Sultan Ma’ruf Syah, Semoga Allah Merahmatinya

Makam sultan yang bergelar Sultan Ma’ruf Syah (Po teuh Al-Marhum)
di Dayah Tanoh Klibeut, Kecamatan Pidie, Pidie.
(Foto: Khairul Syuhada)

SEBUAH parit digali melingkar di areal yang tidak jauh dari aliran sungai Krueng Baro, di Gampong Dayah Tanoh Klibeut, Kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie. Lebarnya rata-rata 3-4 meter. Tanah hasil galian diangkat, lalu ditimbun ke sebelah dalam parit. Penggalian baru selesai setelah timbunan tanah menjelma jadi bukit kecil. Puncaknya, kira-kira, setinggi 5 meter dari permukaan tanah di sekelilingnya. Satu sisi di bagian utara dibiarkan seperti adanya, tidak digali, disisakan untuk laluan menuju bukit. Berapa lama semua ini dikerjakan? Tidak diketahui pasti, namun tampaknya suatu hasil kerja yang dilakukan agak terburu-buru. Berapa jumlah pekerjanya? Tentu, banyak. Kapan? Ratusan tahun yang silam.

Untuk apa?

Di sekitar bidang datar puncak bukit dijumpai pohon-pohon berusia tua, salah satunya pohon asam jawa (Bak me; Tamarul hindi; Tamarindus indica). Di tengah-tengahnya, sebuah kompleks makam, sudah dipagari, tapi belum dibangun cungkup. Jirat Poteu Meurhom, sebut orang-orang setempat. 

Bukit buatan itu untuk sebuah perkuburan. Tentu, bukan terilhami oleh piramida Mesir, tapi hanya didorong rasa penghormatan mendalam kepada seseorang yang di masa hidupnya berkedudukan tinggi dan telah banyak berjasa. Dilatarbelakangi gagasan: seseorang yang tinggi budi pekerti dan martabatnya di masa hidup layak untuk dimakamkan di tempat yang tinggi setelah meninggalnya, maka akhirnya, bukit itu dibuat.

Parit di sekeliling bukit, yang kini di beberapa bagiannya sudah tertimbun kembali, juga berfungsi untuk pengamanan. Ziarah ke makam mesti melalui satu jalur yang, tidak mustahil, dulunya diberi pengawalan. Seseorang, atau beberapa orang, yang dikebumikan di tempat itu telah diperlakukan sebagaimana layaknya kedudukan mereka di masa hidup. Sama sekali tidak tampak tanda-tanda pemujaan, semata-mata penghormatan dan ungkapan kesetiaan yang mendalam.

Lalu, posisi bukit yang dibuat menghadap ke utara, arah Gampong Cot Gunduek yang merupakan kawasan dipadati kompleks-kompleks makam kuno—di antaranya kompleks-kompleks makam dengan batu-batu nisan tipe Samudra Pasai—dan membelakangi kawasan tanpa situs di selatannya, ini juga memberikan kesan: orang yang dikubur di puncak bukit itulah pengayom atau penguasa yang melindungi kawasan ini. Formasi pemakaman yang serupa juga pernah dijumpai di kawasan Kecamatan Baktiya, Aceh Utara.

Lantas, siapa yang telah dimakamkan di puncak bukit itu?

Ada empat kubur yang dijumpai dalam kompleks makam yang berukuran 8×4 meter. Satu makam, dua batu nisannya dipenuhi relief tulisan-tulisan berkaligrafi Arab. Satu makam lagi, yang batu nisannya tinggal satu dan sudah patah, juga dihiasi kaligrafi Arab tapi sudah tampak aus. Nisan-nisan lainnya, polos. Semuanya bertipe nisan Samudra Pasai. Dari seorang warga yang sedang melintas di lokasi diketahui, rupanya, ada mitos yang berkembang di kalangan masyarakat setempat: bukit itu, atau yang juga biasa disebut dengan Cot Kandang, berasal dari wilayah Geudong di Kabupaten Aceh Utara—tempat di mana kawasan inti tinggalan sejarah Samudra Pasai. Cot Kandang terbang kemari, katanya. Mitos ini, mungkin, menyiratkan makna simbolis akan adanya suatu keterkaitan antara makam-makam di Dayah Tanoh Klibeut dengan makam-makam tinggalan sejarah Samudra Pasai di Kabupaten Aceh Utara.

