Bandar Aceh, Penghubung Bangsa-Bangsa di Dunia

Diwai dan Naga

“orang-orang dari arah barat telah datang bersama berbagai kebaikan yang dimiliki peradaban dan kebudayaannya maka begitu pula orang-orang dari arah timur. Semuanya kemudian tumpah di Bandar Aceh Darussalam, mengisi bagian-bagian tertentu, dan pada gilirannya telah ikut melengkapi dan memegahkan struktur kebudayaan dan perabadan dengan ragam anasir terpilih dari kebudayaan dan peradaban bangsa-bangsa."

Pengantar


Bandar Aceh Darussalam bukan saja sebuah pelabuhan persinggahan di laluan barat-timur dunia. Bandar Aceh Darussalam lebih dari itu. Disiplin-disiplin semisal Sejarah, Arkeologi, Antropologi dan Linguistik tentu dapat menunjukkan bukti-bukti bahwa ia adalah sebuah negeri tujuan di mana orang-orang dari berbagai pelosok dunia berkumpul dan melabuhkan bahtera hidupnya sampai dengan ajal menjemput.
Di antara mereka yang datang adalah orang-orang yang berasal dari bangsa-bangsa pemilik peradaban besar di zaman yang lebih kuno. Mereka datang ke Bandar Aceh Darussalam, menetap, dan menyumbangkan aneka kebaikan yang berasal dari pengalaman bangsa mereka masing-masing.
Semua kebaikan yang datang dari berbagai penjuru dunia itu tumpah, mengalir dan mengisi sudut-sudut tertentu dalam berbagai aspek kehidupan untuk melengkapi peradaban dan kebudayaan yang telah dibangun oleh para penghuni lama. Hal ini secara pasti telah disemangati pula oleh Islam yang diyakini oleh para penghuni lama. Sebab, Islam menaungi, merestui, serta mendorong seluruh bentuk kebaikan, dan juga telah menyatakan bahwa manusia paling mulia di sisi Pencipta hanyalah mereka yang lebih bertaqwa.
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah Menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami Jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (Al-Hujurat: 13)
Orang-orang Muslim yang datang dari arah barat Bandar Aceh Darussalam lebih cenderung untuk memilih singgah dan mendiami negeri ini sebab selain merupakan bandar yang paling pertama dijumpai setelah melayari samudera India, ia juga adalah pangkalan Islam terbesar di daratan dan kepulauan Asia Tenggara. Hal ini sama seperti sebelumnya ketika wilayah pesisir utara Aceh menjadi tempat tujuan yang paling diminati para pedagang dari arah barat—terutama Arab, Persia dan India—dikarenakan faktor jarak tempuh yang relatif lebih dekat serta kesamaan agama dan keyakinan seperti yang dapat dipahami dari keterangan Al-Quzwaini (wafat 682 Hijriah/1284 Masehi) tentang “Jawah”, yakni wilayah yang juga disebut dengan “Sumuthrah” oleh Ibnu Baththuthah—hari ini, lebih dikenal dengan Samudra (Aceh Utara).
Dalam “Atsarul Bilad wa Akhbarul ‘Ibad”, Al-Quzwaini menulis:
“Jawah adalah negeri-negeri di pantai laut Cina (mengacu kepada pembagian laut kepada laut India dan laut Cina; Selat Melaka). Pada masa kita sekarang, para pedagang hanya mampu mencapai negeri-negeri Jawah di belahan Cina (mengacu kepada pembelahan daratan kepada daratan/kepulauan India dan daratan/kepulauan Cina). Sulit untuk mencapai negeri-negeri lain di belahan Cina disebabkan jaraknya yang jauh dan juga perbedaan agama.”
Sementara bagi orang-orang yang datang dari arah timur, Bandar Aceh Darussalam tak ubahnya gerbang yang membentangkan belahan barat dunia yang luas di depan mereka. Bandar Aceh adalah tempat mereka memasarkan berbagai produksi dan komuditi ke belahan barat sekaligus juga untuk memasok berbagai keperluan mereka dari sana.
