Berita terakhir yang sampai kepada saya semakin menegaskan kenyataan bahwa bukan hanya narasi sejarah Aceh yang terjebak dalam pengaruh teks kolonial, tapi juga sejarah Indonesia. Bahkan, sepertinya, narasi sejarah berbagai masyarakat di Asia Tenggara yang pernah hidup di bawah penjajahan, dan yang kebaikannya telah disalahartikan oleh imperialisme Barat, mengalami hal yang sama.
Apakah itu bagian dari rencana imperialisme atau dikarenakan generasi pribumi di bawah pengaruh kolonialisme telah menobatkan penulis-penulis kolonial sebagai tumpuan kebenaran, atau karena keduanya sekaligus, ini adalah persoalan di mana kita bisa berbeda pandangan! Yang jelas, "sok tahu" dan "sok pintar" kolonial dalam menarasikan sejarah masyarakat Islam, tanpa diminta, telah dipercayai dan diduplikasi. Hanya bagian teks kolonial yang menyinggung perasaan atau terdengar seperti menghina yang "dipijit-pijit" sedemikian rupa supaya tidak menjengkelkan. Orientalis, dalam hal ini, lebih licik; mereka mengolah kalimat di antara memuji dan menghina, mengaduk terang dengan gelap guna menerbitkan narasi berkabut hingga semuanya berakhir dengan keraguan—target final dan pokok dari kerja orientalis, dan mereka menamainya dengan "objektivitas". Untuk meluruskan atau menunjukkan apa yang merupakan fakta sesungguhnya, si duplikator, biasanya, tidak punya bahan pendukung, apalagi "barang bukti". Materi pokok yang digunakannya masih saja teks kolonial. Inilah model umum historiografi Aceh, dan saya kira, begitu pula historiografi Indonesia.
Model historiografi seperti itu bertanggungjawab atas tidak berkembangnya pengetahuan sejarah. Dampak buruk paling serius ketika narasi sejarah terikat dengan teks kolonial (seperti keterikatan budak dengan tuannya), atau lebih tepatnya, terperangkap di dalamnya, adalah hilangnya minat yang hampir total untuk menelusuri dan mengeksplorasi teks-teks di luar teks kolonial. Runyamnya lagi, sadar pun tidak terhadap adanya teks-teks di luar teks kolonial. Pura-pura tidak sadar, pura-pura tidak tahu, disebabkan kompetensi yang terbatas atau lainnya, tentu lebih buruk daripada tidak sadar.
Mungkin, itu adalah bagian dari rencana imperialisme saat mendorong romanisasi secara meluas. Seperti diketahui, imperialisme sama sekali tidak bermakna pendudukan tanah yang akan dieksploitasi. Hakikatnya adalah penundukan serta penuanan yang dipaksakan dengan kekerasan. Pengaruh penuanan bisa bertahan sangat lama, bahkan aktif di luar kesadaran!
Romanisasi terbukti efektif menghalau target ke dalam lingkaran teks kolonial dan menyekapnya di sana. Penyekapan berlangsung dalam waktu yang lebih dari cukup untuk menghilangkan kesadaran terhadap ruang luas yang menyediakan teks-teks di luar teks kolonial. Inskripsi pada batu-batu nisan dan pada benda-benda lainnya, dan sangat banyak manuskrip, menyajikan bahan-bahan sejarah yang berbeda, kuat dan bahkan kerap sekali mengejutkan! Lewat interpretasi berbekal pengetahuan dan wawasan ke-Islam-an yang kukuh, narasi atau pengetahuan sejarah yang dihasilkan terlihat lebih bersinar dengan keautentikan dan kesahihahnya. Dalam waktu yang sama, teks kolonial tampak tidak lebih dari lelucon; lebih bawah dari pseudo-sejarah.
Itulah pengantar untuk berita penemuan yang baru saja sampai kepada saya. Sebuah batu nisan dengan inskripsi yang "dahsyat" dan berhasil menyajikan suatu pengetahuan sejarah yang langka.
Lokasi di mana kubur yang ditandai dengan batu nisan bersurat itu berada di daerah yang belum pernah saya kunjungi, di seberang lautan, di daratan nan jauh dari Aceh, di Kecamatan dan Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur. Tuan Haji Syariat yang berziarah ke sana dan merekam gambar-gambar yang dipublikasi di sini menginformasikan alamat lengkapnya di Jl. KH. Agus Salim No.14, Kingking, Kecamatan Tuban, Kabupaten Tuban, Jawa Timur 62313 (tautan navigasi: https://maps.app.goo.gl/jnZ55JaZUpQGH2Zx5).
Keberadaan batu nisan kubur seperti itu di pulau paling selatan khatulitiwa sudah merupakan suatu hal mengagumkan bagi saya, yang jarang kemana-mana. Namun, nama tokoh yang dibunyikan inskripsi lebih mengejutkan, dan sulit masuk akal jika tidak benar-benar nyata di depan mata.