Dua nisan yang dipenuhi relief tulisan-tulisan berkaligrafi Arab persis sama dengan nisan-nisan makam dari periode ketiga zaman Samudra Pasai, seperti yang terdapat di kompleks makam Raja Khan, Gampong Kuta Krueng; komplek pemakaman kesultanan periode ke-3, Gampong Meunasah Meucat, Blang Me; dan lainnya.

Pada batu nisan sebelah kepala (utara) makam ini terdapat inkripsi berbunyi:

أ

أ.

1 . لا إله إلا الله محمد رسول االله

Terjemahan A: 1. Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah;


ب

ب.

1 .العزیز الجبار المتكبر سبحان الله عما یشركون

2 .ھو الله الخالق البارئ المصور له الأ

3 .سما[ء] الحسنى یسبح لھ ما في السموات والأرض وھو العزیز الحكیم

Terjemahan B: 1. Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan (Al-Hasyr:23); 2. Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang membentuk rupa, Yang Mempunyai; 3. Asmaul Husna. Bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi, dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Al-Hasyr: 24);

ج

ج.

1. شھد الله أنه لا إله إلا ھو والملائكة وأولو العلم قائما بالقسط لا إله الا ھو العزیز الحكیم


Terjemahan  C. 1. Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan, dan para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (Yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Al ‘Imran: 18);

 

د

د.

1 .ھو الله الذي لا إله إلا ھو عالم الغیب

2 .والشھادة ھو الرحمن الرحیم ھو الله الذي لا إله

3 .ھو الملك القدوس السلام المؤمن المھیمن

Terjemahan D: 1. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib; 2. dan yang nyata, Dia- lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (Al-Hasyr: 22). Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara (Al-Hasyr: 23);


ھـ

.ھـ

1. إن الدین عند الله الاسلام ونحن على ما قال ربنا من الشاھدین فإن تولوا فقل حسبي الله لا إلھ إلا ھو علیھ توكلت وھو

رب العرش العظیم

Terjemahan E: 1. Sesungguhnya agama(yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam (Al ‘Imran: 19). Dan kami daripada golongan yang mengakui apa yang difirmankan Tuhan kami. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung (At-Taubah: 129)

Pada puncak nisan atau sisi A adalah kalimat Tauhid: “Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah.” Sementara pada sisi-sisinya yang lain adalah ayat-ayat Al-Qur’an: Al-Hasyr: 22-24, Al ‘Imran 18-19 dan At- Taubah: 129. Inskripsi pada sisi B merupakan sambungan inskripsi dari sisi D, sedangkan inkripsi pada sisi C bersambung ke sisi E.

Al-Hasyr: 22-24 merupakan ayat-ayat terakhir dari surah Al-Hasyr. Permulaaan surah Al-Hasyr, ayat-ayat: 1-6, menjelaskan tentang pengusiran orang-orang kafir Ahlul Kitab dari Madinah. Al-Baidhawiy (wafat 691 H) menyebutkan dalam Anwar At-Tanzil, Nabi saw. ketika sampai di Madinah, mengikat perjanjian damai dengan Bani Nadhir supaya mereka bersikap netral; tidak memihak beliau, tidak pula melawan beliau. Ketika Nabi menang dalam perang Badar, mereka mengatakan, dialah Nabi yang diberitakan dalam Taurat memperoleh kemenangan. Namun, manakala Muslimin menderita kekalahan dalam perang Uhud, sikap mereka berubah, dan jadi ragu. Ka’ab bin Al-Asyraf bersama 40 pengikut dari Bani Nadhir pergi ke Makkah, bersekutu dengan Abu Sufyan. Karenanya, Rasulullah saw. memerintahkan saudara sesusuan Ka’ab, bernama Ghailah, untuk menghentikan Ka’ab. Selanjutnya, pasukan-pasukan Muslimin melancarkan serangan mendadak dan mengepung Bani Nadhir sampai mereka menyerah. Permintaan damai Bani Nadhir diterima dengan syarat mereka harus keluar dari wilayah mereka. Sebagian besar Bani Nadhir keluar menuju Syam, dan satu kelompok bergabung dengan saudara-saudara mereka di Khaibar dan Hirah. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat-ayat yang artinya:

