemukan makam milik Khawwajah Tajuddin bin Ibrahim yang wafat pada 857 (1453 M). Masih di Kuta Krueng, ditemukan pula makam Mir Hasan yang wafat 910 H (1505 M). Gelar “Mir” pada namanya berasal dari bahasa Persia yang berarti pengeran (amir).

Penjelajah asal Maroko, Ibnu Baththuthah dalam laporan kunjungannya ke Sumuthrah (Samudra Pasai) pada pertengahan abad ke-14 M, menyebutkan dua tokoh utama di Samudra Pasai yang tidak disangsikan lagi berasal dari Persia. Tokoh tersebut Al-Qadhi Asy-Syarif Amir Sayyid Asy-Syiraziy (Syiraz) dan Tajuddin Al-Ashbahaniy (Isfahan). Keduanya adalah di antara ahli fiqh di Samudra Pasai.

Ibnu Baththuthah ikut menyebut nama Amir Daulasah. Menurut Taqiyuddin, pengucapan yang tepat adalah Daulat atau Daulah Syah. Ini juga menyuratkan pengaruh Persia di Samudra Pasai.

Nama lainnya yang memiliki cita rasa Persia di Samudra Pasai adalah Bahruz. “Keberadaan tokoh-tokoh tersebut merupakan bukti bahwa kebudayaan Islam Persia telah menduduki posisi penting dalam sejarah Samudra Pasai,” ujar Taqiyuddin.

Selain nama-nama tokoh, Ibnu Baththuthah menyebut nama-nama bangunan atau tempat yang menguatkan keterpengaruhan Samudra Pasai dengan kebudayaan Persia.

Sebagaimana diketahui, Samudra Pasai merupakan sebutan untuk satu wilayah di pesisir utara Aceh. Di sini, antara abad ke-7 Hijriah atau ke-13 Masehi sampai ke-10 H atau ke-16 M telah berdiri dinasti Islam pertama di Sumatera yaitu Kerajaan Islam Samudra Pasai.(syah)

Dikutip dari www.misykah.com, wabsite resmi Cisah, tayang pada 5 November 2013.

Posting Komentar

0 Komentar