Lama sudah, kiranya, saya mencoba berteori tentang hubungan para penguasa atau penghuni Lamuri (kawasan situs Lamreh dan Kuta Leubok) dengan pantai Coromandel di tenggara Anak Benua India—baca lebih lanjut tentang topik ini di website Mapesa: Nisan-nisan Kerajaan Lamuri di Lamreh dan Kuta Leubok, Aceh Besar (hanya dua bagian yang sempat ditulis). Benang merah yang terlihat sebenarnya tidak begitu terang. Tapi, saya pergi mencari dukungan dari kenyataan-kenyataan geografis dan historis untuk menguatkan teori.
Penelusuran berawal dari kesimpulan bahwa bentuk batu nisan Lamuri mengusulkan gagasan sebuah arsitektur, dan bukan antropomorfik seperti lazimnya batu nisan Sumatra-Pasai dan Aceh Darussalam. Tapi, berlainan dengan makam dan nisan bertipologi Kambayat (Cambay) yang morfologi arsitekturalnya tampak tidak sulit untuk diidentifikasi, batu nisan Lamuri justru mengusulkan konsep struktur yang "tidak umum". Karena tidak umum—dalam pengalaman dan pengetahuan saya, tentunya—ruang penelusuran dipersempit ke kawasan paling relevan yang teramat sedikit diketahui, dan ruang itu sesungguhnya masih teramat luas. Pencarian asal dari sebuah gagasan arsitektur dalam ruang yang begitu luas, tidak mungkin, tanpa berhadapan dengan persoalan ambiguitas; bisa jadi ini, bisa jadi itu! Tapi pertimbangan tertentu mendorong saya untuk memilih wilayah Tamil Nadu sebagai tempat keberasalan gagasan arsitektur yang diusulkan batu nisan Lamuri.
Penyelidikan lebih jauh kemudian diarahkan pada sejarah Islam di Tamil Nadu. Tentang ini, saya hanya bisa mengungkapkan di sini bahwa informasi-informasi sejarah yang diberitahukan sejumlah bacaan merupakan pengetahuan baru yang mencengangkan bagi saya. Tidak pernah mengira seperti itu sebelumnya!
Dalam pada itu pula, saya seperti melihat benang merah yang menghubungkan Lamuri dengan Tamil Nadu, terutama lewat kemiripan pola nama tokoh-tokoh Muslim yang terkenal dalam sejarah Islam di Tamil Nadu dengan nama tokoh-tokoh penguasa yang dikuburkan di Lamreh (kawasan situs sejarah Lamuri). Yaitu, pola nama yang dibentuk dengan kata yang di-idhafat-kan kepada kata ad-din(Agama). Dalam tradisinya, pola susunan seperti ini merupakan gelar (laqab) yang lazim disebutkan sebelum nama (ism), semisal Syamsu-d-din Muhammad. Tapi, tampaknya, kemudian telah digunakan tak ubahnya nama atau sebagai nama.
Nama atau gelar tokoh yang menggunakan kata di-idhafat-kan kepada ad-din (Agama), tidak ditemukan signifikan, baik di antara tokoh-tokoh yang dikuburkan di kawasan situs Sumatra-Pasai maupun Aceh Darussalam. Tapi, di kawasan situs Lamuri (Lamreh), jumlah tokoh dengan pola nama seperti itu berhasil mengambil perhatian. Hal yang sama, kiranya, juga teramati pada nama-nama tokoh Muslim asal Arab yang dijumpai dalam sejarah Islam di Tamil Nadu.
Bentuk batu nisan Lamuri yang mengusulkan gagasan arsitektur asal wilayah Tamil Nadu, ditambah dengan kemiripan pola nama tokoh muslim terkenal (penguasa) yang muncul dalam sejarah Lamuri dan Tamil Nadu, pada gilirannya, meyakinkan saya tentang adanya koneksi di masa lampau antara dua wilayah yang dipisah lautan luas ini.
Namun demikian, saya tetap tidak menemukan teks pendukung seterang dan setegas bunyi inskripsi pada batu nisan di Tuban, Jawa Timur, yang penanggalannya ternyata mendahului semua penanggalan yang berhasil ditemukan sampai waktu ini di kawasan situs Lamuri (Lamreh, Leubok dan ke timurnya).
Identitas Al-Ma’bariy المعبري tertera dengan terang pada batu nisan Tuban, dan itu tidak menunjuk kepada lain dari seorang yang berasal dari wilayah Tamil Nadu atau pantai Coromandel. Orang Arab menyebutnya Ma’bar المعبر. Yaqut Al-Hamawiy (w. 626/1229) menyebutkan:
ثم المعبر، وهو آخر بلاد الهند
“Kemudian Ma’bar. Itu adalah penghujung daratan India.”
Inskripsi yang tersisa di batu nisan Tuban berbunyi:
1. ... المَرْحُوم [المَغْفُور]
2. سِرَ[ا]ج الدِّين [عيسى] [ابن؟]
3. صَلاَح الدِّين المَعْبَرِي تَغَمَّدَهُ
4. اللهُ بِالرَّحْمَةِ وَ الرِّضْوَانِ تُوُفِّيَ
5. يَوْمَ الأَحَدِ السَّادِسَ والعِشْرِين مِنْ
6. رَبِيعِ الأَوَّل سَنَةَ اثْنَيْنِ وَثَمَانِين وَسَبْعِمِاية
Arti:
(1) … orang yang dirahmati, [lagi diampuni]; (2) Siraju-d-Din [‘Isa] [ibn?]; (3) Shalahu-d-Din Al-Ma’bariy, semoga Allah meliputi dia; (4) dengan kasih sayang dan ridha-Nya, wafat; (5) pada hari Ahad, dua puluh enam dari; (6) Rabi’ul Awal, tahun tujuh ratus delapan puluh dua.
