Dua kali ke Makkah. Dua kali naik haji. Itu sedikitnya. Boleh jadi, lebih.
Orang-orang yang menguburkannya pada Hari Senin, 10 Rabi'ul Awwal 942 Hijriah, mengaku bahwa dia seorang tuan yang shalih.
"Harapan, tuan shalih ini!" demikian bunyi ungkapan dalam Bahasa Jawiy yang diukir seniman di batu nisan kubur Almarhum.
Mereka tidak memutuskan. Tidak juga memujikannya kepada Allah. Sebab, hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Mereka cuma menyatakan apa yang mereka saksikan sekaligus berharap semoga Almarhum benar-benar tuan yang shalih seperti penilaian mereka.
Untuk mendasari penilaian dan kesaksian itu, mereka mengajukan suatu bukti.
Seniman mengukir kalimat dalam Bahasa Arab di batu nisan, berbunyi:
وَهُوَ حَجَّ وَجَبَرَ
"Dia telah melaksanakan ibadah haji (wajib), dan telah menutupi kekurangan haji-nya itu dengan haji tathawwu' (haji sunat)."
Kata جبر (jabara) secara harfiah berarti memperbaiki bagian yang patah atau rusak. Terkait amal ibadah, "jabara" bermakna menutupi apa yang kurang dari amal ibadah yang wajib, atau menyempurnakan pahala amal ibadah yang wajib. Dan itu adalah dengan amal ibadah yang sunat, berdasarkan hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiya-Llahu 'anhu:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ : انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ
"Amal seorang hamba yang pertama sekali diperhitungkan pada Hari Kiamat adalah shalat-nya. Jika shalat-nya bagus, ia pasti menang dan lulus. Jika rusak, ia pasti kecewa dan rugi. Jika ada sesuatu yang kurang dari shalat wajib-nya, maka Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung berfirman: 'Lihatlah, adakah shalat sunat yang dikerjakan oleh hamba-Ku itu, sehingga apa yang kurang dari shalat wajib-nya dapat disempurnakan?' Begitulah selanjutnya seluruh amal ibadahnya diperhitungkan." (Hadits riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Dari sini, kalimat وَهُوَ حَجَّ وَجَبَرَ bermakna ia telah menunaikan haji wajib dan juga haji sunat yang dapat menutupi kekurangan atau menyempurnakan pahala haji wajib-nya.
Menyangkut ibadah haji, menunaikannya tentu tidak mudah sekalipun dengan sarana transportasi serta sarana-sarana lain yang sudah berkembang seperti dewasa ini. Karenanya, kesusahan yang mesti dilewati di masa lampau untuk bisa naik haji, begitu pula tingkat kesabaran yang diperlukan, sesungguhnya suatu hal yang amat sukar untuk dibayangkan di waktu sekarang. Terkait persoalan ini, buku berjudul "Surat-surat Aceh-Makkah" buah karya Tuan Masykur Syafruddin, yang baru saja diterbitkan Mapesa, dapat memperlihat suatu gambaran tentang naik haji di masa lampau!
Kendati dimaklumi, naik haji adalah amal ibadah yang menuntut tingkat kesabaran tinggi, tapi Almarhum yang dikuburkan di Aceh sekitar 488 tahun silam telah melaksanakan haji wajib-nya, dan bahkan ia telah menutupi kekurangan haji wajib-nya itu dengan haji sunat.
Bagaimana Almarhum melakukannya? Apakah setelah menunaikan haji wajib-nya, Almarhum tinggal di Makkah dan menunggu musim haji tahun berikutnya untuk menunaikan haji sunat, atau apakah ia pulang ke Aceh terlebih dahulu dan kemudian berangkat lagi untuk haji sunat pada tahun berikutnya? Apakah Almarhum hanya sekali melaksanakan haji sunat, ataukah berkali-kali?
Bagaimanapun itu, menunaikan haji wajib dan kemudian menunaikan haji sunat tentu merupakan sebuah tanda keshalihan yang cukup terang. Untuk mendalilkan keshalihan yang disaksikan, diakui, dan diharapkan agar pada hakikatnya memang benar demikian, informasi itu muncul di batu nisan. Sebuah informasi yang unik, istimewa, dan baru satu-satunya ditemukan. Informasi semisal ini, pada hakikatnya, juga menampilkan corak narasi sejarah Islam yang memberitahukan hal-hal yang penting dan pokok dalam kehidupan Muslim, dan bukannya hal-hal yang remeh-temeh dan tidak bermanfaat.
Lewat inskripsi pada batu nisan kuburnya, Almarhum diketahui bernama Tun Muhibbu-Llah. Tun adalah gelar orang terhormat (bangsawan). Muhibbu-Llah berarti orang yang mencintai Allah.