Selain didorong kepentingan ekonomi, Bandar Aceh Darussalam, atau beberapa negeri lain yang kemudian berada di bawah kesultanan Aceh, acap pula menjadi negara suaka bagi kelompok-kelompok yang terusir dari tanah asalnya oleh sebab penaklukan atau pertikaian internal. Namun faktor yang terlebih penting untuk disebutkan adalah karena Bandar Aceh Darussalam telah menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam terkenal di Asia Tenggara. Ketertarikan orang-orang yang menghuni wilayah-wilayah di arah timur untuk mempelajari dan mendalami Islam niscaya mendorong mereka untuk datang dan berdiam di Bandar Aceh Darussalam.
Sebagaimana orang-orang dari arah barat telah datang bersama berbagai kebaikan yang dimiliki peradaban dan kebudayaannya maka begitu pula orang-orang dari arah timur. Semuanya kemudian tumpah di Bandar Aceh Darussalam, mengisi bagian-bagian tertentu, dan pada gilirannya telah ikut melengkapi dan memegahkan struktur kebudayaan dan perabadan dengan ragam anasir terpilih dari kebudayaan dan peradaban bangsa-bangsa.
Demikianlah pengantar yang sedikit panjang ini telah sengaja ditulis agar dapat menjadi “alat bantu” memahami beberapa informasi yang akan diungkapkan nantinya.
Meuseuraya di Blang Oi

Ahad 10 April lalu, Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) melakukan meuseuraya (gotong-royong) membersihkan dan menata kembali satu kompleks makam peninggalan sejarah Bandar Aceh Darussalam yang terletak di Gampong Blang Oi, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh. Dalam kegiatan tersebut, Mapesa juga melakukan dokumentasi serta mencatat berbagai data dan informasi.
Blang Oi adalah sebuah gampong dalam Kecamatan Meuraxa, bertetangga dengan Gampong Deah Glumpang, Deah Baro, Alue Deah Tengoh yang terletak di utaranya, Gampong Baro di selatan, Gampong Punge Ujong dan Lampaseh Aceh di timur, dan Gampong Lambung serta Cot Langkuweuh di barat.
Kecamatan Meuraxa sendiri merupakan kecamatan di pesisir barat Kota Banda Aceh yang berbatasan dengan laut di sebelah utara, Kecamatan Jaya Baru di selatan, Kecamatan Kuta Raja di timur, dan Kabupaten Aceh Besar di sebelah barat.
Dari sisi keletakannya, Blang Oi berada di bagian tengah Kecamatan Meuraxa, dan terhalang oleh daratan sederet gampong dari bibir laut. Namun begitu, sebagian besar bentang lahan gampong tersebut merupakan rawa-rawa belakang (backswamp) yang digenangi pasang laut dari arah Alue Deah Teungoh dan Deah Glumpang. Sebelum tsunami 2004 menyapu kawasan pesisir Kota Banda Aceh, rawa-rawa itu tampaknya pernah difungsikan untuk lahan budidaya ikan. Kini, kehidupan baru masih sedang tumbuh di Blang Oi.
Dengan mengacu kepada sebuah peta yang dibuat pada masa kolonial Belanda dapat diketahui bahwa sejak 100 tahun yang silam sampai dengan hari ini, tidak ada perubahan geomorfologis menonjol selain adanya sebuah kanal dari arah Deah Glumpang yang membelah Blang Oi dan Deah Baro. Kanal ini tidak muncul dalam peta kolonial.
Peta tersebut membagi lanskap Blang Oi kepada tiga bagian: kawasan hunian (permukiman), kawasan lahan kering (kebun-kebun kelapa dan padang) dan kawasan lahan basah (rawa-rawa/sawah).
