Di manakah Fansur? (3-4)

Gambar cap dari Lobu Tua, Barus, yang dipublikasi
C. Guillot & Ludvik Kalus dalam buku Inskripsi
Islam Tertua di Indonesia. (Repro: Misykah.com)


Inskripsi Cap Lobu Tua

Sebuah benda sejarah spektakuler yang ditemukan tim arkeologi Indonesia-Prancis pada 1997 adalah cap dari Lobu Tua. Cap terbuat dari kaca tembus pandang berwarna hijau itu, menurut Ludvik Kalus, merupakan cap-jimat Islam kuno yang pertama sekali ditemukan di Indonesia. Di sisi bawah terdapat inskripsi dua baris dalam bahasa Arab dengan relief timbul. Kalus membaca baris pertama, “Allah” atau “Billah”, dan baris kedua, Muhammad.[30]

Namun, penjelasan Kalus terhadap bacaannya itu sukar dipahami, dan ia merumitkan masalah yang sebenarnya tidak rumit. Kata Kalus, ruang di antara kedua huruf lam pada lafal terisi dengan tiga garis mendatar ditambah sebuah lingkaran kecil di aatasnya, sedang ha’ akhir berbentuk garis pendek tegak yang terbelah.[31]

Gambar cap dari Lobu Tua dalam buku Inskripsi Islam
Tertua di Indonesia oleh C. Guillot & Ludvik Kalus.
(Repro: Misykah.com)

Tulisan “Allah” semacam ini terlihat sangat ganjil. Tidak saja karena ada garis-garis mendatar di antara kedua lam, penjarangan di antara kedua lam, tanpa garis-garis itu sekalipun, akan membuatnya aneh. Kalaupun ada yang dijarangkan, lumrahnya, adalah bagian antara lam kedua dengan ha’. Bentuk ha’ semacam yang dikatakan Kalus tambah lebih ganjil lagi. Akhirnya, Kalus sendiri malah mengakui, ia tidak berhasil menemukan inskripsi yang serupa di antara sekitar 1500 cap dan jimat Islam kuno yang pernah dipelajarinya.[32]

Saya mencoba memastikan huruf-huruf tulisan ini ialah: pertama, benar seperti kata Kalus, huruf-huruf pertama berbentuk semacam mata kail. Itu karena terdiri dari ba’ dan alif. Kedua, Kalus juga benar, huruf setelah ba’ dan alif adalah lam. Sementara yang ketiga, yakni huruf setelah ba’, alif dan lam, Kalus terpedaya karena melihatnya sebagai lam, ha’, dua garis datar dan lingkaran kecil di atasnya. Padahal, huruf yang sebenarnya adalah shad dalam khath kufi yang disertai baris sukun di atasnya (lingkaran kecil). Jika demikian, bacanya tentu mudah saja: Balush.

Pemerian huruf pada inskripsi cap Lobu Tua.
(Repro: Misykah.com)


Sedangkan baris kedua, bentuk yang disangka mim mengawali nama Muhammad itu sebenarnya bukan mim karena tidak bersambung dengan huruf setelahnya sebagaimana lazim penulisan Muhammad. Bentuk itu lebih menyerupai titik di atas huruf ha’ yang dengan demikian dia adalah kha’. Huruf selanjutnya pasti mim dan kaf dalam khath kufi. Dengan begitu, ia dapat dibaca khumak (khamak?) jika bentukan yang di atas huruf ha’ itu benar-benar titik. Jika bentukan itu merupakan hiasan atau lainnya maka bisa dibaca humak (hamak). Khumak atau humak secara fonetik tentu dekat sekali dengan kata huma yang berarti: ladang padi di tanah kering atau tanah yang baru ditebas hutannya.[33]

بالص
خمك/حمك

Iskripsi berbunyi: Balush Khumak/Humak.
(Repro: Misykah.com)


Balush khumak atau Balush humak dengan demikian merupakan tulisan Arab-Jawiy (bahasa lokal yang ditulis Arab) yang dapat kiranya diartikan dengan: tanah air Palush (Balush). Tanah air Palush berpusat di situs Lobu Tua, Barus, hari ini. Dengan menganalogikan cap ini kepada satu cap lain yang pernah ditemukan di kawasan situs Samudra Pasai, yang inskripsinya berbunyi Mamlakah Muhammad (Kerajaan Muhammad), dapat diperkirakan bahwa Palush ini adalah nama moyang para penguasa Barus. Boleh jadi, di masa dinasti Palush ini memerintah, Lobu Tua atau Barus lebih dikenal dengan negeri Palush.