Komentar:
1. Sisi batu nisan di mana terdapat epitaf: pola kalimat inskripsi (epitaf), kaligrafi, bentuk batu nisan, serta ornamen dekorasi pinggir batu nisan, tidak memperlihatkan kekhususan yang membedakannya secara mendasar dari batu-batu nisan yang ditemukan di Aceh. Dari berbagai aspeknya, batu nisan tampak familiar bagi saya.
2. Baris pertama: kata المرحوم masih nyata, dan kata المغفور masih dapat diraba. Pangkal kalimat yang sudah sama sekali pupus di baris pertama sepertinya berbunyi: هذا قبر, dan bukan هذا القبر.
3. Nama atau gelar (laqab) Almarhum dapat dipastikan Siraju-d-Din, meskipun huruf alif di depan ra’telah pupus dan memperlihatkan gambar seperti ini: سرح الدين. Kata di depannya boleh jadi عيسى, nama (ism) Almarhum. Kata di depannya lagi tidak dapat dipastikan oleh karena terdapat ruang yang tampaknya terisi huruf-huruf yang sudah pupus. Kata Ibn yang berarti anak atau putra, hanya saran yang ditawarkan.
4. Shalahu-d-Din Al-Ma’bariy. Nama ini menempati posisi yang biasanya adalah nama ayah Almarhum.
5. Al-Ma’bariyالمعبري : interpretasi ini tidak sedikit pun mengandung keraguan. Penyebutan identitas asal Ma’bar ini merupakan data sejarah, yang bagi saya saat ini, merupakan satu-satunya. Ma’bar adalah wilayah Tamil Nadu atau pantai Coromandel dalam penyebutan Arab. Kehadiran tokoh ini di Tuban, Jawa Timur, ikut membuktikan penjelajahan Muslim yang luas. Saya meyakini, Ma’bar (Tamil Nadu), Lamuri (Aceh) dan Tuban terkoneksi, dan memiliki hubungan yang tidak saja dalam soal perdagangan maritim.
6. Almarhum wafat pada hari Ahad, 26 Rabi’ul Awal 782 Hijriah (7 Juli 1380). 26 Rabi’ul Awal mendatang ini genap 664 tahun meninggalnya.
7. Sisi lain dari batu nisan menampilkan dekorasi yang terkesan tidak umum pada batu-batu nisan di Aceh, tapi sejauh terkait dengan batu nisan Lamuri, dekorasi semacam itu tidak akan asing. Motif tumbuhan berbunga seperti itu juga dapat ditemukan kerabatnya pada batu-batu nisan abad ke-15 Sumatra-Pasai. Suatu hal yang seingat saya belum pernah dijumpai pada batu-batu nisan di Aceh adalah inskripsi yang membunyikan sebuah arahan. Penempatan arahan seperti itu di bagian atas atau puncak batu nisan sungguh tepat. Arahan singkat, tapi mengena!
سَلُوا الْبَاقِيَ
“Mintalah kalian kepada Yang Maha Kekal!”
Sebuah nasehat dengan perintah tegas disertai dalil (pembuktian kebenaran). Mintalah kepada Allah Yang Maha Kekal! Itulah yang paling logis. Mana mungkin masuk akal meminta kepada makhluk yang fana, yang tidak pun punya kuasa atas dirinya sendiri. Satu teks singkat yang mengungkapkan kemurnian iman, dan juga kasih sayang, supaya setiap orang tidak terjebak dalam praktik menyekutukan Allah Ta’ala yang merupakan kezaliman yang besar.
Semoga Allah mengampuni dan merahmati Almarhum serta kaum Muslimin dan Muslimat, Mu’minin dan Mu’minat sekalian, baik mereka yang telah meninggal dunia maupun yang masih hidup!
Dan akhirnya, saya kira, ini adalah teks autentik yang lebih penting dan lebih bernilai dalam menarasikan sejarah masyarakat Islam daripada teks kolonial. Namun penjelajahan untuk mengumpulkan apa yang tersisa dari teks-teks seperti ini, dan betapa luasnya belahan dunia yang belum diperiksa untuk menemukannya, adalah kegundahan yang takkan padam. Hanya kepada Allah kita berserah diri dan mengharapkan pertolongan-Nya.
Indrapuri, 1 Rabi’ul Awwal 1446.
*Publikasi ini disponsori Tuan Haji Syariat. Saya pribadi dan atas nama Mapesa menghaturkan banyak terima kasih atas kebaikan dan kemurahan hatinya. Semoga Allah melipatgandakan balasan kebaikan kepadanya.
Oleh Musafir Zaman
1 Komentar