Paya Laot, “Si Cantik” yang Memikat sejak Zaman Lampau

Pemandangan Paya Laot, Gampong Pulo Ara, Kecamatan Peudada,
Kabupaten Bireuen, Aceh. (Foto: Khairul Syuhada)

PAYA LAOT tak sedalam dulu lagi. Rawa-rawa yang dilingkungi jejeran bukit di Gampong Pulo Ara, Kecamatan Peudada, Bireuen, itu kini acap kering. Apalagi, waktu-waktu hujan enggan turun. Permukaan tanah di rawa-rawa, yang merupakan waduk penyimpan air bagi persawahan di sekitarnya, terlihat retak-retak. Akibatnya, hektaran sawah di lima gampong dalam kecamatan yang terletak di barat ibukota Kabupaten Bireuen, ini berada dalam kondisi meradang merana. Sebab, Paya Laot merupakan satu-satunya sumber air untuk pengairan lahan yang hanya dua kali dalam setahun ditanam padi.

Lokasi Paya Laot dari Citra Satelit Google

Menurut warga setempat, pendangkalan Paya Laot adalah akibat penumpukan lumpur yang terjadi pada musim-musim penghujan. Lumpur itu tertahan dalam rawa-rawa karena pintu air yang dibangun sekarang, katanya, tidak efektif untuk menghanyutkan lumpur ke saluran-saluran air yang telah tersedia. “Pintu air yang dibuat pada zaman Belanda, lebih bagus!” ujar seorang warga kepada misykah.com yang berkunjung ke sana pada Sabtu, 21/2/2014.

Paya Laot, yang berarti rawa-rawa yang luas seperti laut atau dekat dengan laut, adalah salah satu nadi kehidupan bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Ia juga bak gadis cantik yang mempesona, terutama saat-saat tirai senja mulai turun, atau malah tatkala hujan tengah menyulap rawa-rawa ini jadi tampak seperti danau yang luas. Paya Laot menyajikan panorama alam tropis yang memikat untuk kelasnya.

Tak ayal lagi, peran Paya laot bagi kehidupan, sekaligus juga pesonanya, telah memikat manusia untuk mendirikan pemukiman di situ semenjak dahulu kala. Ini terbukti dengan ditemukan kompleks-kompleks makam dari zaman Samudra Pasai di perbukitan sekitar Paya Laot. Puluhan nisan yang tersebar di atas bukit-bukit merupakan bukti konkret akan adanya detak kehidupan masa lalu di daerah ini.

Suatu penerawangan ke kedalaman masa lampau akan memperlihatkan kepadatan dan keramaian masyarakat yang lalu-lalang di Paya Laot. Mereka diduga telah membuka lahan bercocok tanam yang luas dengan memanfaatkan waduk alami ini sebagai sumber pengairan. Sebuah peradaban pun muncul, tentunya. Kemakmuran dan keindahan panorama alam sebuah daerah, yang sebenarnya hanya berjarak beberapa kilometer saja dari pesisir laut, telah mendorong berkembangnya kehidupan sosial-budaya yang arif dan bijaksana.

Hal Ini pun bukan tanpa bukti. Siapa kira, sebuah nisan yang coraknya tidak diragukan lagi berasal dari pesisir barat laut Aceh (Aceh Besar dan Banda Aceh), atau yang disebut dengan nisan plang-pleng, ditemukan pula di Paya Laot. Corak dan gaya ornamentik nisan tersebut mengacu ke Lamuri (Aceh) era abad ke-15. Pada nisan tersebut juga terpahat dengan jelas kalimat Tauhid yang maknanya: Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah. Ternyata, Islam telah menghadirkan sebuah semangat (ruh) yang membuat kawasan Paya Laot bersemikan budaya.

Paya Laot dengan lingkungan hidup dan khazanah warisannya, dengan demikian, pantas dilestarikan untuk menjadi warisan ke anak-cucu.  (Tim misykah.com)

Dikutip dari www.misykah.com, website resmi Cisah, tayang pada 28 Februari 2014.


Baca juga:
Bireuen 600 Tahun Silam Bukan Legenda
Peudada dan Sejarahnya yang tak Terduga

Nisan model “plang-pleing” di Gampong Pulo Ara,
Peudada, Bireun, yang bertulis kalimat Tauhid.
(Foto: Khairul Syuhada)

 

Motif floris pada nisan model “plang- pleing”
di Gampong Pulo Ara, Peudada, Bireuen.
(Foto: Khairul Syuhada)

 

Lihat foto-foto lainnya:





 

Posting Komentar

0 Komentar