Bagaimanapun, cap Lobu Tua bertulis Arab-Jawiy ini berasal dari zaman Islam di Barus. Kembali, dengan menganologikannya kepada data-data arkeologis tentang perkembangan Arab-Jawiy di Samudra Pasai dalam abad ke- 15, maka saya terpaksa berbeda pandangan dengan Kalus yang memperkirakan cap ini berasal dari abad ke-10 atau ke-11.[34] Saya melihat, cap Lobu Tua ini berasal dari sekitar pertengahan kedua abad ke-14 atau abad ke-15. Permulaan abad ke-16, nama Palush tampaknya mulai tenggelam, mungkin, seiring berakhirnya pemerintahan dinasti ini. Dalam legenda Sejarah Tuanku Batu Badan disebutkan bahwa nama Barus itu diberikan oleh seorang raja Melayu dari Tarusan pada paruh pertama abad ke-16.[35] Dalam sumber-sumber lain dari permulaan abad ke-16, Barus merupakan nama kota pelabuhan terkenal di pantai barat daya Sumatera.[36]

Di saat Barus, Murrah (Merrah?) dan situs Lobu Tua semakin terang adalah negeri Palush di zaman silamnya, maka Fansur adalah nama kuno bagi sebuah negeri yang hakikatnya masih diselimuti kesamaran. Mayoritas penulis telah mengidentifikasi Fansur adalah Barus. Polush/Balush, Fansur, Barus dengan demikian adalah sebutan untuk negeri yang sama. Silang pendapat yang terjadi di antara mereka hanya pada keletakan Barus (Polush/Balush, Fansur) di masa awal sejarahnya; apakah ia terletak di pantai barat daya Sumatera, di daerah yang hari ini dikenal dengan Barus, ataukah di pantai utara, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.

Di luar kelompok mayoritas ini, sebagian penulis berpendapat bahwa Fansur bukan Barus; bukan Barus di pantai barat Sumatera dan bukan pula Polush/Balush (Barus) di pantai paling utara Sumatera yang dirujuk Wolters kepada Ramni (Aceh). Fansur adalah nama yang merujuk ke suatu tempat tertentu, yang lain dari Barus.

ُُE. Edwards McKinnon telah memanfaatkan keterangan Henri Cordier, ahli geografi asal Prancis, tentang Fansur untuk mendukung pandangannya bahwa Fansur adalah daerah yang sekarang dikenal dengan Lhok Ujong Pancu di Lambaroe Neujid, sebelah barat Banda Aceh.[37]

Dalam keterangannya, Cordier mengutip pengamatan Valentijn, Fansur tidak lain adalah Pantsur yang terkenal. Sekalipun tidak terkenal lagi dengan nama itu, tetapi ia sebuah kerajaan yang kita kenal melalui karya Hamzah Pantsuri, seorang penyair terkenal berasal dari Pantsur. Pantsur terletak di sudut utara pulau Sumatra dan sedikit sebelah barat Achin. Pantsur dahulunya disibukkan oleh kegiataan perdagangan serta dipenuhi masyarakatnya yang ramai. Ia akan benar-benar hilang dalam ingatan bila Hamzah Fantsuri tidak memperkenalkan tempat tersebut.[38]

Cordier lantas menjelaskan, tidak mungkin ada pemukiman apapun di sebelah barat dari Achin dan tulisan tersebut sebenarnya memaksudkan: sedikit lebih jauh di sebelah pantai barat Sumatra dari Achin.[39] McKinnon membantah penjelasan Cordier yang menurutnya telah masuk dalam perangkap di mana seluruh peneliti lain juga terjebak. Menurut McKinnon, itu dikarenakan ia kurang memperhatikan teluk Lhok Pancu yang dalam peta muncul dengan nama Lhok Lambaro.[40]

Selain itu, McKinnon juga mendasari pendapatnya itu kepada sumber-sumber Arab yang sering memunculkan Fansur dan Lamri sebagai dua wilayah yang berdekatan.

Dalam tulisan Buzurk bin Syahrayar Ar-Ramhurmuziy (‘Ajaib Al-Hind; Barruhu wa Bahruhu wa Jaza’iruhu) dari abad ke-10 diceritakan bahwa sekelompok orang yang terdampar di Fansur telah berjalan melalui Lulubilank untuk kembali ke Lamri (Lamuri). McKinnon memustahilkan orang-orang itu berjalan kaki sepanjang 500 meter dari Barus (Varocu) ke Lamri melewati wilayah yang penuh ancaman. Lain halnya, jika dari Lhok Ujung Pancu di Lambaro Neujid sekarang. Dengan jarak 60 km dari Ujung Pancu ke Lamreh (Lamuri), mereka mungkin dapat melaluinya dalam waktu yang kurang dari satu pekan meskipun harus menyebrang tiga muara sungai. Lulubilank yang terletak di antara Fansur dan Lamuri dapat juga diasumsikan dengan Ulee Lheu, hari ini. Namun, sebagaimana diakui McKinnon, sampai sejauh ini belum ditemukan peninggalan sejarah yang dapat dibuktikan berasal dari abad ke-9 atau ke-10 di Lhok Ujong Pancu.[41]

Dalil-dalil yang diketengahkan McKinnon, sesungguhnya, dapat pula membuka kemungkinan bahwa Fansur merupakan sebutan untuk kawasan yang luas sebagaimana pendapat Wolters yang lebih berdasarkan sumber-sumber Cina. Namun tidak seperti Wolters yang menunjuk pantai utara Sumatra sebagai kawasan luas itu, kemungkinan Fansur sebagai kawasan yang luas dapat dimulai dari ujung utara pantai barat Sumatra sampai dengan selatannya, mungkin, sampai Barus.