“Telah bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan bumi; dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana; Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara Ahlul Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama, yang kamu tidak menyangka bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mu’min. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang memiliki pandangan.”

Al-Baidhawiy menafsirkan, “Jadikanlah keadaan mereka itu sebagai pelajaran bagi kamu, maka jangan pernah bersikap curang (khianat) dan jangan pernah menyandarkan diri kepada selain Allah.” Ayat ini, kata Al-Baidhawiy, merupakan dalil bahwa qiyas adalah sebuah dasar hukum (hujjah). Sisi yang menjadi dalilnya ialah karena ayat ini merupakan perintah untuk melampaui satu perkara ke perkara lainnya, lalu menetapkan hukum untuk perkara lain itu hukum yang sama, lantaran dua perkara tersebut memiliki kesamaan yang menuntut adanya hukum yang sama pula. Sebagaimana telah kami jelaskan, kata Al-Baidhawi, dalam karangan-karangan mengenai Ushul Fiqh.

Pemilihan ayat-ayat terakhir dari surah Al-Hasyr untuk dipahatkan pada batu nisan bertipologi Samudra Pasai periode ketiga ini, dengan demikian, tidak acak. Tentu, ada sesuatu yang mendasarinya. Pemilihan ayat-ayat ini memberikan sebuah sinyal akan adanya situasi yang serupa dengan topik pokok dalam surah Al-Hasyr. Menghadapi situasi tersebut, empunya makam, tampaknya, telah memilih untuk mengambil pelajaran dari peristiwa yang pernah terjadi di zaman Rasulullah, yang dibentangkan dalam surah Al-Hasyr. Dasar hukum yang menjadi acuan sikapnya adalah qiyas kepada perintah pengusiran orang-orang kafir Ahlul Kitab yang melanggar perjanjian.

Al ‘Imran: 18, dalam tafsir Al-Baidhawiy, adalah penegasan Allah akan keesaan-Nya. Para malaikat mengakui keesaan-Nya. Orang-orang berilmu mengimani keesaan-Nya dan menjadikannya sebagai dasar pandangan. Allah-lah yang menegakkan keadilan. Tiada Tuhan yang patut disembah selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan tentang keutamaan ayat ini, Al-Baidhawiy menukilkan sebuah hadits. Rasulullah saw. bersabda: “Pada hari kiamat, seorang yang senantiasa membaca ayat ini dihadapkan, maka Allah berfirman: Bagi hamba-Ku ini, sebuah janji dari sisi-Ku, dan Aku-lah Yang maha menyempurnakan janji. Maka masukkanlah hamba-Ku ini ke dalam syurga!”