Inskripsi pada batu nisan juga memberitahukan bahwa Tun Muhibu-Llah adalah putra seorang ulama bernama Syaikh Jum'ah (Jum'at). Ayah dari Syaikh Jum'ah atau kakek dari Tun Muhibbu-Llah, tampaknya, adalah seorang hartawan dan saudagar kaya. Ini terkesan dari nama populer sang kakek yang dipahat pada batu nisan (semampu yang dapat dibaca pada waktu ini). Ia dipanggil dan terkenal dengan Husain Muba-Mubili jika diucapkan dengan Arab. Namun, pengucapan yang sesungguhnya lebih tepat adalah apabila diucapkan dalam Bahasa Aceh: Husain Meuba-Meublo. Secara harfiah, Meuba-Meublo berarti: kami membawa, dan kami membeli. Nama populer itu, mungkin saja, berasal dari slogan yang lazim digunakan dalam aktifitas niaganya: "Meuba-Meublo" (kami memasok barang, dan kami juga membeli barang). Atau, tidak mustahil juga jika "Meuba-Meublo" adalah semacam merek bagi perusahaan dagang yang dimilikinya, dan itu kemudian melekat pada namanya: Husain Meuba-Meublo.
Dari nama-nama tokoh dalam garis keturunannya, Tun Muhibbu-Llah tampaknya mewarisi ilmu pengetahuan ayahnya yang ulama dan juga kekayaan yang turun-menurun sejak kakeknya. Saudagar Aceh yang kaya, Husain Meuba-Meublo telah membesarkan dan mendidik putranya Jum'ah (Jum'at) untuk menjadi seorang ulama. Dan, pada gilirannya, dalam bimbingan dan asuhan ayahnya yang ulama, Muhibbu-Llah pun tumbuh menjadi seorang tuan yang shalih dan memperoleh kehormatannya sebagai seorang bangsawan bergelar Tun. Sebagai seorang keturunan dari tokoh-tokoh semisal itu, kiranya, tidak ada yang ganjil jika Tun Muhibbu-Llah adalah seorang yang layak pergi berulang kali menuju Haramain (dua Tanah Haram) untuk menunaikan ibadah haji, menimba ilmu pengetahuan, menyampaikan misi Aceh atau lain sebagainya.
Kubur Tun Muhibbu-Llah bin Syaikh Jum'ah bin Husain Meuba-Meublo yang meninggal dunia pada Senin, 10 Rabi'ul Awal 942 (17 September 1535) berada di Gampong Lam Beutoeng, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar. Kubur Almarhum adalah salah satu kubur dalam kompleks kubur yang tampaknya adalah pemakaman keluarga.
Kompleks makam Tun Muhibbu-Llah bin Syaikh Jum'ah bin Husain Meuba-Meublo Lam Beutong, Indrapuri, Aceh Besar. |
Kompleks pemakaman dan kubur Tun Muhibbu-Llah--semoga Allah Mengampuni dan Merahmati mereka semuanya--terungkap setelah ziarah ilmiah tim yang dipimpin langsung oleh Pembina Istimewa Mapesa, Tuan Kolonel Jun Mastra, pada 3 Syawwal lalu. Dalam Tim: Tuan Mizuar Mahdi Al-Asyi, Ketua Mapesa; Tuan Yoesri Ramli, Ekspeditor dan Pemandu Senior Mapesa; Tuan Chairul Hidayah Al-asyi, Peneliti Muda Mapesa; Ananda Di Andra, kader Mapesa; dan seorang warga setempat. Tim telah mengamati dan mencatat berbagai hal terkait batu-batu nisan dalam kompleks kubur tersebut, dan merencanakan tindak lanjut baik dari sisi pelestarian maupun publikasi.
Seraya mengapresiasi kerja Tim, saya mengucapkan terima kasih atas "persembahan istimewa" di bulan Syawwal yang penuh berkah ini.
Epitaf selengkapnya:
1. هذاالقبر العَبِيدُ ا
2. لله المُسَمَّى تُنْ مُحِبُّ
3. الله هَرَبَنْ (؟)
1. تُوَنْ صَالِح اين
2. وَهُوَ حَجَّ وَجَبَرَ
3. ابن شَيْخ جُمعة
1. ابن حُسَيْن مُبَامُبِلِي
2. فد يوم الإثنين
3. سفوله هار
1. بولن ربيع الأ
2. أول فد هجرة
3. اين سنة: 942
(Inilah kubur orang yang kuat beribadah kepada Allah, bernama Tun Muhibbu-Llah, haraban (?) (harapan?): tuan shalih ini, dan dia telah berhaji dan menutupi kekurangan hajinya [dengan haji sunat], anak Syaikh Jum'ah (Jum'at), anak Husain Meuba-Meublo. Pada hari Senin, sepuluh hari bulan Rabi'ul Awal pada hijrah ini tahun 942)
Inskripsi yang memuat epitaf pada bagian nisan kepala dan kaki milik Tun Muhibbu-Llah bin Syaikh Jum'ah bin Husain Meuba-Meublo. |
Semoga Allah melimpahkan keampunan dan rahmat-Nya.
Pada akhirnya, hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
والله أعلم بالصواب وإليه المرجع والمآب
Punge Blangcut, 7 Syawwal 1444
Catatan:
0 Komentar