Sulaiman As-Sirafiy (At-Tajir) yang menulis Akhbar Ash-Shin wa Al-Hind (Silsilah At-Tawarikh) di abad ke-9 menyebutkan bahwa di laut Harkand (laut antara Sumatra dan Srilanka), apabila dilayari ke arah Serandib (Ceylon; Srilanka) [akan tampak] pulau-pulau yang tidak begitu banyak tapi luas dan belum dapat terukur. Di antaranya, kata Sulaiman, adalah pulau yang disebut dengan Ar-Ramaniy (Ar-Ramni). Di pulau ini ada beberapa raja. Tentang luasnya, ada yang mengatakan, 800 atau 900 farsakh (mil). Di pulau ini didapati tambang-tambang emas, serta tempat-tempat yang disebut dengan Fansur di mana kamper berkualitas tinggi mestilah dari tempat-tempat itu. Berikut setelah pulau-pulau ini (yang salah satunya adalah Ar-Ramaniy) terdapat pulau-pulau lain, di antaranya adalah pulau yang disebut dengan Niyan.[41]

Deskripsi Sulaiman, tampaknya, meletakkan kapal di posisi depan pantai utara Aceh dengan haluan mengarah ke barat dalam perjalanan menuju Serandib (Ceylon; Srilanka). Pulau yang terlihat dari posisi ini adalah pulau Ramaniy dan pulau- pulau lainnya yang berada di sebelah selatan haluan kapal. Di pulau Ramaniy itu, katanya, ada tempat-tempat yang disebut dengan Fansur. Sesuai arah pandang ke Ramaniy, maka tentu yang dimaksud dengan tempat-tempat bernama Fansur ini adalah pantai barat Aceh sebab setelahnya adalah pulau-pulau yang salah satunya adalah Niyan (Nias).

Atas deskripsi Sulaiman, Fansur dapat dimengerti sebagai suatu kawasan di pantai sebelah barat Aceh. Daerah Lhok Ujong Pancu di Lambaro Neujid, sebelah barat Banda Aceh, mungkin adalah salah satu tempat yang disebut dengan Fansur. Sangat boleh jadi, seluruh kota pelabuhan yang ada pada waktu itu di sepanjang pantai barat Aceh, mulai dari Lhok Ujung Pancu di barat laut sampai dengan Barus di barat daya Aceh (sekarang, wilayah Sumatera Utara) yang berhampiran dengan pulau Nias, dikenal dan disebut oleh orang-orang Arab sebagai Fansur yang menghasilkan kamper terbaik.

Namun hal ini bukan berarti Fansur tidak memiliki satu pangkalan utama. Daerah asli Fansur atau Kota Fansur di mana nama Fansur itu berasal mesti ada sebelum nama tersebut popular serta acap kali digeneralisasikan untuk seluruh kota pelabuhan di pantai barat Aceh. (Taqiyuddin Muhammad)


Catatan Kaki:

[30] Claude Guillot & Ludvik Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Terj. Laddy Lesmana dkk., Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2008, h. 33-34.

[31] Ibid.

[32] Ibid, h. 35.

[33] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, cet. 2, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, h. 412 (huma).

[34] Lihat, Claude Guillot & Ludvik Kalus, h. 35.

[35] Lihat, Claude Guillot dkk, h. 52.

[36] Selain keterangan Tome Pires dalam The Suma Oriental of Tome Pires, nama Barus (Barrus) juga disebutkan dalam naskah surat Sultan Zainal ‘Abidin (Samudra Pasai) yang tersimpan di Lissabon, Portugis. Naskah surat itu telah saya sunting dan publikasi dalam buku saya, Daulah Shalihiyyah di Sumatera.

[37] E. Edwards McKinnon, “Aceh sebelum Aceh”, Horison Online, Kamis, 08 Desember 2011, h. 7.

[38] Henry Yule & Henri Cordier, The Book of Ser Marco Polo, Vol. II/III, London: John Murray, 1903, h. 303.

[39] Ibid.

[40] E. Edwards McKinnon, h. 7-8.

[41] Ibid, h. 8-9.

[42] Sulaiman At-Tajir & Abu Zaid Hasan As-Sirafiy, Akhbar Ash-Shin wa Al-Hind, Ed. Yusuf Asy-Syarwiniy, Kairo: Ad-Dar Al-Mishriyyah Al-Lubnaniyyah, 2000, h. 34.


Sumber: CISAH

Posting Komentar

0 Komentar