Permukiman Blang Oi tampak relatif bersambung dengan permukiman Deah Blang yang terletak di timur lautnya, sedangkan dengan permukiman Deah Baro dan Deah Teungoh terhubung lahan kering yang menjurus ke utara. Di sisi barat, dijumpai lahan kering yang menghubungkan wilayah gampong ini dengan permukiman Lambung dan Cot Lamkuweuh. Selebihnya, permukiman Blang Oi dikelilingi oleh lahan basah (wetland): di bagian utaranya adalah rawa-rawa, dan di bagian selatannya adalah tanah persawahan yang luas. Namun dengan mempertimbangkan rawa-rawa yang terbilang jauh dari pesisir laut dan dihalangi daratan gampong-gampong lain, maka dapat saja diperkirakan bahwa rawa-rawa itu sebelum satu abad yang lalu juga merupakan persawahan yang luas, dan dari situ pula agaknya toponimi Blang Oi diangkat.
Dari sini tampak jalur perhubungan utama yang digunakan penghuni permukiman Blang Oi dari dan ke kawasan pesisir Ulee Lheu (Ulee Lheuh, yakni tanjung yang terpisah dari daratan utama atau mainland Aceh) adalah jalur yang melewati Deah Blang ke Ulee Cot, dan dari sana dengan menggunakan transportasi air ke Ulee Lheu. Jalur perhubungan yang demikian memperlihatkan lokasi kompleks makam yang telah sengaja dipilih di bagian belakang dan luar permukiman Blang Oi, pada lahan kering yang tidak jauh dari rawa-rawa dan memiliki keletakan astronomis 5°33'22.9"N 95°17'48.3"E. Sekarang, lokasi kompleks makam tersebut berbatasan dengan tanah milik Pak Ahmad di sisi utaranya, tanah Pak Nasir di selatan, tanah Tgk. Rusli Raden (mukim Meuraxa) di timur, dan jalan umum di barat.
Berangkat dari kenyataan kompleks makam ini sama sekali tidak mengalami kerusakan yang berarti dalam bencana tsunami 2004, maka perlu pula diberi perhatian terhadap posisi atau keletakan kompleks makam yang tampaknya telah dipilih dengan mempertimbangkan hal-hal terkait kelautan serta mitigasi bencana.
Diwai
Memasuki kompleks makam yang kini berada tepi jalan Abdussalam, Dusun I, Lam Oi, terlihat struktur batu yang diturap dengan bahan perekat yang khas. Struktur tersebut merupakan tembok atau dinding persegi panjang berorientasi timur-barat yang mengelilingi makam-makam.
Ada dua struktur tembok yang dijumpai mengelilingi kompleks makam: satunya (A) berada di sebelah luar dengan ketinggian rata-rata 80-95 cm dari permukaan tanah dan tebal sekitar 87 cm; dan satunya lagi (B) berada di sebelah dalam pada ketinggian yang sejajar tembok A, dengan ketebalan sekitar 48-60 cm dan sedikit lebih tinggi dari permukaan tanah di mana nisan-nisan makam ditancapkan. Tembok A memiliki keliling 10,90 m x 16,70 m, sedangkan keliling tembok B adalah 5,90 m x 13,50 m.
Tembok-tembok yang mengelilingi pemakaman semisal ini acap kali dijumpai sepanjang wilayah pesisir Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Masyarakat di wilayah pesisir sudah lazim dan secara turun-temurun menyebutnya dengan Diwai. Diwai juga terkadang menjadi toponimi suatu tempat seperti halnya Dusun Diwai Makam di Lambaro Skep, Kecamatan Kuta Alam, lantaran terdapat satu kompleks pemakaman bersejarah yang disebut dengan Diwai Makam. Dan kompleks makam di Blang Oi ini dikenal oleh masyarakat setempat dengan Malem Diwai—“malem” secara fonetik dekat dengan kata ‘alim dalam bahasa Arab yang berarti orang alim, atau dari mu’allim yang berarti guru atau juga pelayar.
Kata “Diwai” tampaknya hanya dikenal dan digunakan oleh masyarakat Aceh, khususnya wilayah pesisir Banda Aceh dan Aceh Besar, dan tidak digunakan oleh masyarakat lain di kepulauan Jawi (sekarang: Indonesia) atau di Semenanjung Melayu.
