Sultan Bertahta di Pedalaman Pidie!

Kandang (pemakaman raja) Poteumeurhom di Gampong Kandang,
Kecamatan Sakti, Pidie (Foto: Khairul Syuhada)


Dengan melewati jalan menyusuri tepi sungai Krueng Baro, jarak Gampong Kandang dari Kota Sigli, ibukota Kabupaten Pidie, hampir sekitar 30 km. Lain jika melewati jalan dari Beureunun, ibukota Kecamatan Mutiara, ke Lamlo, ibukota Kecamatan Sakti, lalu ke Gampong Kandang, jarak tempuhnya lebih singkat. Tapi apabila dimulai dari pesisir Pidie di utara Beureunun, atau dari Pasi Ie Leubeue, Kecamatan Kembang Tanjong, maka jaraknya justru tambah jauh.

Dewasa ini, Kandang merupakan nama gampong sekaligus kemukiman di Kecamatan Sakti, Pidie. Letaknya di tepi kanan aliran sungai Garot atau Krueng Baro yang bermuara ke Kuala Pidie di Kota Sigli. Dulu sekali, statusnya, mungkin, berbeda.Inskripsi pada sebuah nisan yang diketemukan di Gampong Barih, gampong yang bersebelahan dengan Kandang, menyebut jabatan seorang tokoh sebagai Kejrun Kandang. Ia meninggal dunia pada masa pemerintahan Sultanah Tajul ‘Alam Shafiyyatuddin (paroh kedua abad ke-17).

Terbuka kemungkinan, Kejrun Kandang merupakan gelar  ulee balang (hulubalang) yang membawahi beberapa federasi (kemukiman) di Pidie, masa itu. Makam Kejrun Kandang  berada di sebuah gundukan tanah di lorong jalan yang kini diberi nama Lorong Kuburan. Sepasang nisan makam dan beberapa lainnya yang sudah patah ditutupi rindang pepohonan dan semak-semak. Tidak tampak tanda-tanda kompleks kubur itu terawat dengan baik.

Dengan memperhatikan konteks makam, diperkirakan banyak nisan makam yang sudah hilang. Sekitarannya juga hutan semak-semak yang sepi. Untuk sementara ini, sulit membayangkan jika lokasi makam dan sekitarnya merupakan sebuah kota yang pernah diduduki seorang tokoh berpangkat kejrun.

Makam Kejrun Kandang di Gampong Barih, Kecamatan Sakti,
Pidie. (Foto: Khairul Syuhada)


Inskripsi pada nisan makam yang sebelah utara berbunyi:

Nisan makam Kejrun Kandang, sisi B.
(Foto: Khairul Syuhada)

 ب.

زمن .1

سر سلطان .2

تاج ا .3

لعالم .4

صفیة الدین .5

 Terjemahan B: (1) zaman; (2) Sri sultan; (3) Taj; (4) al-‘alam; (5) Shafiyyatuddin.

 

Nisan makam Kejrun Kandang sisi C.
(Foto: Khairul Syuhada)

ج.

ھذ نسان .1

كجرون كندع .2

مرحوم .3

تعكو الا (كذا) .4

فد زمان .5

Terjemahan C: (1) Ini nisan; (2) Kejrun Kandang; (3) Marhum; (4) Teungku Ala (sic); (5) pada zaman.

Inskripsi pada sisi C dan B ini, seperti diketahui, menggunakan bahasa Jawiy, dan dari situ tampak gelar “teungku” telah populer dipakai sejak zaman Sultanah Tajul ‘Alam Shafiyyatuddin.

Mengapa digelar dengan Kejrun Kandang? Penamaan ini tampaknya mengacu pada keberadaan satu kompleks makam lagi yang terletak tidak jauh dari makam Kejrun Kandang, sebelah selatannya. Warga setempat menyebutnya dengan Kandang Poteumeuhom. Kandang: pemakaman para raja, dan Pou teuh Almarhum: Tuan kita yang telah berpulang ke rahmatullah.

Kompleks Kandang Poteumerhom, kendati berada di tengah-tengah sepetak tanah yang juga dikurung semak- semak yang rapat, namun kondisinya sudah lebih lumayan.Warga setempat telah membangun cungkup beton untuk melindungi makam-makam dalam kompleks Kandang. Tapi jalan memasuki lorong kompleks makam yang berada di atas gundukan tanah itu masih sangat bersahaja.

Kandang Poteumerhom ini juga kesohor di wilayah Pidie. Orang-orang, dari dalam kemukiman maupun luarnya, sering melakukan ziarah.

“Setiap tahunnya kami bikin kenduri di sini,” kata seorang warga.

Dalam kenduri tahunan itu, masyarakat dalam Kemukiman Kandang menyembelih seekor kerbau. Ratusan orang datang dari berbagai pelosok. Pejabat-pejabat pemerintahan pun turut hadir. Malah, Bupati Pidie sendiri, katanya, sering hadir.

Dalam Kandang terlihat batu-batu nisan makam yang bervariasi; tipe-tipe nisan Samudra Pasai, Plang-pleng, Aceh Darussalam. Tipologi masing-masing batu nisan menunjukkan keberasalannya dari berbagai era dan tempat. Ada juga yang selama ini belum pernah dijumpai di tempat lain di Aceh; nisan-nisan dengan puncak berbentuk seperti qalansuwah orang-orang Arab atau Turki. Ragam bentuk nisan di kompleks kubur ini seperti mensinyalir adanya sebuah kekuatan politik yang menyatukan berbagai wilayah kebudayaan di bawahnya.