Al  ‘Imran: 19, “Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.” Ini adalah penegasan dari ayat sebelumnya. Artinya, terang Al-Baidhawiy, tidak ada suatu agama pun yang diridhai di sisi Allah selain daripada Islam, yakni bertauhid dan memerisaikan diri dengan syari’at yang disampaikan Muhammad shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam. Inskripsi ayat ini pada batu nisan makam disusul dengan ucapan: “dan kami, terhadap apa yang difirmankan Tuhan kami, daripada orang-orang mengakuinya (mengimaninya).” Selanjutnya, firman Allah dalam surah At- Taubah atau Bara’ah: 129, yang merupakan ayat penutup surah ini, dan salah satu dari dua ayat yang paling akhir turun sebagaimana diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab (r.a.). Surah Bara’ah, sebagaimana diketahui, turun sekaligus. Dari Nabi (saw.), beliau bersabda, “Seluruh Al-Qur’an turun kepadaku satu-satu ayat, dan satu-satu huruf, kecuali surah Bara’ah dan Qul Huwa-Llahu Ahad. Keduanya turun kepadaku dengan diiringi 70.000 barisan malaikat.”

Topik utama dalam surah Bara’ah adalah tentang perang di jalan Allah. Al-Baidhawiy mengatakan, surah ini tidak dimulai dengan membaca Basmallah karena ia turun untuk meniadakan keamanan, sedangkan Bismi-Llah adalah keamanan.

Ayat-ayat Al-Qur’an, Al ‘Imran: 18-19 dan Bara’ah: 129, yang terpahat pada batu nisan ini sarat dengan makna-makna ketauhidan dan jihad di jalan Allah. Ini, kiranya, merupakan sebuah cara pengungkapan yang menarik tentang prinsip-prinsip yang dipegang oleh pemilik makam. Dan dalam waktu yang sama juga mensinyalir situasi yang sedang dihadapi.

Inkripsi Al ‘Imran: 18-19 sampai Bara’ah: 129 dengan tertib atau susunannya demikian tampak berasal dari zikir atau wirid dalam suatu thariqat sufi, yang merujuk kepada hadits diriwayatkan Ath-Thabaraniy (wafat 360 H) dalam Ad-Du’a’ (hadits nomor: 1059, sanad dha’if). Di antara isinya, Anas bin Malik (r.a.) berkata kepada Al-Hajjaj bin Yusuf, “Kau tidak akan dapat menyakitiku. Sungguh, Rasulullah (saw.) telah mengajariku sesuatu [doa] supaya aku dapat menjaga diriku dari syaitan yang terkutuk serta penguasa yang keras kepala.” Bagian akhir dari doa itu adalah ayat 129 dari surah Bara’ah.

Bacaan zikir yang dipahatkan pada batu nisan ini, dengan begitu, juga menyiratkan bagaimana pemilik makam di masa hidupnya membentengi diri dari ancaman musuh yang datang menyerang.

أ

أ.

1 .اغفر اللھم وارحم لصاحب ھذا القبر

Terjemahan A: 1. Ya Allah, ampuni dan sayangilah pemilik kubur ini


ب

ب.

1 .ألا إنما الدنیا فناء لیس للدنیا ثبوت 

2 .إنما الدنیا كبیت نسجته العنكبوت ولقد یكفیك منھا 

3 . ٍ أیھا الطالب قوت وي لعمر ِ عن قلیل كل من فیھا یموت

Terjemahan B: 1. Ketahuilah, hanya sanya dunia ini fana, tiada bagi dunia suatu ketetapan (kekekalan); 2. Dunia hanya ibarat sarang yang dirajut laba-laba, dan sungguhlah cukup bagimu daripadanya; 3. Wahai orang yang mencarinya, sekadar apa yang dapat mengenyangkanmu. Betapa umur itu amat singkat, dan semua yang di dalamnya akan mati.


ج

ج.

1 .الموت باب كل الناس داخلھ فلیت شعري بعد الباب ما الدار الدار جنة عدن إن عملت بما یرضى الإلھ وإن خالفت

فالنار

Terjemahan C: 1. Kematian bagai sebuah gerbang, semua manusia niscaya memasukinya. Oh, andaikan kutahu negeri apa di balik gerbang! Negeri itu syurga adnin jika kaubuat apa yang diridhai Tuhan, jika tidak maka pasti neraka.
 

د

د.