Diwai merupakan sebuah serapan berasal dari kata dalam bahasa Persia: Diwar atau Divar (ديوار، ديفار), yang berarti dinding, tembok, pagar.
Dilihat dari sisi mengakarnya sebutan Diwai dalam ingatan masyarakat Aceh, maka dapat saja dikatakan bahwa pola pembangunan Diwai atau Diwar baik untuk pemeliharaan makam-makam yang terletak di daerah yang rendah, maupun untuk tujuan lainnya, telah diperkenalkan oleh orang-orang yang berhijrah dari kawasan Persia atau dari arah barat Bandar Aceh Darussalam.
Persia sendiri memiliki tembok bersejarah yang fenomenal dari masa Sassanid sepanjang 200 km di daerah laut Kaspia, dan dikenal dengan Gorgan Divar. Maka tidak mengherankan apabila bagian dari peradaban Persia ini telah menjamah daratan Bandar Aceh Darussalam dibawa oleh koloni-koloni yang datang dari arah barat.
Ada 21 makam dan 29 nisan yang dijumpai di dalam struktur Diwai; 19 nisan berada di dalam diwai B, dan 10 lainnya di luar diwai B. Semua nisan bertipologi Aceh Darussalam Abad ke-17—ke 19 Masehi.
Dua makam di antaranya memiliki batu nisan yang dilengkapi dengan batu badan dan tampak lebih menonjol dari makam-makam lainnya. Dari bentuk dan hiasan pada kedua makam yang letaknya berdampingan itu dapat diketahui bahwa kubur yang sebelah barat adalah milik seorang pria sedangkan yang sebelah timur milik seorang wanita.
Naga
Dalam diwai B, satu nisan mengundang ketertarikan yang khusus. Nisan tersebut memiliki ornamen berbentuk cakar atau sirip yang tajam. Sepintas, ornamen semisal ini menimbulkan kesan ganas dan seram, dan tidak lumrah dalam kesenian Islam secara umum.
Keberadaan ornamen yang demikian pada kubur orang-orang Muslim dengan sendirinya mengundang tanda tanya dan memerlukan suatu penjelasan. Berikut ini adalah apa yang dapat dijelaskan untuk sementara waktu mengenai persoalan ini.
Dalam abad ke-11 Hijriah (ke-17 Masehi), ekspedisi-ekspedisi militeris yang dilancarkan Almarhum Sri Perkasa Alam Sultan Iskandar Muda untuk menyelamatkan bangsa-bangsa Islam serta mengikis pengaruh imperialisme Barat di kawasan Asia Tenggara telah membawa pekembangan baru dalam dunia kebudayaan di Bandar Aceh Darussalam. Anasir-anasir kebudayaan yang berasal dari Timur Jauh, yang sebelumnya dapat dikatakan tidak begitu menonjol, dalam periode pemerintahan Sultan Agung Aceh ini tampak mulai mendapatkan tempat yang istimewa dan berkelanjutan sampai penutup zaman Aceh Darussalam.
Seiring hubungan politik yang semakin menguat antara Aceh Darussalam dan negeri-negeri di Semenanjung Melayu atau Indocina, maka berbagai bentuk jalinan pun ikut terbentuk antara Aceh Darussalam dengan berbagai negeri di Timur baik itu negeri-negeri yang berada dalam dominasi kebudayaan Cina atau bahkan Cina sendiri.
Lonceng Cakra Donya, yang sekarang dipajang di halaman Museum Negeri Aceh, dan konon katanya dihadiahkan oleh Laksamana Cheng-Ho dalam kunjungannya ke Samudra Pasai pada abad ke-15 Masehi, tampaknya adalah genta yang berasal dari waktu paling lama sekitar abad ke-17 Masehi (Era Ming-Qing), yang menandai keeratan hubungan diplomatik Aceh Darussalam dengan Cina. 
