Pemimpin Besar


حبب فتى السنية لك عسبان التي يفرع تاريخها من تلك الهجرة العالية الشريفة المحمدية

“Pemuda yang terlahir dari rahim wanita terhormat yang engkau sunting sangat menyukai pelepah-pelepah kurma yang sejarahnya bercabang dari hijrah Muhammad yang mulia dan tinggi itu.”
Inilah kubur Tuan kami raja yang mulia lagi agung, yang mengesahkan dan memberikan anugerah, Penghulu kami Seri Paduka Sultan 'Alauddin Manshur Syah, Naungan Allah di dunia dan alam yang luas, semoga Allah mengekalkan baginya kesultanan dan kerajaannya, dan meluaskan kebaikan dan perihalnya, dan sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ia adalah satu di antara tokoh-tokoh penting dunia abad ke-19. Gagasan dan peran politiknya memperlihatkan sebuah tekad kuat dalam upaya perubahan nasib negeri-negeri Islam di Asia Tenggara yang telah lama berada dalam pejajahan bangsa-bangsa Eropa.

Sebagai pemimpin sebuah bangsa yang masih memegang kedaulatan penuh atas dirinya, ia menyadari kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap saudara-saudara seiman dan sekawasan (tanah orang-orang Jawi).

Untuk itu, ia mengambil langkah untuk memperbaharui hubungan Aceh dengan Istanbul, ibukota khalifah 'Utsmaniyyah. Seraya mengangkat kenangan-kenangan lama dari abad ke-10 Hijriah (ke-16 Masehi) tentang hubungan Aceh-Istanbul, ia juga mengakui ketundukan serta kesetiaannya kepada pemegang khilafah.

Di sisi yang lain, dan atas kesadaran akan kewajiban dan tanggung jawab itu pula, ia menyerukan persatuan dalam bingkai Ummah Islamiyyah. Ia sangat yakin, hanya dengan cara itu, negeri-negeri di Asia Tenggara dapat melepaskan diri mereka dari perbudakan dan penjajahan.

Ukhuwwah Islamiyyah merupakan kunci utama dalam rangka menghimpun kekuatan. Ia berusaha keras untuk mewujudkan persatuan atas dasar keadilan dan hak hidup dalam kemerdekaan.

Ia adalah Sri Paduka Sultan Manshur Syah bin Jauharul 'Alam Syah, sang pewaris akal budi para pemimpin besar Aceh Darussalam di zaman silam.

Suatu waktu kemudian, pemikiran yang mendalam terhadap nasib Ummah telah mengilhaminya untuk mengambil tindakan taktis dan strategis. Tidak ada cara lain untuk mengakhiri pengaruh racun imperialisme selain dengan memenggal kepalanya. Batavia (hari ini, Jakarta), sebagai pangkalan imperialisme terbesar di kepulauan Asia Tenggara pada masa itu, menjadi target bidik dari Sri Paduka Aceh Darussalam. Sebuah perang raya tampak seakan-akan segera pecah di sekitar paroh abad ke-19 dengan Aceh pada posisi penyerang. Tetapi, sayang, angin tidak selalu bertiup searah bahtera berlayar.

Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Menentukan segalanya.

Sri Paduka telah berjuang untuk membangkitkan Ummah dari lena panjang dan berusaha sekuat tenaga untuk mengangkatnya dari lubang keterpurukan yang dalam. Tapi, Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Menentukan segalanya. Dan Aceh diserang Belanda selang tidak berapa lama setelah Sri Paduka Sultan yang arif budiman ini berpulang ke Rahmatu-Llah. []

***

Berita Terkait
  1. Tokoh Pemersatu Islam di Asia Tenggara
  2. Peta Dunia Islam di Asia Tenggara, 1850
  3. Tekad Menyerang Batavia
  4. Surat Permintaan Izin Dan Bantuan Kepada Khalifah Turki Usmani Untuk Menyerang Hindia Belanda Di Batavia Tahun 1848
  5. Surat Permintaan Izin Penyerangan Batavia Kepada Khalifah Turki Usmani Tahun 1850

Posting Komentar

0 Komentar