1 .توفي الشریف الحسیب النسیب اللاه (كذا) الكریم النسیم

2 .الجاه المظفور من الأعداء الملقب سلطان معروف شاه

3 .لیلة الأحد الثاني والعشرین من شھر جمادى الآخرسنة سبعة عشر وتسعمائة

Terjemahan D: 1. Telah diwafatkan seorang yang mulia, berketurunan terhormat, bernasab tinggi (?), jiwa yang  pemurah; 2. martabat yang dimenangkan dari musuh-musuhnya, yang digelar Sultan Ma’ruf Syah; 3. Pada malam Ahad 22 (dua puluh dua) dari bulan Jumadal Akhir tahun 917 (sembilan ratus tujuh belas).


ھـ

ھـ.
1 .ھما محلان ما للناس غیرھما فاختر لنفسك أي الدار تختار ما للعبید سوى الفردوس إن عقلوا فإن ھفو ھفوة فالرب

الغفار

Terjemahan E: 1. Dia hanya dua tempat, tiada lainnya bagi manusia, maka pilihlah untuk dirimu negeri mana yang kauinginkan. Tiada bagi para hamba selain syurga firdaus jika mereka waras, dan jika mereka tergelincir suatu kali maka Tuhan Maha Pengampun.

Batu nisan ini secara keseluruhan sama dengan nisan-nisan dari periode ketiga zaman Samudra Pasai,  terutama yang terdapat di pemakaman kesultanan Gampong Meunasah Meucat, Blang Me, Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Selain epitaf, kalimat-kalimat inskripsi pada batu nisan sama bunyinya dengan yang terdapat pada nisan- nisan lain di era penghujung abad ke-15 dan permulaan abad ke-16. Antara lain, bait-bait syair pada sisi B nisan sebelah kaki makam.

Begitu pula syair-syair pada sisi C dan D. Penyair bait-bait ini adalah Al-Mu’tamid bi-Llah, penguasa Sevilla, Kordova dan sekitarnya dalam masa sejarah Andalusia. Pada 478 H/1086 M, Alfonso IV merebut Toledo. Al- Mu’tamid menyurati Yusuf bin Tashfin untuk melawan Alfonso IV. Setahun kemudian terjadi pertempuran, dan Alfonso IV kalah. Ibnu Khallikan mengatakan: “Pada hari itu Al-Mu’tamid membuktikan keteguhannya yang luar biasa. Ia mengalami beberapa luka di wajah dan badannya, dan semua orang menyaksikan keberaniannya. Namun, pemberontakan yang terjadi di Kordova dan Sevilla melemahkan posisinya sampai dengan salah seorang panglima, Yusuf bin Tashfin, mengepungnya di Sevilla. Pada waktu kemudian, ia berhasil ditawan lalu dibuang ke Agmat, sebuah kampung kecil di Maroko. Ia tinggal di pembuangan sampai dengan meninggal dunia pada 488 H. Dan karena itu ia merupakan pemerintah terakhir dari Bani ‘Abbad.”

Sekalipun syair Al-Mu’tamid ini termasuk dalam kategori raqa’iq (ungkapan-ungkapan atau cerita-cerita untuk mengingatkan kematian dan hari bangkit), namun pemilihannya untuk dipahatkan pada batu-batu nisan dari era permulaan abad ke-16 memiliki signifikansi lain. “Ma asybahal lailah bil barihah” (betapa serupanya malam ini dengan malam kemarin), begitu ungkapan satu peribahasa Arab. Sedini abad ke-16, “cucu-cucu” Alfonso IV menyerang wilayah-wilayah Islam yang jauh di Timur. Andalusia kembali segar dalam ingatan. Al-Mu’tamid kembali dikenang. Para seniman abad ke-16 lantas berulang kali memahat bait-bait syairnya pada batu-batu nisan makam tokoh-tokoh negara. Salah satunya, pada batu nisan makam Sultan Ma’ruf Syah di Pidie.