Keeratan hubungan yang terwujud dalam berbagai aspek kehidupan pada gilirannya mendorong terciptanya sebuah tranformasi budaya di mana anasir-anasir dari barat dan timur telah diberikan porsi seimbang dalam suatu wujud keterpaduan yang apik di ruang kebudayaan dan peradaban Aceh Darussalam. Seni rupa Aceh Darussalam yang terjelma dalam pahatan dan ukiran batu-batu nisan makam dari abad ke-11—ke-13 Hijriah (ke-17—ke-19 Masehi) kiranya dapat menjadi saksi atas transformasi budaya yang berlangsung dalam waktu itu.
Kendati prinsip-prinsip umum dalam pemahatan batu nisan makam di Aceh masih sebagaimana abad sebelumnya, namun bentuk dan ornamen (ragam hiasan) pada batu nisan telah mengalami perubahan-perubahan tertentu yang pada akhirnya menampilkan sebuah gaya seni yang sama sekali berbeda dari masa sebelumnya. Anasir-anasir kesenian dari Timur Jauh, yang dalam hal ini daratan Cina atau Tiongkok, mulai berpenetrasi dan semakin dapat berasimilasi dengan kesenian yang telah mantap di Bandar Aceh Darussalam.
Ornamen yang berupa cakar atau sirip tajam pada batu-batu nisan atau bangunan adalah salah satu anasir kesenian yang terserap dari kebudayaan Cina lewat koloni-koloni Cina Muslim atau Indocina Muslim yang tinggal menetap di Bandar Aceh Darussalam. Cakar atau sirip tajam itu sendiri berhubungan dengan makhluk mitologi dalam tradisi Cina, yaitu naga.
Naga, atau yang dalam bahasa Cina disebut dengan Lung/Long, merupakan ular besar dengan tubuh yang panjang dan bersisik serta memiliki empat kaki. Dalam tradisi Cina, naga bukan hewan menyeramkan seperti dalam gambaran masyarakat-masyarakat di Dunia Barat, tapi justru melambangkan kekuatan yang besar dan bermanfaat, khususnya kendali atas air, hujan, angin, dan banjir. Naga juga merupakan perlambang kekuatan, kekuasaan, dan keberuntungan. Kaisar Tiongkok menggunakan naga sebagai lambang kekuasaan kekaisaran dan kekuatannya. Dalam bahasa sehari-hari Tiongkok, orang yang hebat dan luar biasa disamakan dengan naga (https://ms.wikipedia.org/wiki/Naga_Cina)
Di Cina, cakar-cakar naga digunakan sebagai lambang perbedaan hierarki. Sebuah sumber informasi menyebutkan bahwa pada zaman Dinasti Zhou, naga berkuku lima diperuntukkan kepada Putera Kayangan (Maharaja), naga berkuku empat untuk golongan bangsawan, dan naga berkuku tiga untuk para menteri. Pada zaman Dinasti Qing pula, naga berkuku lima mewakili Maharaja dan naga berkuku tiga dan empat diuntukkan kepada rakyat jelata (https://id.wikipedia.org/wiki/Naga_Tiongkok).
Sumber lainnya juga menyebutkan, undang-undang naga bercakar lima pertama sekali diberlakukan pada 1336 Masehi (masa Dinasti Yuan). Dalam undang-undang tersebut, masyarakat umum dilarang menggunakan lambang naga bercakar lima bertanduk dua. Undang-undang itu pada masa berikutnya diberlakukan pula oleh Kaisar Ming yang menjadikan naga bercakar lima sebagai lambang khusus dirinya, sedangkan naga bercakar empat biasanya diperuntukkan untuk kaum bangsawan kerajaan dan pegawai berpangkat tinggi, dan yang bercakar tiga untuk menteri berpangkat rendah dan rakyat jelata. Untuk wilayah-wilayah yang membayar upeti kepada kaisar, mereka hanya diizinkan untuk memakai lambang naga bercakar empat (https://ms.wikipedia.org/wiki/Naga_Cina#Cakar_naga).