Di sisi paling barat, sepasang nisan makam tampak beukuran lebih besar dari lainnya. Keduanya bertipologi nisan-nisan zaman Kerajaan Samudra Pasai. Kaligrafi Arab pada kedua nisan ini unik. Huruf-huruf Arab dibuat menyerupai huruf-huruf Cina. Entahlah, jika ini bisa jadi pertanda orang yang dikuburkan seorang tokoh penting berdarah keturunan Cina. Tidak ada suatu kejelasan yang mungkin diperoleh dari inskripsi nisan menyangkut sang tokoh. Sebab, tidak ada tulisan di batu nisan yang menyebut nama atau tarikh wafat. Tapi, tampaknya, ia memang seorang tokoh yang dihormati.

Keberadaan kompleks-kompleks makam bersejarah di wilayah-wilayah pedalaman adalah hal biasa, sebenarnya. Namun, sesuatu yang tidak biasa, malah mengejutkan dan benar-benar baru, jika ada makam sultan di wilayah yang sangat jauh dari pesisir. Ada apa, sebenarnya? Apa yang terjadi? Kota-kota di mana penguasa berkedudukan lumrahnya berada di wilayah-wilayah yang masuk kategori wilayah pesisir laut atau, paling kurang, ada jalur akses yang tidak begitu sulit dari wilayah-wilayah di pesisir laut. Tapi yang satu ini, di luar kelaziman. Mengundang tanya. Tapi kemana hendak cari jawaban?!

Dalam Kandang, posisi makam yang diketahui merupakan milik sultan berada di paling timur. Tipe nisan menjelaskan keberasalannya dari era Kerajaan Aceh Darussalam abad ke-16. Pada nisan sebelah utara terdapat inskripsi berbunyi:

Nisan makam Sultan Muahammad bin Asad Syah,
sisi A. (Foto: Khairul Syuhada)

أ.

علیھم وابل من (؟) .1

خیر (؟) وجعلھم .2

سكان جنة .3

Terjemahan A: (1) ke atas mereka curahan; (2) kebaikan dan menjadikan mereka; (3) penghuni syurga.

Nisan makam Sultan Muhammad bin Asad Syah,
sisi B. (Foto: Khairul Syuhada)

 ب.

ھذا القبر .1

المرحوم .2

السلطان .3

Terjemahan B: (1) inilah kubur; (2) orang yang dirahmati; (3) Sultan.


Nisan makam Sultan Muhammad bin Asad Syah,
sisi C. (Foto: Khairul Syuhada)

ج.
الأعظم شاه .1

سلطان .2

محمد بن سلطان .3

Terjemahan C: (1) Al-A’zham Syah; (2) Sultan; (3) Muhammad bin
Sultan (sic).


Nisan makam Sultan Muhammad bin Asad Syah,
sisi D. (Foto: Khairul Syuhada)
د.
ابن سلطان .1

أسد شاه .2

أفاض الله .3

Terjemahan D: (1) Ibnu Sultan; (2) Asad Syah; (3) semoga Allah melimpahkan.

Epitaf nisan menyebutkan gelar Al-A’zham Syah, lalu dua nama sultan: Muhammad dan ayahnya, Asad Syah. Gelar dan nama-nama sultan ini baru kali ini diketahui, dan tampaknya memang belum pernah dijumpai suatu kepustakaan pun mengenai sejarah Pidie yang menyebut, atau bahkan menyentil, tentang adanya gelar semacam ini, begitu pula tentang kedua sultan.

Sayang sekali, inskripsi pada nisan tidak menyebutkan tarikh wafat Sultan. Tentang di mana keberadaan makam ayahnya, Sultan Asad Syah, juga belum ada kabar.

Satu batu tegak mirip menhir yang tertancap di luar kompleks makam juga menimbulkan rasa penasaran. Mitos setempat, batu tegak itu, katanya, pernah memanjat sebatang pohon enau, lalu jatuh dan patah. Apa pula makna simbolis mitos ini? Atau cuma dongeng?

Lalu, Gampong Kandang ini, jika diperhatikan lanskapnya, maka sangat memungkinkan sebagai sebuah kota di mana Sultan berkedudukan. Selain terletak di tepi sungai, datarannya pun tinggi. Sedangkan di timurnya, sawah membentang. Tetapi, untuk memastikan apakah Sultan pernah bertahta di wilayah ini, tentu, masih perlu kepada penelitian arkheologis yang mendalam. (Tim misykah.com)

Dikutip dari www.misykah.com, website resmi Cisah, tayang pada 29 Januari 2014.


Baca juga:

Pidie di bawah Teduh Rumpun Bambu
Sultan Ma’ruf Syah, Semoga Allah Merahmatinya!
Giliran Kembang Tanjong Tunjukkan Bukti Sejarah
Menyusuri Krueng Baro Pidie, Mengamati Jejak Waktu
Tauke Bangkrut gara-gara Bisniskan Batu Nisan Bersejarah

Posting Komentar

0 Komentar