Ia seorang sultan yang digelar dengan Ma’ruf Syah; namanya tidak disebutkan. Ma’ruf berarti kebajikan. Makna gelarannya itu kira-kira: raja kebajikan. Ia wafat pada malam Ahad, 22 Jumadal Akhir 917 H, atau 14 September 1511 M, sebulan setelah Portugis menyerang Malaka pada 10 Agustus 1511, dan Malaka jatuh ke tangan bangsa Kristiani itu pada 24 Agustus 1511—sebuah kerugian besar yang diderita bangsa-bangsa Islam di Timur pada permulaan abad ke-16.

Kata William Marsden dalam Sejarah Sumatra, ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, Aceh dan Daya adalah bagian dari Pidie. Pernyataan yang sah-sah saja untuk diterima.

Dua daerah ini, tulis Marsden lagi, diperintah oleh dua orang budak atau bawahan Sultan Pidie yang dikawinkan dengan keponakan si Sultan. Pernyataan ini perlu ditinjau.

Berdasarkan temuan mutakhir, seorang Sultan Lamuri (Aceh) telah dimakamkan di Kuta Leubok, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar. Namanya, Sultan Muhammad Syah, wafat pada 908 H, sekitar 9 tahun sebelum kemangkatan Sultan Ma’ruf Syah. Puteranya, Sultan Munawwar Syah, ditemukan makamnya di Pante Raja, Pidie. Ia adalah bapak dari para sultan Aceh Darussalam, antara  lain Syamsu Syah, Adilullah, ‘Ali Ri’ayah Syah, dan kakek dari Sultan ‘Ali Mughayah Syah. Tidak mungkin, penguasa Aceh budak dari Sultan Ma’ruf Syah, tapi pernah menjadi malik atau raja di bawah Sultan Ma’ruf Syah adalah suatu hal yang, mungkin saja, dapat diterima —ini menunjukkan suatu kesatuan yang terbangun di antara wilayah-wilayah Islam di Aceh pada permulaan abad ke-16. Namun, akan sangat lebih tepat lagi, jika dikatakan bahwa antara Sultan Pidie, Ma’ruf Syah, dan Sultan Aceh, Munawwar Syah, telah terikat suatu kesepakatan untuk menghadapi ancaman Portugis. Setelah Ma’ruf Syah wafat pada Jumadal Akhir 917 H/September 1511 M, Munawwar Syah mengambil kendali atas Pidie.

Tahun 1511 adalah tahun paling menentukan bagi negeri-negeri Islam di Timur. Keterangan Marsden menyangkut hubungan Sultan Pidie, berikut Sultan Pasai, dengan Portugis sebelum kejatuhan Malaka dalam tahun ini benar- benar perlu diselidiki serta diluruskan.

Menurut Marsden, sikap Sultan Pidie yang menampung pelarian Portugis dari Malaka mendapat penghargaan dari Albequerque, gubernur Portugis di India. Maka, dalam perjalanannya menyerang Malaka, Albequerque sempat singgah dan memperbarui persekutuannya dengan Sultan Pidie, yang konon telah dirintis Sequeira. Perjalanan, lalu, diteruskan ke Pasai. Sultan Pasai, katanya, cuci tangan atas kejahatan yang dilakukan terhadap pelarian Portugis. Albequerque menunda pembalasan dendamnya. Ia segera menyeberang ke Malaka, dan tiba pada 1 Juli 1511.

Marsden menyusun cerita ini dari sumber-sumber Portugis yang dikumpulkannya. Maka, tampak sekali dalam ceritanya kesan ingin menjaga citra Albequerque sebagai penakluk besar bangsa Portugis, di samping ingin menunjukkan kedunguan Sultan Pidie yang lebih mementingkan diri sendiri, begitu pula kelemahan dan sikap pengecut Sultan Pasai. Kesan serupa, jika tidak ingin dikatakan lebih buruk dan konyol lagi, juga diberikan oleh empunya cerita dalam Hikayat Aceh ketika bertutur tentang Sultan Ma’arif Syah—pengucapan yang keliru—yang katanya penguasa Syahr Deli (?).