Dari sini dapat dipahami bahwa ornamen cakar yang bervariasi antara cakar tiga sampai lima pada batu-batu nisan Aceh abad ke-11—ke-13 Hijriah (ke-17—ke-19 Masehi) tidak ditujukan untuk memberi kesan ganas dan seram atau hal-hal yang menakutkan, tetapi justru untuk menandai asal keturunan atau etnis orang yang dimakamkan sekaligus juga, mungkin, kedudukannya di tengah-tengah kaumnya. 
Lain itu, dalam mitologi Cina juga disebutkan bahwa naga memiliki 9 putra, yang antara lain adalah Pu-lao, Chaofeng dan Baxia.
Pu-lao adalah naga yang suka berteriak dan diletakkan sebagai tangkai genta seperti terlihat pada Lonceng Cakra Donya yang sekarang berada di kompleks Museum Negeri Aceh.
Chaofeng merupakan putra naga yang menyukai tempat-tempat curam, dan dalam arsitektur Cina, ia diletakkan pada keempat sudut atap, sedangkan Baxia merupakan naga yang suka memikul beban, dan diletakkan di bawah tugu kubur.
Konsep dekorasi dalam arsitektur tradisional Cina yang meletakkan Chaofeng dan Bixia pada tempat-tempat tadi agaknya juga telah terserap ke dalam seni pahat batu-batu nisan Aceh Darussalam abad ke-11—ke-13 Hijriah (ke-17—ke-19 Masehi) di mana stilir figur-figur tertentu telah dijumpai pula pada sudut-sudut persegi empat bagian puncak dan bawah batu-batu nisan.
Anasir kebudayaan Timur Jauh dapat diamati pula pada ornamen bagian alas (bawah) batu nisan yang berupa panel-panel persegi menyerupai gambar gapura. Sebelum abad ke-17 Masehi, ornamen semisal ini tidak ditemukan pada batu-batu nisan Aceh Darussalam.
Naga dalam kepercayaan Cina juga sering dikaitkan dengan air, dan dipercayai sebagai raja atau penguasa air yang mengalir seperti air terjun, sungai atau laut. Barangkali, dari sebutan naga dalam bahasa Cina itu pula orang Aceh menyebutkan “lung” untuk aliran-aliran air. Begitu pula barangkali dengan sebutan “cinu” (tempurung yg diberi tangkai untuk mengambil air; gayung) berasal dari kata chiniu dalam bahasa Cina (chiniu dirupakan dalam barang kerajinan yang bertangkai naga).
Namun satu catatan penting yang mesti segera ditegaskan ialah bahwa berbagai anasir kebudayaan yang terserap dari Timur Jauh telah dipisahkan jauh-jauh dari makna religius yang dikandungnya. Anasir kebudayaan tersebut diserap untuk semata-mata memperkaya khazanah kebudayaan dan peradaban tanpa mengikutkan kepercayaan-kepercayaan yang dibawanya, sebab firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Pada hari ini telah Aku Sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku Cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku Ridai Islam sebagai agamamu.” (Al-Maidah: 3)
Akhir Kata
Mengkaji sejarah kebudayaan Aceh sama artinya mengkaji sejarah kebudayaan berbagai bangsa di dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menganugerahkan untuk Aceh keletakan geografis yang penting di laluan bahari dunia, menunjukinya kepada jalan-Nya yang lurus, dan memberikan berbagai kebaikan yang dikandung buminya untuk menjadi modal dalam rangka mengagungkan Nama-Nya di berbagai pelosok dunia belahan timur. Aceh dengan demikian menjadi tempat perjumpaan yang dipenuhi iman kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Orang-orang dari berbagai bangsa di barat dan timur datang dan menetap serta memperkaya kebudayaan Islam yang dibina di Bandar Aceh Darussalam.
Maka salah satu harapan besar di masa depan, Bandar Aceh Darussalam dapat kembali mengambil peran masa silamnya, menjumpakan berbagai bangsa di dunia di bawah naungan tuntunan ilahi yang menyerukan kepada persaudaraan dan perdamaian.
Bitai, 14 Rajab 1437 Hijriah.

Posting Komentar

0 Komentar