Informasi yang diberikan teks inskripsi pada nisan makam Sultan Ma’ruf Syah justru sangat bertentangan dengan cerita Marsden, atau yang dalam Hikayat Aceh. Selain ayat-ayat Al-Qur’an begitu pula bait-bait syair yang mensinyalir sikap perlawanan yang diambil Sultan Ma’ruf dalam menghadapi ancaman imperialisme Portugis, secara lebih terang dan tegas lagi Sultan Ma’ruf Syah disebut sebagai al-jah al-madhfur min al-a’da’, martabat yang dimenangkan dari musuh-musuhnya. Dalam konteks tahun 1511, siapa yang telah disebut sebagai musuh- musuhnya ini? Tentu tidak mungkin lain dari Portugis.

Teks ini secara terang menginformasikan fakta keberhasilan Sultan Ma’ruf Syah menghalau Portugis dari perairan Sumatera sehingga Albequerque terpaksa bergegas mundur dan mencoba menerobos benteng pertahanan Malaka. Sayang, Malaka yang merupakan salah satu bandar penting di Dunia Islam—dan dinasti pemerintahnya memiliki hubungan kekerabatan dengan Pasai, Aru, Pidie dan Aceh—tidak dapat diselamatkan.

Peristiwa kejatuhan Malaka ke dalam tangan Portugis menggemparkan. Dapat dibayangkan bagaimana Sultan Ma’ruf Syah terpukul dengan kejadian ini. Keberuntungan bangsa imperialis yang secara terang-terangan menyatakan kedatangannya untuk memperoleh rempah-rempah dan menyebarkan agama Nasrani, ini benar- benar tidak dapat diterimanya. Ia sadar akan implikasi yang timbul setelah Portugis memperoleh pinjakan yang mantap di kawasan strategis Dunia Islam ini. Namun, tak lama, hanya selang sebulan dari kejatuhan Malaka, ajal datang menjemput sang Sultan.

Kepulangan pahlawan Islam ini ke rahmatullah merupakan sebuah luka susulan di hati kaum Muslimin. Di puncak sebuah bukit buatan di Gampong Dayah Tanoh Klibeut, Pidie, jasadnya dimakamkan agar kepahlawanan dan semangatnya senantiasa terpatri dalam ingatan bangsanya. Dan di atas puncak satu batu nisannya, terukir doa: Ya Allah, ampuni dan sayangilah pemilik kubur ini, sebaris doa yang juga ditemukan pada nisan makam  Raja Kanayan, pahlawan Islam yang lain di Samudra Pasai.

Namun pergulatan dengan kaum imperialisme belum berakhir. Dari Lamuri, seorang pahlawan lain yang selama ini menyertai Sultan Ma’ruf Syah, bangkit pula untuk memimpin jihad di jalan Allah: Sultan Munawwar Syah. Pada waktu kemudian, Sultan Munawwar Syah diikuti pula oleh anak-anak dan cucu-cucunya dalam jihad ini, di antaranya yang paling terkenal adalah Sultan ‘Ali Mughayat Syah dan Malik Ibrahim. (Tim misykah.com) 

Dikutip dari www.misykah.com, website resmi Cisah, tayang pada 6 Februari 2014.


Baca Juga:

Sultan Bertahta di Pedalaman Pidie!
Pidie di bawah Teduh Rumpun Bambu
Giliran Kembang Tanjong Tunjukkan Bukti Sejarah
Menyusuri Krueng Baro Pidie, Mengamati Jejak Waktu
Tauke Bangkrut gara-gara Bisniskan Batu Nisan Bersejarah

Posting Komentar

1 Komentar

Anonim mengatakan…
اللھم وارحم لصاحب ھذا القبر